Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Satu hari sebelum pulang ke Jakarta, Sindy (24) kaget melihat berita jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP di perairan Tanjung Karawang, Senin (29/10). Rasa cemas segera menghinggapinya, sebab esok ia menggunakan maskapai itu dalam rute penerbangan Denpasar-Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Langsung panik karena satu rombongan pakai Lion Air semua. ‘Gimana nih, besok kan kita juga pakai Lion’. Denger pesawatnya meledak, jadi lebih panik lagi, kan,” ujarnya kepada kumparan, Jumat (2/11).
Meski sesal di dada dan waswas di kepala, ia merasa tak punya banyak pilihan. Tiket sudah di tangan sejak tiga minggu lalu. Jadwal yang disediakan Lion Air pun cocok dengan kebutuhan.
Di hari keberangkatan, Selasa (30/10), kegelisahan tak hanya miliknya. Rasa itu menjelma penolakan sebagian penumpang untuk duduk sesuai nomor kursi tertera. Mereka memilih dan berupaya bertukar tempat duduk agar bisa berdekatan dengan anggota keluarga masing-masing.
“Semua kayak panik, gitu. Terus duduknya langsung pada deket-deket sama keluarganya,” ujar Sindy.
ADVERTISEMENT
Melihat keresahan penumpang, saat itu seorang pramugari pun berseloroh, “Saya maunya juga selamat. Nggak ada yang mau naik pesawat rusak. Saya juga masih pengin pulang ke rumah.”
Ketakutan itu wajar. Sebab, di hari sebelumnya pesawat Lion Air bernomor penerbangan JT610 tujuan Jakarta-Pangkalpinang terempas dan diperkirakan menewaskan 181 penumpang serta 8 awak pesawat.
Tragedi tersebut menambah daftar panjang kecelakaan pesawat di Indonesia, juga stigma terhadap buruknya faktor keamanan pesawat bertarif murah seperti Lion Air. Benarkah harga murah tiket pesawat berkorelasi erat dengan keselamatan penumpang?
Mengorbankan Keselamatan?
Empat bulan sebelum nahas menimpa Lion Air minggu lalu, industri penerbangan Indonesia tengah bergairah. Sebab Uni Eropa telah mencabut larangan terbang maskapai asal Indonesia yang diberlakukan pada 2007.
ADVERTISEMENT
Uni Eropa menganggap standar keamanan dan keselamatan penerbangan Indonesia membaik. Berdasarkan hasil audit Universal Safety Oversight Audit Programme (USOAP) yang dilakukan International Civil Aviation Organization (ICAO), skor kepatuhan keselamatan penerbangan maskapai asal Indonesia mengalami tren positif.
Berdasarkan laporan yang dirilis pada akhir 2017 tersebut, skor kepatuhan keselamatan penerbangan Indonesia mencapai angka 81,15 persen, jauh di atas rata-rata skor global sebesar 60 persen. Dibandingkan hasil audit tahun 2016, skor yang diperoleh Indonesia melonjak signifikan. Di tahun itu, Indonesia hanya memperoleh nilai 51 persen.
Maka, kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP akhir Oktober lalu menjadi ironi. Terlebih pesawat berjenis Boeing 737 MAX 8 yang jatuh itu baru berusia dua bulan. Perdebatan soal standar keselamatan penerbangan maskapai dalam negeri pun mencuat ke permukaan.
ADVERTISEMENT
Kini, publik kembali mempertanyakan standar kepatuhan keselamatan dan keamanan maskapai berbiaya rendah atau low-cost carrier (LCC).
Gosip-gosip terkait maskapai LCC berkembang liar. Misalnya tentang pemotongan biaya pemeliharaan dan perawatan pesawat, pengurangan kuota bahan bakar, hingga kanibalisme suku cadang antar pesawat (mengambil suku cadang dari pesawat lain).
Menurut pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, dugaan-dugaan itu jauh dari kebenaran. Sebab hal tersebut justru bisa merugikan maskapai itu sendiri.
“Di aircraft operation komponen paling besar tuh bahan bakar. It's about 50-60 persen dengan harga fuel sekarang. Terus maintenance itu hanya sekitar 10-15 persen,” ujar Gerry ketika berkunjung ke kumparan, Kamis (1/11).
Baginya tak wajar jika biaya sekecil itu dipangkas apalagi dengan dampak kerugian yang justru lebih besar. “LCC itu supaya biayanya bisa rendah tergantung dengan volume, tergantung dengan ketersediaan pesawatnya. Kalau pesawatnya sering rusak, nggak bisa produktif, cost-nya akan naik.”
ADVERTISEMENT
Sementara terkait bahan bakar, ada rumus yang harus dipatuhi setiap maskapai sebelum pesawat mereka lepas landas. Bahan bakar harus cukup untuk menempuh jarak A ke B, antre take off, antre landing, dan tambahan untuk holding (menunggu di udara) misal dikarenakan cuaca buruk setidaknya selama 30-60 menit.
“Extra fuel justru menjadi langkah untuk efisiensi,” tutur pria kelahiran 9 Desember 1975 itu.
Isu terkait saling pinjam suku cadang pun ternyata hal yang biasa saja, dibolehkan, dan legal selama suku cadang tersebut tidak sedang diperlukan dan layak digunakan. Syarat lainnya, peminjaman hanya dilakukan untuk sementara sampai suku cadang baru tersedia.
Semua standar keamanan dan keselamatan itu diperiksa ulang oleh teknisi dan pilot untuk memastikan jaminan mutu sebelum memutuskan terbang. Hanya saja, jaminan mutu bukanlah jaminan mutlak tidak akan terjadi kecelakaan atau insiden apapun.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), dalam kurun waktu 2010 hingga 2016, telah terjadi setidaknya 82 kecelakaan dan 130 insiden penerbangan. Total 212 peristiwa itu telah menyebabkan 375 orang tewas dan 144 orang luka-luka.
Sebesar 67,12 persen atau sekitar 130 kecelakaan dan insiden di dunia penerbangan disebabkan oleh faktor manusia. Selanjutnya, faktor teknis menyumbang sebesar 15,8 persen, lingkungan 12,3 persen, dan fasilitas 4,8 persen.
Baik karena kelalaian atau kesalahan tidak disengaja, human error menjadi penyebab utama kecelakan di udara. Maka menurut Gerry, satu-satunya solusi yang harus dilakukan adalah training, training, dan training.
Efisiensi anggaran yang dilakukan maskapai LCC sejatinya bukan di faktor keselamatan, melainkan pelayanan. Berdasarkan buku Flight Insight yang ditulis Decy C. Widjaja, tiket pesawat maskapai LCC bisa murah karena enam hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, kerapatan kursi di dalam pesawat yang memuat kapasitas lebih banyak (seat density tinggi). Selain itu, maskapai LCC di berbagai negara, terutama Eropa dan Amerika, umumnya menggunakan bandara di kota-kota kecil. Dengan demikian, maskapai dapat melakukan efisiensi biaya parkir, transit pesawat, hingga fasilitas penerbangan di bandara seminimal mungkin.
Efisiensi lain yang dilakukan maskapai LCC adalah memangkas rantai penjualan tiket dengan mengutamakan penjualan secara daring. Melalui mekanisme ini, penumpang mesti mencetak sendiri tiket mereka, sehingga maskapai tidak perlu menggunakan jasa travel dan counter perjalanan untuk mendistribusikan tiket.
Pemangkasan biaya yang cukup signifikan dilakukan dengan mekanisme no frills. Artinya, maskapai tidak menyediakan fasilitas kenyamanan seperti, makanan, minuman, atau bagasi. Untuk mengakses layanan tersebut, penumpang mesti membeli di luar biaya tiket.
Terakhir, maskapai LCC umumnya hanya menggunakan satu jenis pesawat. Kebijakan ini berguna untuk efisiensi di sektor pelatihan awak pesawat. Lebih-lebih ketika dilakukan rotasi, maskapai tidak perlu mengeluarkan biaya pelatihan tambahan karena setiap orang memiliki dasar pengetahuan yang sama tentang satu pesawat.
ADVERTISEMENT
Masa Depan LCC
Perkembangan pesawat berbiaya rendah di Indonesia dimulai sejak deregulasi penerbangan pada 2000, dan berjalan penuh liku. Bermunculannya maskapai-maskapai baru membuat perang tarif kian sengit. Berbagai macam tagline mulai We Make People Fly hingga Now Everyone Can Fly saling beradu merebut pangsa pasar kelas menengah.
Tren bisnis angkutan udara di Indonesia terus berkembang. Menurut data Statistik Penerbangan Indonesia 2016 Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 jumlah penumpang pada keberangkatan dalam negeri mencapai 83 juta jiwa. Angka itu meningkat sekitar 18 persen dari 70 juta penumpang pada tahun 2012.
Momentum kehadiran maskapai LCC di Indonesia dimulai dari terbitnya Keputusan Menteri Perhubungan KM 11 Tahun 2001 tentang penyelenggaraan angkutan udara. Regulasi tersebut menjadi tonggak liberalisasi industri penerbangan dalam negeri.
Setelah regulasi itu resmi diberlakukan, muncul berbagai maskapai penerbangan baru milik swasta seperti Lion Air, Air Asia Adam Air, Batavia Air, Tiger Air, Citilink, Sriwijaya Air, Jatayu, hingga Sempati Air.
ADVERTISEMENT
Beberapa di antara maskapai tersebut menganut model bisnis penerbangan biaya murah, seperti Lion Air, Air Asia, Adam Air, Batavia Air, Citilink, dan Wings Air. Namun, ketatnya persaingan hingga terjadinya insiden kecelakaan fatal, menyebabkan banyak dari maskapai LCC tersebut gulung tikar.
Adam Air merupakan contoh maskapai yang bangkrut setelah dianggap lebih mengutamakan keuntungan dibanding keselamatan. Padahal, maskapai itu sempat dinobatkan sebagai Low Cost Airline of The Year oleh Asia Pacific and Middle East Aviation Outlook Summit di tahun 2006.
Peristiwa pada Januari 2007 lah yang mengubah peruntungan maskapai itu. Saat itu, pesawat Adam Air 574 rute Surabaya-Manado jatuh di perairan Majene. Kecelakaan itu menyebabkan 102 penumpang dan awak pesawat tewas.
Pada 18 Maret 2008, Kementerian Perhubungan melalui surat bernomor AU/1724/DSKU/0862/2008 mencabut izin terbang Adam Air. Tiga bulan berselang Aircraft Operator Certificate (AOC) maskapai itu menyusul dicabut. Pencabutan itu sekaligus menamatkan operasi bisnis Adam Air.
ADVERTISEMENT
Lain hal dengan Adam Air dan sederet maskapai baru berumur pendek lainnya, Lion Air yang didirikan oleh Rusdi Kirana pada 19 Oktober 1999 justru menjadi pemain utama dalam industri LCC dalam negeri. Beroperasi sejak tahun 2000, Lion Air mampu merajai pasar penumpang udara.
Berdasarkan data Centre for Aviation tahun 2017, Lion Air berhasil meraih pangsa pasar sampai 34 persen. Itu artinya, Lion Air merupakan maskapai dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia, mengungguli Citilink sebesar 13 persen dan Air Asia sebesar 2 persen.
Tidak hanya itu, Lion Group―grup induk maskapai Lion Air, Batik Air, dan Wings Air―menguasai lebih dari pangsa pasar penerbangan dalam negeri Indonesia dengan persentase sebesar 51 persen. Jauh mengungguli pangsa pasar Garuda Indonesia bersama Citilink yang hanya menguasi total 33 persen pasar.
Di tengah ekspansi bisnis yang pesat, Lion Air malah mengalami kecelakaan fatal setelah pesawat JT-610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat. Kecelakaan tersebut menambah ingatan buruk masyarakat terhadap maskapai berlogo singa terbang itu.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, menurut pengamat penerbangan Alvin Lie, kecelakaan tersebut dinilai tidak akan berdampak banyak pada bisnis LCC di Indonesia. Sebab, maskapai LCC sudah punya pangsa pasar yang jelas.
Menurutnya, maskapai LCC memiliki keunggulan seperti harga yang terjangkau, rute penerbangan yang sesuai, dan waktu penerbangan yang variatif. Dengan kelebihan itu, pangsa pasar untuk bisnis penerbangan LCC akan tetap ada.
“Dan sejauh maskapai penerbangan disiplin menjalankan kewajiban-kewajiban mereka, terutama dalam pemeliharaan pesawat serta ketepatan waktu, itu tidak akan jadi masalah.”
------------------------
Simak Liputan Khusus kumparan: Lion Terempas.