Riset Oxford: Politikus Indonesia Bayar Buzzer untuk Manipulasi Publik

5 Oktober 2019 9:44 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Hasil sebuah riset yang baru diterbitkan pada 2019 ini menyebutkan bahwa ternyata politikus dan partai politik Indonesia membayar pasukan siber atau buzzer untuk memanipulasi opini publik. Riset ini dibuat oleh dua ilmuwan dari Universitas Oxford di Inggris, yakni Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard.
ADVERTISEMENT
Pengerahan buzzer oleh pemerintah atau partai politik di sejumlah negara di dunia ini diulas oleh Bradshaw dan Howard di dalam laporan hasil riset mereka yang berjudul “The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.
Dalam riset ini, para peneliti menemukan bahwa pada 2019 ada 70 negara di dunia yang menggunakan buzzer untuk memanipulasi opini publik demi tujuan politik. Dalam masing-masing negara itu, para peneliti menulis, setidaknya ada satu lembaga negara atau partai politik yang menggunakan buzzer.
Para peneliti menemukan angka ini naik sebesar 150 persen jika dibandingkan dengan jumlah negara yang menggunakan buzzer pada 2017. Pada 2017, hanya ada 28 negara yang menggunakan buzzer. Sementara pada 2018, jumlah tersebut naik menjadi 48 negara dan kemudian naik kembali menjadi 70 negara pada 2019.
ADVERTISEMENT
“Kami menemukan bukti adanya kampanye manipulasi melalui media sosial yang terorganisir di 70 negara, naik dari 48 negara pada 2018 dan 28 negara pada 2017. Beberapa pertumbuhan ini berasal dari para pendatang baru yang sedang bereksperimen dengan alat dan teknik propaganda komputasi selama masa pemilu atau sebagai alat baru untuk mengontrol informasi,” tulis para peneliti di dalam laporan mereka.
Di dalam laporan itu dibeberkan bahwa buzzer di 70 negara, termasuk di Indonesia, digunakan antara lain untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, menjauhkan atau mengalihkan pembicaraan atau kritik dari masalah penting, menekan oposisi atau seseorang secara personal, atau menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
Adapun akun-akun media sosial yang digunakan oleh para buzzer ini terdiri dari akun manusia, bot, cyborg, serta akun hasil pencurian atau peretasan. Selain memanfaatkan media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, pada buzzer juga memanfaatkan aplikasi pesan seperti WhatsApp untuk menyebarkan propaganda demi memanipulasi sikap publik.
Ilustrasi media sosial. Foto: PhotoMIX-Company via Pixabay
Khusus di Indonesia, tim peneliti menemukan bahwa buzzer digunakan oleh politikus dan partai politik serta kontraktor swasta. Riset ini tidak atau belum menemukan bahwa pemerintah atau badan atau lembaga negara tertentu untuk menjadi buzzer.
ADVERTISEMENT
Hal yang menarik lainnya, tim peneliti menemukan bahwa politikus dan partai politik serta kontraktor swasta di Indonesia mengontrak buzzer secara temporer atau tidak permanen, tapi ada kemungkinan kontrak tersebut bisa diperpanjang. Adapun bayaran yang diberikan untuk para buzzer di Indonesia adalah berkisar antara Rp 1 juta sampai Rp 50 juta per kontrak.
Dengan adanya temuan penggunaan buzzer di 70 negara, termasuk Indonesia, ini, para peneliti kemudian menyimpulkan bahwa “penggunaan propaganda komputasi untuk membentuk sikap publik lewat media sosial sudah menjadi hal yang umum,” bukan hanya dilakukan oleh segelintir orang.
Laporan The Guardian
Riset dari Oxford di atas memang tak menyebut bahwa pemerintah atau lembaga negara di Indonesia menggunakan buzzer. Namun sebelumnya The Guardian sempat melaporkan bahwa pemerintah pusat Indonesia tampaknya juga menggunakan buzzer. Media massa besar asal Inggris itu sempat mewawancarai salah satu orang yang bertugas sebagai buzzer di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pria bernama Alex yang diwawancarai The Guardian itu menyebut akun Twitter @IasMardiyah sebagai contoh akun buzzer. Ia menyebut bahwa akun Twitter @IasMardiyah yang semula dimanfaatkan oleh tim buzzer pro-Ahok, sekarang mengeposkan aliran pesan dan propaganda pemerintah untuk Presiden Joko Widodo. Kebanyakan aliran informasi yang dibagikan akun tersebut adalah retweet tentang infrastruktur dan keberhasilan diplomatik Indonesia, atau kebutuhan untuk melindungi persatuan nasional.
Ilustrasi main Twitter. Foto: Melly Meiliani/kumparan
The Guardian menyebut bahwa akun tersebut memang tampak terus-terusan mendukung konten-konten pemerintah dengan tagar yang menyertainya. Misalnya, akun tersebut mem-posting tentang terpilihnya Indonesia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB, pemerintah Indonesia telah memerangi terorisme, mendorong ekspor pertanian, mendirikan bandara baru di Jawa Barat, menyelenggarakan Asian Games, serta dukungannya atas keutuhan nasional Indonesia dalam masalah konflik Papua Barat.
ADVERTISEMENT
Seorang juru bicara kepresidenan sempat dimintai komentar oleh The Guardian terkait buzzer pemerintah ini, tetapi tidak mau menanggapinya.