'Tes Keperawanan' Dinilai Tak Ilmiah, tapi Masih Ada di Indonesia

24 November 2018 11:07 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten Eksklusif: Tes Keperawanan. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konten Eksklusif: Tes Keperawanan. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Pertiwi (bukan nama sebenarnya) diminta untuk mengangkat roknya. Ia kemudian diminta duduk dan membuka kedua kakinya. Posisi mengangkang yang ia lakukan ini, menurutnya, mirip posisi ibu yang hendak melahirkan.
ADVERTISEMENT
“Saya juga deg-degan bukanya, bener-benar lebar kayak orang ngelahirin gitu,” tutur Pertiwi.
Setelah itu dimulailah “tes keperawanan” terhadap Pertiwi. Seorang dokter laki-laki kemudian memasukkan dua jari ke dalam anus perempuan yang hendak menikah dengan anggota TNI itu.
Tak hanya calon istri anggota TNI, para perempuan yang ingin menjadi anggota TNI pun diharuskan menjalani “tes keperawanan”. Bentuk tes ini adalah berupa pemeriksaan himen (hymen), yaitu jaringan kulit sangat tipis yang melapisi bukaan vagina perempuan.
Sebab dalam “tes keperawanan”, parameter yang dilihat adalah keutuhan himen atau yang kerap diartikan dalam bahasa awam sebagai selaput dara. Jika himen seorang perempuan masih utuh, maka ia dianggap masih perawan.
Wakil Kepala Pusat Kesehatan TNI Laksamana Pertama Andriani. (Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan)
Wakil Kepala Pusat Kesehatan TNI, Laksamana Pertama Drg. Andriani, Sp.Ort, membenarkan bahwa TNI memang menerapkan pemeriksaan himen terhadap calon anggota wanita TNI dan calon istri anggota TNI.
ADVERTISEMENT
“Dalam penerimaan calon prajurit khususnya untuk Wan TNI memang dilakukan tes kesehatan, yang khususnya menyangkut di dalam kewanitaan. Itu penting sekali untuk wanita,” jelas Andriani saat ditemui kumparan di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat pekan lalu.
Menurut Andriani, anggota wanita TNI maupun calon istri anggota TNI perlu memiliki kondisi tubuh yang sehat jasmani dan rohani sehingga perlu dilakukan pemeriksaan himen ini.
ADVERTISEMENT
Polri juga Disebut Menerapkan ‘Tes Keperawanan’
Andriani menyebut tes berupa pemeriksaan himen tidak hanya dilakukan oleh TNI, tapi juga oleh Polri dan sejumlah perusahaan lain yang hendak merekrut pegawai perempuan. Namun begitu Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo membantah bahwa Polri menerapkan “tes keperawanan” untuk seleksi polisi wanita (polwan). “Ini (‘tes keperawanan’) nggak ada di Polri,” kata Dedi saat dihubungi kumparan, Jumat (23/11).
Meski pihak Polri membantah menerapkan “tes keperawanan” terhadap calon anggota polisi wanita (polwan), peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mengatakan bahwa setiap tahunnya hingga tahun 2018, HRW masih menerima keluhan soal “tes keperawanan” yang dilakukan oleh TNI maupun Polri.
ADVERTISEMENT
“Sudah lima tahun saya meneliti soal (‘tes keperawanan’) ini. Setiap musim seleksi Polri dan TNI, selalu saja ada laporan soal ‘tes keperawanan’ ini,” kata Andreas kepada kumparan. Ia mengklaim bahwa penelitian soal “tes keperawanan” di Indonesia yang ia lakukan ini juga melibatkan sejumlah jenderal di kepolisian.
Pada Oktober 2018 Australian Broadcasting Corporation (ABC), media yang berbasis di Australia, baru saja menerbitkan laporan soal “tes keperawanan” yang dilakukan dalam seleksi polwan. Dalam laporan tersebut seorang perempuan bernama Zakia menceritakan bahwa dirinya telah gagal dalam ujian seleksi polwan yang diadakan di awal tahun 2018.
Ilustrasi perempuan berlatih beladiri. (Foto: Pixabay)
Secara khusus, Zakia yang merupakan atlet bela diri ini mengeluhkan adanya “tes keperawanan” dalam rangkaian tahapan seleksi polwan yang ia ikuti
ADVERTISEMENT
"Mereka tidak hanya memasukkan jari mereka ke vagina saya, tetapi juga ke anus saya. Mereka terus memeriksa... itu sangat menyakitkan," katanya soal “tes keperawanan” tersebut, sebagaimana dikutip dari ABC.
“Setiap kali saya mengingat apa yang telah terjadi, saya menangis … Saya merasa seperti tidak ingin hidup lagi,” tutur Zakia yang mengatakan dirinya diintimidasi oleh petugas untuk "mengaku sepenuhnya” saat bersikeras bahwa dirinya masih perawan alias belum pernah berhubungan seksual.
Menguji Keabsahan ‘Tes Keperawanan’
Andreas Harsono mengecam praktik “tes keperawanan” di Indonesia dan menyebutnya sebagai tindakan yang tindakan yang tidak berbasis ilmiah. Apa yang katakan oleh Andreas ini diamini pula oleh dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) di Rumah Sakit Ibu Anak Limijati, Bandung.
ADVERTISEMENT
Robbi menyatakan dalam ilmu kedokteran tidak ada yang namanya “tes keperawanan”. “Secara medis, saya sendiri tidak pernah menemukan referensi ‘tes keperawanan’, tekniknya seperti apa, dilakukan pada orang yang seperti apa, hasilnya seperti apa, saya sendiri tidak pernah menemukan,” tutur Robbi saat ditemui kumparan di Bandung.
Dia mengatakan bahwa tes untuk mengetahui keperawanan seseorang dengan melihat keutuhan himennya adalah hal yang “salah secara ilmu pengetahuan.” Sebab, dalam ilmu kedokteran juga tidak ada yang namanya karakteristik keperawanan.
ADVERTISEMENT
Menurut penjelasan Robbi, keutuhan himen seorang perempuan bisa berubah kapan saja dan bisa berubah akibat kegiatan apa saja, baik itu berhubungan dengan penetrasi seksual maupun tidak. “Jadi memang tidak bisa kita jadikan patokan bahwa selaput dara (himen) kalau seperti apa dia masih perawan, kalau seperti ini berarti dia tidak perawan.”
dr. Robbi Asri Wicaksono (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Robbi berkata, ketika seorang dokter diharuskan untuk memeriksa kondisi himen seseorang, dokter tersebut hanya bisa mendeskripsikan bagaimana keadaan himen itu. “Dokter tidak diperkenankan sama sekali, baik secara keilmuan atau pun legal, untuk mengatakan apa yang pernah terjadi sebelumnya terhadap selaput dara itu. Karena memang tidak memungkinkan untuk bisa (mengetahuinya).”
Pendapat senada juga diutarakan oleh dokter sekaligus aktivis gender, dr. Putri Widi Saraswati. Putri menentang keras praktik “tes keperawanan” dengan dua alasan.
ADVERTISEMENT
“Yang pertama pertama tes keperawanan itu bukan sesuatu yang ilmiah,” kata Putri saat ditemui kumparan di tempat praktiknya di Kota Baru Parahyangan, Padalarang. “Jadi kalau pun misalnya dilakukan tes keperawanan, dia tidak bisa membuktikan apakah seorang perempuan sudah pernah berhubungan seksual atau belum. Itu tidak bisa.”
Alasan kedua Putri adalah terkait bentuk diskriminasi dari tujuan “tes keperawanan” ini, yakni untuk membedakan mana yang perawan dan mana yang tidak perawan. Jadi menurutnya, “tes keperawanan” biasanya dilakukan bukan untuk pengobatan medis.
“Biasanya dia (‘tes keperawanan’) dilakukan tidak untuk medikasi medis. Dia dilakukan untuk, misalnya kalau dari beberapa jurnal yang aku baca, menentukan kelayakan seorang perempuan untuk, misalnya untuk menikah atau untuk masuk ke suatu posisi tertentu, pekerjaan, pendidikan,” beber Putri.
dr. Putri Widi Saraswati melayani pasien di Klinik Pratama Surya Medika, Kota Baru Parahyangan, Kab. Bandung Barat, Rabu (14/11). (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Putri mengatakan konsep “tes keperawanan” adalah hal yang tidak adil untuk perempuan. Dia mempertanyakan kenapa perempuan harus dinilai dari keperawanannya. Padahal di sisi lain tidak ada “tes keperjakaan” untuk laki-laki.
ADVERTISEMENT
Dia menegaskan bahwa tes semacam ini “tidak relevan dengan kebutuhan” perempuan dalam mengemban peran, tugas, atau pun pekerjaannya.
Jurnal Ilmiah soal 'Tes Keperawanan'
Salah satu hasil studi terbaru yang membahas “tes keperawanan” adalah makalah berjudul “Virginity testing: a systematic review” yang telah dipublikasikan di jurnal Reproductive Health pada 18 Mei 2017. Makalah ilmiah ini disusun oleh Rose McKeon Olson dari University of Minnesota, AS, dan Claudia García-Moreno dari Department of Reproductive Health and Research, World Health Organization (WHO), dengan mempelajari 17 dokumen riset.
Hasil studi mereka berdua menemukan bahwa “tes keperawanan” atau yang biasa juga disebut sebagai “tes dua jari” atau pun “pemeriksaan himen”, ternyata tidaklah akurat untuk memprediksi status keperawanan seseorang. Selain itu, studi ini juga melaporkan bahwa “tes keperawanan” dapat menimbulkan kerugian fisik, psikologis, dan sosial bagi peserta yang menjalaninya.
ADVERTISEMENT
Studi ini menemukan bahwa “tes keperawanan” masih dilakukan oleh petugas kesehatan di beberapa negara. Oleh karena itu, studi ini menyimpulkan para tenaga medis di seluruh negara di dunia harus mendapat informasi yang lebih baik mengenai hal ini. Selain itu, studi ini juga menyatakan bahwa negara-negara di dunia harus meninjau kebijakan mereka terkait hal ini dan mulai bergerak menuju pelarangan “tes keperawanan”.
Ilustrasi perempuan hendak menjalani 'tes keperawanan'. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Seruan Penghapusan 'Tes Keperawanan'
Pada 17 Oktober 2018 tiga organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni Badan Kesehatan Dunia (WHO), UN Women, dan UN Human Rights Office (OHCHR), telah menyerukan penghapusan "tes keperawanan" dari seluruh negara di dunia. Berdasarkan data mereka, “tes keperawanan” umum ditemukan setidaknya di 20 negara, salah satunya Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seruan penghapusan “tes keperawanan” yang dikeluarkan dalam World Congress of Gynecology and Obstetrics (FIGO) 2018 di Rio de Janeiro, Brasil, ini menegaskan bahwa “tes keperawanan” adalah tindakan yang tidak ilmiah dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“‘Tes keperawanan’ tidak memiliki dasar ilmiah atau klinis. Tidak ada pemeriksaan yang dapat membuktikan seorang perempuan atau wanita telah melakukan hubungan seks --dan tampilan himen perempuan atau wanita tidak dapat membuktikan apakah mereka telah melakukan hubungan seksual, atau aktif secara seksual atau tidak,” kata ketiga organisasi dunia tersebut.
Mereka menegaskan, "Praktik yang secara medis tidak perlu, dan sering kali menyakitkan, memalukan, dan bersifat traumatis ini harus berakhir.”
Ilustrasi seorang perempuan menyendiri. (Foto: Pixabay)
Meski WHO telah menyerukan penghentian “tes keperawanan” yang dilakukan oleh siapa saja termasuk oleh tenaga medis, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku organisasi profesi kedokteran di Indonesia belum menanggapi seruan WHO tersebut dan belum memberikan sikap tersendiri soal polemik “tes keperawanan” ini.
ADVERTISEMENT
“Secara resmi kami (IDI) belum pernah berdiskusi tentang atau mengeluarkan fatwa apa pun tentang ‘tes keperawanan’,” kata dr. Ulul Albab, SpOG, perwakilan dari Pengurus Besar IDI, saat ditemui kumparan di Jakarta, Kamis (22/11).
Uniknya, secara pribadi Ulul Albab justru menyatakan bahwa secara umum “tes keperawanan” boleh dilakukan. “Apabila memang fungsi dan tujuannya (‘tes keperawanan’) benar, maka secara umum enggak ada masalah dilakukan,” ujar Ulul tanpa menjelaskan tujuan yang benar dari “tes keperawanan” itu seperti apa.
Namun begitu Ulul Albab kemudian menambahkan, “Tetapi kalau seandainya parameternya hanya satu saja, kalau kemudian tidak perawan kemudian tidak boleh atau menghambat kariernya, ya saya pikir benar (itu) yang dibilang enggak manusiawi untuk wanita.”
Dr. UIul Albab, SpOG. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Sebagai sesama dokter spesialis obgyn, apa yang dikatakan oleh Ulul Albab ini cukup berbeda dengan Robbi Asri Wicaksono yang kumparan temui sebelumnya. Tidak seperti Ulul Albab yang seolah masih “membenarkan” praktik “tes keperawanan”, Robbi secara tegas mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada dalam ilmu kedokteran.
ADVERTISEMENT
“Secara ilmu kedokteran tidak ada yang namanya keperawanan, tidak ada tes keperawanan, tidak ada karakteristik perawan. End of discussion,” tegas Robbi.
Simak cerita konten spesial Tes Keperawanan melalui tautan di bawah ini.