news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membedah Program Pembinaan Atlet di Balik Manisnya Asian Games 2018

11 September 2018 11:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo mengalungkan medali emas untuk Defia Rosmaniar. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo mengalungkan medali emas untuk Defia Rosmaniar. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
ADVERTISEMENT
Tanpa mendiskreditkan pemerintah, pengurus induk cabang olahraga (cabor), maupun para atlet sendiri, berterimakasihlah kepada status Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Tanpa titel itu, euforia keberhasilan tak akan terasa semanis saat ini.
ADVERTISEMENT
Khusus Asian Games 2018 di mana Jakarta dan Palembang menjadi tuan rumah pesta olahraga 45 negara Asia itu, persiapan segalanya memang berlipat ganda. Mulai dari infrastruktur, upacara pembukaan dan penutupan, bonus, hingga program pembinaan atlet.
Untuk hal yang disebut terakhir, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) putar otak merumuskan strategi terjitu untuk mencapai target prestasi finis sepuluh besar dengan 16-22 emas. Cabor dibagi menjadi cabang Olimpiade dan non-Olimpiade. Nomor event lebih spesifik, pemetaan dibagi menjadi unggulan (potensi emas), potensi medali (perak dan perunggu), dan partisipan (alias Tim Hore).
Berbicara soal pembinaan, koordinasi antara Kemenpora dan induk cabor tak boleh absen diungkit. Mengutip cuitan akun Twitter resmi Kemenpora, @KEMENPORA_RI, 3 September lalu, prestasi Asian Games 2018 tak lepas dari upaya penyederhanaan organisasi olahraga yang dilakukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dari alur komunikasi yang diubah, satu yang hilang adalah Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), yang dibubarkan per tanggal 18 Oktober 2017 lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 95. Event terakhir di pengujung tugas Satlak Prima adalah SEA Games 2017, di mana Indonesia hanya bertengger di posisi lima dengan 38 emas.
Jauh sebelum Satlak Prima, Kemenpora mengusung Program Atlet Andalan (PAL) saat orang nomor satu yang menjabat adalah Adhyaksa Dault. Saat itu, bentrok antara PAL dan Pelatnas di bawah arahan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dianggap menjadi faktor kegagalan Indonesia di SEA Games 2009 (finis ketiga dengan 43 emas).
Maka, lahirlah Program Indonesia Emas (PIE) di era Menpora Andi Mallarangeng untuk menyambut SEA Games 2011 di Palembang. Tujuan program (cikal bakal Satlak Prima) itu adalah menjaring atlet elite yang berpotensi juara, baik level Asia Tenggara, Asia, maupun dunia. Hasilnya, di SEA Games 2011, Indonesia menjadi juara umum dengan 182 emas.
ADVERTISEMENT
Yang belum disebut, ada Olimpiade 2012, SEA Games 2013, Asian Games 2014, SEA Games 2015, hingga Olimpiade 2016. Pada berbagai multievent itu, Kemenpora telah dinakhodai Imam Nahrawi yang menjabat sejak Oktober 2014, termasuk kala Satlak Prima dibubarkan usai SEA Games 2017.
Di Asian Games 2018, induk cabor benar-benar mandiri meracik anggaran untuk persiapan atlet mulai honorarium, suplemen, peralatan, akomodasi, dan konsumsi, serta keperluan try out/try in/training camp. Sementara, Kemenpora fokus menentukan alokasi disiplin cabor unggulan dan bukan unggulan, juga memantau laporan perkembangan selama try out/try in/training camp jelang Asian Games 2018.
Hasil kerja keras semua pihak itu, Kontingen Tim Indonesia yang terdiri dari 938 atlet tak hanya finis 10 besar, tapi bisa merangsek ke lima besar, tepatnya di posisi keempat lewat torehan 31 emas, 24 perak, dan 43 perunggu dengan total 98 medali.
ADVERTISEMENT
Lebih rinci lagi, enam cabor peraih emas adalah cabor Olimpiade yakni angkat besi, balap sepeda, bulu tangkis, dayung, taekwondo, dan tenis. Dua lainnya, yakni panjat tebing dan karate, baru akan debut di Olimpiade 2020.
Sisanya, ada cabor debutan Asian Games 2018 (privilese pilihan tuan rumah) yakni pencak silat, paralayang, dan jet ski, serta cabor andalan non-Olimpiade yakni wushu dan sepak takraw.
Nah, dari 31 keping emas yang dikoleksi Indonesia, salah satunya disumbang Eko Yuli Irawan dari angkat besi nomor 62 kg putra. Eko pun, boleh jadi merupakan peraih medali yang paling 'kenyang' soal prestasi.
Sebelum emas Asian Games 2018, lifter asal Lampung itu meraih perunggu di Olimpiade 2008 (56 kg) dan Olimpiade 2012 (62 kg) serta perak di Olimpiade 2016 (62kg). Di Asian Games 2010 dan 2014, perunggu didapat dari nomor 62 kg andalannya.
ADVERTISEMENT
Sementara di level Asia Tenggara, empat emas dipersembahkan pada SEA Games 2007 (56 kg), 2009 (62 kg), 2011 (62 kg), 2013 (62 kg), dan perak di SEA Games 2017. Dari setiap tetes keringatnya di berbagai tipe Pelatnas, Eko berbagi pendapat soal pembinaan atlet.
Lifter Indonesia Eko Yuli peraih emas saat berfoto bersama medalinya usai menjuarai angkat besi putra grup A nomor 62 kg Asian Games ke-18 di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/8/2018). (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lifter Indonesia Eko Yuli peraih emas saat berfoto bersama medalinya usai menjuarai angkat besi putra grup A nomor 62 kg Asian Games ke-18 di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/8/2018). (Foto: Helmi Afandi/kumparan)
"Yang bagus Pak Adhyaksa Dault dan Pak Imam Nahrawi. Tapi karena beda presiden, mungkin kebijakan juga beda. Yang saya ingat, ada gebrakan baru Pak Adhyaksa di SEA Games 2007, saya juga muncul (bertanding) di situ," kata Eko saat dihubungi kumparanSPORT via telepon.
"Dulu SEA Games 2005 (bonus) peraih emas kalau tidak salah Rp 50 juta, 2007 melonjak jadi ratusan juta. Dari situ mau tidak mau standar bonus Rp 200 juta, tidak boleh turun dari itu. Ada juga PAL, sempat bagus, dalam artian pembinaan jangka panjang. Tapi ganti presiden, ganti menteri, bubar PAL. Beda kebijakan lagi," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Berganti ke Kemenpora era Andi Mallarangeng, tak ada perubahan yang mendorong prestasi olahraga nasional. Barulah pada 2014, sejak Menpora dijabat Imam Nahrawi, Eko merasa ada perubahan cukup positif yang dirasakannya sebagai atlet.
"Setelah Pak Adhyaksa, barulah Pak Imam masuk dan ada lagi gebrakan. Tadinya uang akomodasi Rp 200 ribu, naik jadi Rp 400 ribu. Dulu itu Rp 200 ribu akomodasi termasuk penginapan, satu kamar sampai harus empat orang dan uang makan harus mikir lagi carinya," ungkap Eko.
"Nah, sistem sempat berubah juga saat ada Satlak Prima, uang tertahan. Banyak yang merasa kurang tepat, akhirnya dibubarkan setelah SEA Games 2017. Kemudian anggaran Pelatnas 2018 langsung ke cabor, seperti inilah hasilnya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menpora RI, Imam Nahrawi di Raker Komisi X DPR RI dengan Kemenpora RI, Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menpora RI, Imam Nahrawi di Raker Komisi X DPR RI dengan Kemenpora RI, Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Dari segala sistem pembinaan yang dicicipinya, Eko setuju bahwa pemberian anggaran langsung ke induk cabor adalah faktor penyokong kesuksesan persiapan atlet. Karena, lanjut Eko, masing-masing induk cabor lebih tahu bagaimana menangani atletnya.
"Semoga saja tidak ada pengurus yang nakal, sehingga anggaran tepat untuk kebutuhan atlet. Harapan saya, semoga sistem saat ini menjadi standar ke depannya," pungkas ayah dua anak itu.
Kini, Kemenpora dan seluruh cabor sudah harus mengalihkan diri dari euforia Asian Games 2018 dan menatap dua multievent berikutnya yakni SEA Games 2019 dan Olimpiade 2020.
Untuk itu, dalam keterangan resmi Menpora Imam Nahrawi, Minggu (2/9), bakal ada model baru di mana try out (uji coba ke luar negeri) akan sama seperti Pelatnas (dalam negeri). Nantinya, anggaran juga terfokus ke cabor Olimpiade.
ADVERTISEMENT
"Pelatnas baru akan membawa dampak positif untuk Olimpiade 2020. Mereka (atlet) akan bertanding di luar negeri untuk meningkatkan mental, karena mereka bertemu para atlet kelas dunia," kata Imam.