Kepada Sindoro: Aku Ini Pejuang atau Pengemis Cinta?

5 Februari 2017 12:53 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemandangan Gunung Sindoro dari Gunung Sumbing. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku adalah kamu karena kuyakin kalian pernah memperjuangkan hal yang sama.
ADVERTISEMENT
Sudah 10 tahun aku mengenalnya. Mulai dari botol obat merah yang ia berikan saat aku terluka di pelajaran olahraga hingga botol minyak kayu putih yang ia berikan saat aku masuk angin di kantor, masih kusimpan rapi di kotak kecil kamarku.
Ya, dia begitu istimewa hingga aku tak dapat mengungkapkan sebuah kata sakral padanya. Aku tahu sikap perhatiannya tersebut tidak hanya diberikan padaku, tapi ke semua orang di sekitarnya yang membutuhkan.
Tak pelak, meski sudah bertahun-tahun mengenalnya, aku juga bukanlah teman dekatnya. Aku merasa kurang cocok dengan teman-teman sepermainannya, meski sebenarnya aku punya satu hobi yang sama dengannya: bermain di alam.
Suasana di kawasan Waduk Gembong (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Sesekali dengan sikapnya yang ramah ia menyapaku, sembari bertanya dan mengajakku mendaki bersama. Sekali lagi aku mengerti, semua orang di kantor pun ia ajak mendaki --dan mungkin frekuensinya yang lebih banyak dalam mengajakku dibanding orang lain, dipengaruhi lamanya kami berdua telah bersama sebagai teman.
ADVERTISEMENT
Inilah dilema cinta. Kita tak pernah tahu apa yang ada di hati dan pikiran sang pujaan.
Jika bertindak lebih, mungkin kita bisa berada di jurang penyesalan.
Suatu saat sahabatku, seorang sales marketing asuransi yang merangkap konsultan asmara, mengajakku bertemu di sebuah warung kopi. Sahabat lain, seorang musisi indie yang menciptakan lagu-lagu dengan bahasa tingkat tinggi yang sering ku tak mengerti, ikut diajak.
Dua sahabatku ini lihai bermain kata, dengan berbagai saran logis, namun sebenarnya mengada-ada. Namun di tengah hati yang gundah gulana, kali ini mungkin saat yang tepat untuk mendengarkan mereka setelah selama ini ku tak tergoyah bagai petapa.
Lima hari lagi hari ulang tahun sang pujaan, dan setelah kupelajari lebih jauh, ulang tahunnya kali ini tepat setelah 10 tahun aku mengenalnya. Selama ini aku tak pernah memberinya apa-apa, hanya rangkaian ucapan selamat lewat pesan singkat yang berani aku lakukan.
Suasana di sebuah warung kopi. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Kado berkesan untuk sang pujaan. Itu saran yang kuminta dari kedua orang sahabatku ketika kami bertemu sambil saling mengumpat dan menikmati secangkir kopi Gayo.
ADVERTISEMENT
Mendengar pertanyaanku soal kado itu, entah ada suratan apa, mereka kompak menyahut, “Ajak aja naik gunung!”
Aku setuju dengan ide mereka, namun dengan sedikit revisi kuputuskan: aku akan naik gunung sendiri dan melukiskan namanya di puncak gunung.
Kebetulan hal-hal tersebut sedang tren, seperti membawa selembar kertas bertuliskan nama orang yang dicinta dan mendedikasikan pendakian untuk orang tersebut.
Namun aku tak akan membawa selembar kertas, karena aku akan menuliskan namanya dengan bebatuan di puncak gunung. Terbetik dalam pikiranku gunung yang belum pernah dikunjungi sang pujaan: Gunung Sindoro.
Walau sedikit trauma karena pernah tersesat dan terkena badai saat pendakian sebelumnya ke gunung tersebut, aku akan tetap mendaki gunung tersebut demi sang pujaan. Seperti lagu Kulakukan Semua Untukmu Fatur dan Nadila yang dipopulerkan lagi oleh RAN.
ADVERTISEMENT
Waktu yang sempit membuatku langsung memesan tiket kereta. Untungnya masih tersisa kereta jurusan Jakarta-Semarang, tiga hari menjelang ulang tahun sang pujaan.
Hari keberangkatan tiba. Ini kali pertama aku melakukan pendakian sendiri. Perjalanan 6 jam ke kota lumpia pun kulalui.
Aku sampai di Semarang jam 3 sore. Suasana klasik di sekitar Stasiun Tawang kurasakan. Sekilas mirip Kota Tua Jakarta, dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang masih apik berdiri.
Gereja Blenduk (Foto: Dok. Pemprov Jawa Tengah)
Setelah sejenak menikmati suasana, aku berjalan sedikit ke arah Pasar Johar, lalu menaiki angkot jurusan Banyumanik.
Aku melewati perbukitan Gombel yang konon menjadi tempat kelahiran sosok Wewe Gombel yang legendaris.
Wewe, secara harfiah, berarti hantu perempuan. Wewe Gombel dalam tradisi Jawa kerap diartikan sebagai hantu yang suka menculik anak-anak.
ADVERTISEMENT
Angker. Kata itu memang melekat pada Semarang, selain keindahan yang disimpan kota itu.
Aku menjadi teringat pada acara uji nyali di Lawang Sewu, Semarang, yang membuat bulu kuduk merinding. Acara itu ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi. Ah sudahlah, jangan dibahas.
Ruang Bawah Tanah Lawang Sewu (Foto: Crisco/Wikimedia Commons)
Perjalananku menumpang angkot berakhir di Terminal Banyumanik, dan kulanjutkan dengan perjalanan via bus jurusan Wonosobo yang akan melewati Kledung, Temanggung, basecamp pendakian Gunung Sindoro.
Setibanya di basecamp Kledung yang tak jauh dari pinggir jalan raya, hari sudah malam. Sekumpulan warga yang juga berprofesi sebagai “ojek gunung” sedang menghangatkan diri mengelilingi api unggun di area basecamp.
Angin malam memang terasa menusuk, dan aku sudah tak sabar bertemu sang pujaan dalam mimpi. Aku pun segera masuk ke basecamp untuk tidur di sudut yang hangat.
ADVERTISEMENT
Di dalam basecamp, terlihat beberapa pendaki tidur berdekat-dekatan untuk saling memberi kehangatan. Bahkan saking nyenyaknya mereka tidur, ada yang saling memeluk amat mesra padahal sesama lelaki.
Para pendaki yang sedang tidur di basecamp. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Pagi tiba memotong mimpi. Itu bagus, sebab semalam aku bermimpi menghadiri pernikahan sang pujaan dengan pria lain.
Betapa menyedihkan, tapi kupercaya mimpi adalah kebalikan dari kenyataan.
Oke, waktunya melanjutkan perjalanan. Aku mulai bersiap.
Pos ojek di basecamp Kledung, Gunung Sindoro (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Beberapa tukang ojek gunung juga mulai menawarkan jasanya. Ojek ini dapat mengantar sampai Pos 1 pendakian dengan tarif Rp 20 ribu. Harga ini bisa didapat dengan catatan: kamu harus memiliki kemampuan menawar level emak-emak.
Aku tak punya kemampuan itu, maka memilih berjalan. Lagipula ini sebuah perjalanan demi sang pujaan, haruslah penuh kisah perjuangan. Dan untungnya lagi, cuaca hari ini sangat cerah membakar gairah.
ADVERTISEMENT
Jalan menuju Pos 1 pendakian tidak begitu sulit, dengan trek bebatuan dan pemandangan ladang tembakau dan sayuran.
Ladang pertanian di lereng Sindoro. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Setelah 1,5 jam berjalan, akhirnya aku sampai di Pos 1. Sejenak aku berbaring sambil melihat pemandangan Gunung Sumbing yang berada tepat di seberang Gunung Sindoro.
Pemandangan Gunung Sumbing dari pos 1 Sindoro (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku lalu melanjutkan perjalanan ke Pos 2, melalui trek berupa tanah landai, sebelum memasuki hutan dengan vegetasi cukup rapat.
Kakiku yang masih menyimpan sisa kejayaan perlahan mendahului beberapa pendaki yang sudah tak lagi muda.
Kali ini soundtrack menuju Pos 2 kuisi dengan lagu lebih ceria seperti Angin Pujaan Hujan dari Payung Teduh.
Setelah berjalan 2 jam, akhirnya sampailah aku di Pos 2 yang dipadati beberapa pendaki yang terlihat kelelahan. Ya, sama sepertiku.
ADVERTISEMENT
Kami pun saling berkenalan, bercanda sambil bertukar snack masing-masing. Untungnya mereka tidak bertanya kenapa aku mendaki sendiri.
Sekelompok pendaki yang sedang beristirahat. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Setelah kembali bugar, aku lanjut berjalan menuju Pos 3 dengan trek tanah menanjak yang disertai bebatuan tak terlalu kokoh.
Entah mengapa, tak terlihat lagi pendaki lain sejak dari Pos 2 tadi, dan trauma akan tersesat pun muncul. Belum lagi, aku teringat cerita “Tarzan Sindoro” yang menurut warga sering mencuri peralatan dan bekal para pendaki.
Trek pendakian Gunung Sindoro. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Untungnya aku bertemu sekelompok pendaki yang hendak turun, menandakan aku tak salah jalan. Mereka mengatakan Pos 3 tinggal 15 menit lagi.
Tapi, ya itu hanya white lie khas pendaki yang ingin memberi semangat.
Benar saja, setelah 1 jam mendaki, Pos 3 bahkan belum terlihat.
ADVERTISEMENT
Aku kembali mendaki perlahan, dan akhirnya sampai di Pos 3. Di sana sudah banyak pendaki mendirikan tenda. Aku pun mendirikan tenda dekat sekumpulan pendaki yang sedang memasak kentang rebus.
Salah satu tenda pendaki di pos 3 Sindoro. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Waktu menunjukkan pukul 16.00. Masih banyak waktu untuk beristirahat. Aku pun memutuskan untuk tidur di tenda yang bak kamar tidur raja karena semestinya berkapasitas 4 orang.
Terlalu nyenyak membuatku tertidur hingga jam 10 malam. Sayang dia tak mengisi mimpiku.
Aku lantas keluar tenda dan menghirup aroma hangat mi instan di tengah cuaca beku yang dimasak sejumlah pendaki. Tak mau kalah, aku juga mulai memasak mi 3 bungkus sekaligus lengkap dengan bakso dan sosis.
Nikmat rasanya, ditambah kopi Gayo yang khusus kubawa, perasaan ini begitu sempurna.
ADVERTISEMENT
Aku pun mulai mengatur alarm dan menargetkan mulai mendaki jam 2 dini hari untuk mengejar sunrise.
Setelah merampungkan perencanaan, aku mencoba untuk kembali tidur. Tapi kali ini ada sosok yang tak membiarkanku tidur.
Siapa dia? Tak lain adalah babi hutan, sang penghuni legendaris Gunung Sindoro.
Ilustrasi babi hutan (Foto: Pixabay)
Aku lupa Pos 3 menjadi ladang para babi yang mengais rezeki tambahan dengan memakan sisa-sisa makanan pendaki.
Para babi itu sesekali menyapaku dengan menyeruduk tenda, dan aku pun sesekali membalas sapaan mereka dengan mengayun-ayunkan tangan dari dalam tenda, menolak kunjungan mereka.
“Dijaga” babi-babi itu, akhirnya aku terlelap dan terbangun cukup telat, pukul 3 pagi.
Aku langsung bergegas sembari menyiapkan perbekalan untuk “muncak.”
Dengan memakai headlamp, aku mulai mendaki menuju Pos 4 yang treknya tak terlalu berat. Lagu yang lebih bersemangat, Lebih Indah dari Adera, aku putar kali ini.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sayang, aku gagal memenuhi target untuk melihat sunrise di puncak karena aku baru sampai Pos 4 pada pukul 5 subuh.
Tak apalah, toh tujuanku mendaki untuk sang pujaan. Aku pun mencoba menikmati sunrise yang tak kalah indah dari Pos 4 ini.
Pemandangan sunrise dari Gunung Sindoro (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Setelah menyempatkan sembahyang dan berdoa agar usaha ini tak sia-sia, aku melanjutkan perjalanan ke puncak yang akan memakan waktu sekitar 1,5 jam.
Selama perjalanan menuju puncak, hamparan bunga edelweiss menemaniku sambil aku melintasi sejumlah bebatuan besar bak ninja Hattori.
Padang Edelweis di Gunung Sindoro (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Beberapa pendaki cantik tiba-tiba muncul dan menggoyahkan hati untuk berkenalan, namun niatku yang tulus mampu mengalahkan semua ujian ekstra ini.
Aku mendaki hamparan bukit demi bukit seakan tak ada habisnya. Trek terakhir ini, mungkin bisa dinamai jalur PHP alias pemberi harapan palsu. Sebabnya, dari sini puncak terlihat, padahal setelah sampai di atas, masih ada hamparan bukit lain yang perlu dilewati. Demikian seterusnya bagai tak berkesudahan.
ADVERTISEMENT
Setelah 1,5 jam, langkahku terasa ringan. Akhirnya aku melihat panorama kawah puncak Sindoro. Di sinilah aku akan melukiskan nama sang pujaan.
Dengan gairah cinta yang mengalahkan rasa lelah, aku segera turun ke kawah dan menyusun bebatuan sesuai nama sang pujaan. Setelah itu, aku meminta bantuan pendaki yang berada di atas kawah untuk mengabadikan karyaku ini.
Kawah di puncak Gunung Sindoro. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Selesai. Mission accomplished!
Aku kembali menaiki bibir kawah dan berisitirahat di kawasan puncak yang luas sembari memandang Gunung Sumbing.
Sejenak aku terpikir, betapa bodohnya aku mengabaikan larangan untuk turun ke kawah di puncak ini. Padahal pernah ada beberapa pendaki yang tewas keracunan gas di kawah tersebut.
Bodoh sekali aku memberikan contoh buruk bagi pendaki lainnya karena terbutakan cinta.
Panorama dari puncak Gunung Sindoro (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Suasana hening pun membuatku berpikir, kenapa aku tak mengajak dia ke sini saja, yang mungkin akan membuatnya lebih bahagia ketimbang hanya menunjukkan fotoku yang bersenang-senang sendirian di sini.
ADVERTISEMENT
Aku juga jadi merasa, membuktikan cinta adalah dengan memberikan perhatian secara kontinu, bukan dengan ucapan istimewa satu tahun sekali.
Sepanjang jalan turun, aku terus merenung, penuh bimbang. Aku tak tahu sebaiknya aku tunjukkan atau tidak apa yang kubuat ini kepada dia karena aku takut usahaku ini seperti mengemis, memelas cinta.
Gunung Sindoro (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku pun memulai perjalanan turun. Hingga sesampainya aku di sekitar ladang warga sebelum basecamp, aku menoleh ke belakang, memandang kemegahan gunung setinggi 3136 mdpl yang baru saja aku daki, sembari bertanya:
“Wahai Sindoro, aku ini pejuang atau pengemis cinta?”
ADVERTISEMENT
Ikuti rangkaian kisah Catatan Pendaki di sini