Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Kontroversi Rambu Solo di Mata Generasi Muda Toraja
17 Februari 2019 15:07 WIB
Diperbarui 14 April 2019 13:22 WIB
Upacara kematian berbiaya mahal yang kadang dilakukan demi gengsi, tak disukai kaum milenial Toraja.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah tradisi, upacara pemakaman Rambu Solo milik Suku Toraja memang mengajarkan beragam hal. Tradisi sarat makna milik suku yang konon tercipta dari tanah liat dan emas murni itu mengajarkan manusia untuk saling berbagi, bekerja sama, mencintai keluarga, dan tentunya mau berkorban.
ADVERTISEMENT
Selain menjadi cara untuk membalaskan budi pada orang tua dan leluhur, menurut kepercayaan nenek moyang, upacara pemakaman Rambu Solo adalah salah satu cara menyelamatkan jiwa anggota keluarga yang meninggal dunia. Agar tidak tersendat dan dapat sampai ke alam baka dengan mudah.
Sayangnya, penyelenggaraan upacara pemakaman Rambu Solo menelan biaya yang tidak sedikit. Walau sebenarnya, jika mengacu pada kepercayaan nenek moyang, Aluk Todolo, Rambu Solo seharusnya dilakukan sesuai kemampuan diri dan keluarga.
Tidak boleh dilebih-lebihkan dan kemudian menambah utang, baik untuk diri sendiri maupun keluarga besar, karena dianggap mampu memberikan kerugian yang lebih besar. Tapi sebagai sebuah upacara pemakaman yang membutuhkan bantuan dari banyak orang, memang Rambu Solo membutuhkan biaya, waktu, dan tenaga yang tidak sedikit.
ADVERTISEMENT
Terutama bagi orang-orang yang pergi merantau jauh dari Toraja. Sebab, apabila Rambu Solo dilaksanakan, berarti mereka mesti kembali ke Negeri Lakipadada tersebut. Mengapa?
Karena mereka memang hanya bisa melaksanakan Rambu Solo sesuai dengan ketentuan adat, saat berada di kampung halaman, tempat mereka berasal, di mana ada orang-orang yang mengerti tentang upacara ini lebih dalam dan utuh.
Otomatis, keluarga yang hendak melakukan Rambu Solo harus mampu menyisihkan uang sejak jauh-jauh hari. Yang nantinya akan berguna untuk 'memulangkan' jenazah dari kota tempatnya tinggal, membangun lantang (pondok bambu) sebagai tempat beristirahat bagi tamu, membeli binatang sembelihan, hingga menyisihkan biaya mudik bagi keluarga, supaya bisa kembali ke kampung halaman dan mengikuti prosesi yang ada.
ADVERTISEMENT
Itu baru masalah biaya yang dikeluarkan apabila sang empunya acara berada di luar kampung halaman. Lebih dari itu, masih ada pula rasa gengsi yang dimiliki keluarga. Penyebabnya beragam, untuk terlihat mampu atau berhasil di depan masyarakat, atau karena jenazah sudah disimpan terlalu lama.
Antara Tradisi dan Utang
kumparanTRAVEL mencari tahu apa pendapat generasi milenial Toraja tentang Rambu Solo di tengah era yang serba instan, digital, dan nilai budaya yang semakin terkikis. Apalagi karena Rambu Solo merupakan sebuah tradisi yang tidak bisa dipisahkan dalam lingkar hidup seseorang.
Sebab, ada dua tahap penting yang jadi penentu eksistensi seseorang di dalam dunia, yaitu kelahiran dan kematian. Namun di sisi lain, milenial dihadapkan dengan kondisi keuangan yang semakin mencekik.
ADVERTISEMENT
Sebuah survei keuangan dan properti bahkan menyatakan bahwa milenial akan kesulitan untuk membeli rumah, yang notabene merupakan kebutuhan primer dan juga bisa dijadikan sebagai sarana investasi di masa depan.
Pasalnya, menurut data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, harga rumah di Jabodetabek rata-rata mengalami kenaikan 20 persen per tahun. Dua kali lebih besar dari kenaikan gaji rata-rata karyawan, maupun buruh yang nilainya hanya 10 persen per tahunnya.
Di Jakarta, rumah seharga Rp 200 jutaan tidak lagi tersedia, apartemen berukuran 20x25 meter dijual dengan harga Rp 250 - 400 juta. Sedangkan berdasarkan data dari konsultan properti Savills Indonesia, 46 persen generasi milenial di Jakarta memiliki penghasilan di bawah Rp 4 juta dan Rp 34 persen lainnya berpenghasilan antara Rp 4-7 juta per bulannya.
ADVERTISEMENT
Data ini kemudian diperkuat pula dengan hasil riset Global Wealth Report 2017 yang mengungkapkan, bahwa hanya setengah milenial berusia 25-34 tahun yang bisa memiliki rumah, dan kalangan milenial harus bekerja sampai dengan usia 75 tahun.
Hasilnya, Rambu Solo menghadirkan pro dan kontra tersendiri. Di satu sisi, milenial setuju untuk melanjutkan tradisi upacara pemakaman tersebut, tetapi di sisi lain, mereka punya kegundahan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan.
Sefrini Indah Pratiwi misalnya, gadis keturunan Toraja yang berdomisili di Toraja ini menuturkan, bahwa Rambu Solo memang menjadi ciri khas kebudayaan Toraja yang harus dilestarikan. Tapi di sisi lain, ia merasa dengan hadirnya utang-piutang yang terjadi setelah acara dilangsungkan memberikan beban tersendiri bagi generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
"Rambu Solo, walaupun itu kebudayaan yang menjadi ciri khas kita (suku Toraja), tapi secara tidak langsung juga menjadi 'beban' bagi generasi penerus Toraja. Bagaimana tidak, utang-utang adat (utang kerbau atau babi pada keluarga lain) yang ditinggalkan oleh nenek moyang, mau tidak mau harus kita bayar.
Saya, sih, kurang suka dibebani utang," tutur wanita 23 tahun yang baru saja diterima jadi abdi negara itu, saat dihubungi kumparanTRAVEL lewat layanan pesan singkat WhatsApp pada Rabu (14/2).
Hal yang sama juga dituturkan Yudijaya Kurniadi, seorang pegawai BUMN keturunan Toraja yang kini bekerja di ibu kota. Menurut pria yang akrab dipanggil Yudi itu, tradisi Rambu Solo perlu dipertahankan, karena merupakan peninggalan leluhur dan bagian budaya.
ADVERTISEMENT
Apalagi mengingat kondisi perkembangan teknologinya sangat cepat berkembang, yang dapat membuat tradisi jadi 'kalah' dan dilupakan generasi muda. Namun, ia juga mengkhawatirkan jumlah dana yang terlalu besar ketika melakukan upacara Rambu Solo.
"Kalau saya secara pribadi sih, ya, sebenarnya adat itu bisa dipertahankan, namun dengan porsi atau kemasan yang berbeda, dan tidak terlalu banyak menghamburkan uang. Karena sangat rentan berhubungan dengan materi, (Rambu Solo yang terlalu besar) bisa merugikan masyarakat.
Soalnya menghabiskan uang yang lumayan banyak ketika (anggota keluarga lainnya) masih hidup hanya untuk merayakan suatu pesta kematian," kata pria kelahiran Dili, 7 Agustus 1994 tersebut.
Bagi Sefrini dan Yudi, akan lebih baik jika upacara pemakaman dilakukan sewajarnya saja, sehingga dana yang tersisa dapat digunakan untuk keperluan lain di masa depan, seperti investasi, tabungan, pendidikan, keluarga, atau mempersiapkan kebutuhan anak.
ADVERTISEMENT
Termakan Gengsi
Pendapat mereka hadir bukan tanpa alasan. Sebab, sebagai generasi Toraja yang melihat dan menyaksikan sendiri hadirnya upacara Rambu Solo dalam kehidupan manusia, ada beragam upacara yang dilakukan secara besar-besaran dengan menghalalkan segala cara hanya untuk menutupi rasa gengsi di hadapan masyarakat sekitarnya.
Juhniarto Roma Tandipasau misalnya, pria asli Makale, Tana Toraja, yang tengah bekerja di Jakarta ini sepakat bahwa Rambu Solo merupakan tradisi yang unik. Sebab, dalam suku Toraja, kematian harus dirayakan dengan sukacita, terlebih dalam budaya Toraja, orang yang sudah meninggal pastinya akan sangat dihormati.
"Setiap orang yang mampu secara finansial di Toraja harusnya (memang) mampu membagikan sukacita melalui Rambu Solo, meskipun mereka dirundung duka. Sisi negatifnya, sih, tentang gengsi.
ADVERTISEMENT
Kadang ada keluarga yang maksa bikin Rambu Solo yang meriah biar dianggap tinggi. Jadi kadang menghalalkan segala cara, gitu. Pakai utanglah, atau yang lainnya," kata pria lulusan salah satu universitas negeri di Semarang itu.
Ia menambahkan bahwa terkadang Rambu Solo juga dapat menghadirkan konflik antar keluarga terkait utang adat atau balas budi setelah diselenggarakan.
"Jadi terkadang ada pertengkaran begitulah kalau enggak balas budi, misalnya tidak datang membantu atau tidak membayar utang binatang sembelihan yang setimpal, masalah beban moral, ya," ungkapnya.
Setali tiga uang dengan Juhniarto, Yudi juga mengungkapkan bahwa memang terkadang gengsi lebih diprioritaskan oleh sebagian orang ketika melakukan Rambu Solo. Ia bahkan pernah menyaksikannya sendiri.
"Oh, ada pastinya. Baik kalangan keluarga yang sudah jauh maupun kenalan sesama orang Toraja, ada kok yang seperti itu. Dan, ya, memang mereka masih menikmati hidup seperti itu untuk sebuah pesta kematian. Mereka lebih memilih untuk tetap eksis, meskipun setelah itu kondisi keuangannya harus kekurangan, gitu," jelas Yudi.
ADVERTISEMENT
"Itu hal yang sudah pasti ada, karena memang masyarakat Toraja pada umumnya seperti itu. Mereka lebih pilih hidup bergengsi daripada jadi bahan omongan orang, kalau enggak merayakan Rambu Solo," sambungnya.
Di Masa Kini
Hadirnya upacara pemakaman Rambu Solo dalam budaya Suku Toraja bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, sebagai sebuah tradisi, Rambu Solo secara kepercayaan nenek moyang diyakini dapat menyelamatkan jiwa orang yang telah meninggal, agar dapat sampai ke alam baka.
Dalam pemahaman masyarakat Toraja saat ini, Rambu Solo dijadikan sebagai kesempatan menyampaikan penghormatan terakhir dan ajang balas budi pada anggota keluarga yang meninggal. Sedangkan di sisi lain, muncul dilema tersendiri, mulai dari beban moral, beban ekonomi, dan salah persepsi.
ADVERTISEMENT
Yang membuat orang-orang berusaha untuk membuat Rambu Solo sebesar, semegah, dan semewah mungkin, karena hal ini menjadi sebuah pertanda keberhasilan dan menaikkan gengsi di mata masyarakat sekitarnya. Alih-alih saling berbagi, Rambu Solo jadi ajang pamer kebisaan dan penghamburan uang yang diklaim sebagai tanda kasih sayang pada leluhur atau nenek moyang.
Lalu, apa usaha generasi muda dalam menjembatani kedua sisi yang berlawanan tersebut?
Jelas, dengan melakukan kompromi. Membuat keputusan yang tidak terlalu muluk, menyesuaikan dengan kondisi keuangan, dan mencari kesepakatan bersama yang tidak memberatkan antara seluruh anggota keluarga.
Seperti yang diceritakan oleh Gloria Bunga, milenial Suku Toraja yang sejak lahir hingga saat ini berdomisili di Jakarta. Menurut penuturannya, di masa kini ada berbagai penyesuaian yang terjadi dalam menyelenggarakan upacara pemakaman Rambu Solo, tidak sesaklek ketentuan adat di masa lampau.
ADVERTISEMENT
"Misalnya meninggal di luar kota, akan diadakan semacam acara kebaktian (mayoritas Suku Toraja memeluk agama Kristen) dulu, lalu setelahnya, sesegera mungkin diterbangkan ke Toraja untuk Rambu Solo dan langsung dikuburkan. Jadi bisa menghemat biaya dan waktu," terang Gloria.
"Pesta Rambu Solonya pun sederhana, seperti mungkin jumlah kerbau atau babi yang tidak terlalu banyak, dan waktu pelaksanaannya pun cukup tiga hari.
(Padahal) kalau orang dulu, (Rambu Solo) biasa diadakan minimal satu minggu. Bahkan kalau punya kedudukan di Toraja, seperti Raja atau masih ketururunannya, acara bisa diadakan sangat mewah dan waktu upacaranya bisa sebulan penuh. Jumlah kerbaunya mencapai puluhan atau ratusan," lanjutnya.
Lain Gloria, lain pula Leonita Biovani. Perempuan keturunan Toraja yang lahir pada 11 Agustus 1995 itu mengungkapkan ada beragam cara yang bisa dilakukan. Ia sendiri sedang membangun cara dan persepsi yang baru dalam keluarganya, yaitu dengan membahagiakan anggota keluarga yang dicinta selagi mereka masih bisa bernafas.
ADVERTISEMENT
"Aku coba ajak keluargaku menyenangkan nenek dari sekarang, berhubung masih dikasih umur yang panjang dari Tuhan. Misalnya, saling bahu membahu untuk memenuhi kebutuhannya, kirimkan uang tiap bulan.
Karena percuma aja kalau sudah meninggal nanti dan mau buat Rambu Solo besar-besaran pun, sudah tidak bisa dirasakan oleh nenek, tapi hanya orang-orang yang masih hidup saja. Tapi selagi memang Rambu Solo bisa dilakukan pada saat kita mampu untuk melakukannya, kenapa tidak. Asal tidak sampai memberatkan kehidupan selanjutnya," katanya bercerita.
Menurutnya, Rambu Solo tidak akan memberatkan selama dilakukan sesuai dengan kemampuan yang dimilliki. Apalagi mengingat upacara pemakaman ini punya manfaat yang besar bagi warga sekitar melalui pajak daerah.
Anggaran daerah yang terkumpul dari pajak pemotongan hewan itu nantinya akan berguna untuk membuat dan memperbaiki fasilitas umum, seperti jalan raya, toilet, dan kawasan wisata.
ADVERTISEMENT
"Yang salah sebenarnya dari Rambu Solo adalah persepsi harus mengadakan pesta besar-besaran, supaya dianggap terpandang. Ada rasa gengsi kalau tidak melakukan itu, sih, sebenarnya. Jadi lebih ke sistem dalam menjalankan Rambu Solo dan respon orang-orangnya saja, sih," ungkap wanita yang akrab dipanggil Vani itu.
Bagi Vani, hilangnya Rambu Solo bisa jadi penentu eksistensi budaya Toraja di mata masyarakat luas maupun dunia. Suku Toraja yang biasa dikenal dengan Rambu Solo bisa saja terlupakan seiring hilangnya tradisi upacara pemakaman itu.
Ia sudah tentu tak ingin itu terjadi.
Simak ulasan lengkap soal tradisi pemakaman ala Toraja pada Konten Spesial kumparan, dengan mem-follow topik Rambu Solo Toraja .
ADVERTISEMENT