Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Mencari Duka di Tengah Semarak Rambu Solo Toraja
17 Februari 2019 13:11 WIB
Diperbarui 14 April 2019 13:20 WIB
Tangisan biasa pecah di pemakaman, tapi duka tak terlihat di Rambu Solo yang berhias tawa kerabat.
ADVERTISEMENT
Janggal. Kata itu sempat kami—kru kumparanTRAVEL—sematkan ketika mengikuti prosesi Rambu Solo di Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Pada upacara kematian yang berlangsung selama 12 hari itu, hingga hari kelima tak terlihat rona duka di antara para keluarga dan tamu undangan.
ADVERTISEMENT
Ini sungguh berbeda dengan seremoni pemakaman biasa yang penuh duka. Rambu Solo bahkan lebih mirip reuni ketimbang penguburan. Alih-alih duka, tawa acap kali terdengar di tengah rangkaian upacara. Kami bisa dengan mudah lupa bahwa itu acara duka andai tak ada peti jenazah dan pakaian hitam-hitam yang dikenakan para tamu.
Yefta Salamba Pabisangan, salah satu anggota keluarga almarhum Pong Buri yang di-Rambu Solo-kan, mengatakan mereka memang sebisa mungkin tak memperlihatkan duka dan tangis pada orang-orang yang datang.
“Kita (terlihat gembira) begitu bukan karena kita senang, tapi itu obat dari apa yang kita buat. Walaupun kita bersedih, tidak bisa diperlihatkan ke orang lain, karena kita mesti menerima tamu. Kita tersenyum, karena merasa puas bisa sampai di puncak acara,” kata Amba, sapaan akrab Yefta Salamba, kepada kumparanTRAVEL di sela acara, Sabtu (19/1).
ADVERTISEMENT
Saat prosesi Rambu Solo memasuki tahap akhir, ketika seluruh kerbau kurban sudah disembelih dan jasad Pong Buri diantar ke rumah penguburan, barulah kesedihan mengambang nyata di udara.
Pada hari terakhir Rambu Solo, peti berisi jasad Pong Buri diturunkan dari lakkian (tempat penyimpanan jenazah dari bambu yang dibuat lebih tinggi dari bangunan sekitarnya) setelah lima hari bersemayam di sana, dan diarak menuju rumah penguburan.
Prosesi dimulai pukul 08.00 pagi, dibuka oleh ibadah kristiani yang disusul dengan acara adat. Peti diturunkan lewat tengah hari, sekitar pukul 14.30, oleh para pria yang telah berkumpul di tengah lapangan. Dengan peluh bercecer di dahi dan bahu, mereka bahu-membahu menurunkan peti yang berat.
Di lapangan itu pula, keluarga telah menunggu. Ketika peti berhasil diturunkan dan dinaikkan ke tandu untuk diarak, pecahlah tangis mereka. Kerabat yang semula selalu tersenyum, mulai terisak. Demikianlah air mata mengalir dan menyebar di antara anggota keluarga, hingga isak tangis terdengar bersahutan.
Pada saat itu, barisan penyanyi dan penari yang Ma’badong bergegas bergerak untuk ambil bagian dalam upacara. Mereka bernyanyi untuk menghibur keluarga yang berduka. Beberapa anggota keluarga almarhum pun ikut bernyanyi guna melipur lara.
ADVERTISEMENT
Mereka menyanyikan kebaikan almarhum Pong Buri semasa hidup, mengalunkan kesan dan kenangan yang tak terlupa dari sosoknya, mematri ingatan akan Pong Buri yang pernah mengisi bagian hidup mereka.
Siapa Pong Buri
Pada usianya yang ke-70 pada 10 Januari 2018, Thomas alias Pong Buri meninggal karena sakit. Ia meninggalkan empat istri, sembilan anak (empat laki-laki dan lima perempuan), serta 17 cucu.
Sejak kepergiannya pada Januari 2018 itu, jasad Pong Buri disimpan dalam rumahnya di Rantepao, Toraja Utara, lazimnya jenazah orang Toraja lain yang belum diupacarakan. Sembari keluarga mempersiapkan Rambu Solo, jenazah Pong Buri disuntik formalin. Almarhum lalu dipakaikan baju khas Toraja dan dimasukkan ke dalam peti.
ADVERTISEMENT
Sesuai kesepakatan keluarga, untuk menyempurnakan kematian Thomas, Rambu Solo digelar pada 12-22 Januari 2019. Tak tanggung-tanggung, keluarga menyiapkan 36 ekor kerbau, selusin lebih banyak dari ketentuan adat dan kasta Pong Buri.
Hewan Kurban
Sebanyak 36 ekor kerbau yang disiapkan keluarga untuk kurban, terdiri dari empat jenis berbeda sesuai ketentuan adat Toraja. Kerbau yang paling mahal ialah tedong saleko yang berwarna dasar putih dengan corak hitam. Ia bisa bernilai mulai ratusan juta hingga Rp 1 miliar. Ini kerbau dengan kasta tertinggi karena sangat sulit ditemukan.
Ada pula tedong bulan atau kerbau albino merah muda dengan mata berwarna pucat. Selanjutnya tedong balian, yaitu kerbau berwarna hitam keabu-abuan yang dikebiri. Terakhir adalah tedong pudu, yakni kerbau bertanduk kuat dengan badan kekar dan berwarna hitam pekat yang digunakan untuk bertarung.
Selain kerbau, babi dalam berbagai ukuran juga jadi kurban. Babi-babi itu diikat pada sebilah bambu. Kakinya telah dilumpuhkan sehingga tidak mampu lagi berdiri. Tak cuma itu, di sisi jalan masuk menuju lapangan tongkonan, terdapat pula kambing, rusa, dan kuda, masing-masing satu ekor, untuk melengkapi upacara.
ADVERTISEMENT
Hewan-hewan kurban tambahan itu juga disembelih sebelum acara penguburan, dan dagingnya dikonsumsi bersama-sama dengan keluarga besar, para tamu, dan warga kampung.
Arakan Jenazah
Pada hari kelima, 16 Januari, jenazah diarak keliling kampung oleh keluarga besar dan warga setempat. Prosesi yang disebut Ma’pasonglo ini bertujuan untuk mengabarkan luas pada warga kampung bahwa Pong Buri telah meninggal dan akan dikuburkan.
Perjalanan mengarak jenazah dimulai dengan alunan suara gong, yang diikuti barisan pria pembawa kain panjang yang diikatkan di ujung bambu, dan tarian perang dipimpin empat pria berbaju merah dengan perisai kayu di tangan.
Pada arakan tersebut, di belakang peti jenazah terdapat tau-tau, yaitu patung manusia yang diukir semirip mungkin dengan almarhum. Tau-tau ditandu layaknya manusia hidup, lengkap dengan atap pelindung dan ornamen pada tandunya yang bernuansa merah. Untuk tau-tau Pong Buri, keluarga menyiapkan tandu berhias parang emas di bagian depannya.
ADVERTISEMENT
Barisan pengarak jenazah bersorak sambil meneriakkan yel-yel untuk membakar semangat para pengangkat tandu. Mereka juga mengambil air, lumpur, tanah becek, bahkan kotoran kerbau di sekitar jalanan yang dilintasi, untuk disiramkan kepada rombongan sebagai tanda sukacita, kerja sama, dan saling menyemangati.
Sebisa mungkin, setiap orang yang berada dalam barisan rombongan harus ambil bagian dalam acara lempar-melempar ini. Mereka bahkan kerap menggoyang-goyangkan peti jenazah sebagai tanda bahagia. Benar-benar pemandangan tak lazim pada upacara pemakaman.
Tamu Berdatangan
Sibuk. Itulah satu kata yang paling tepat menggambarkan kondisi upacara pemakaman Rambu Solo Pong Buri kala itu. Pemimpin acara memberi komando, pemangku adat menjaga kelangsungan acara, para penyanyi dan penumbuk alu mengalunkan irama, dan keluarga menyambut tamu yang datang tanpa henti.
Setiap tamu yang datang dalam upacara Rambu Solo Pong Buri akan disambut pula dengan tarian Ma’badong. Sambil mengaitkan jari kelingking, para pria berbaju dan bertopi hitam bernyanyi bersahut-sahutan sambil bergerak ke kiri dan kanan.
ADVERTISEMENT
Mereka membentuk formasi melingkar dan bergerak kompak tanpa aba-aba. Ada kalanya mereka bergerak kian cepat, melambat, lalu melompat berlawanan dengan arah jarum jam. Mereka tak peduli dengan batu, pasir, kaca, atau kotoran di sekitar.
Tanah Merah di Hari Penyembelihan
Setelah dua hari menerima tamu dan beristirahat, tibalah puncak acara yang dinanti-nanti, yaitu mantunu tedong atau menyembelih kerbau.
Pada prosesi ini, seluruh kerbau dikumpulkan di tengah lapangan dan disembelih satu per satu secara bergantian oleh para patinggoro atau tukang jagal.
Roni Pabisangan, putra mendiang Pong Buri, mengatakan ada 24 ekor kerbau yang dikurbankan pada prosesi mantunu, tidak 36 ekor yang merupakan jumlah total kerbau.
"Hari ini yang disembelih 24 ekor karena yang lain sudah duluan dipotong, satu ekor tiap hari mulai tanggal 12 (Januari). Nanti yang kerbau balian, dipotong di hari terakhir waktu mau penguburan," kata dia.
Kala mantunu dilakukan, terdapat 23 ekor kerbau yang disembelih patinggoro, bukan 24 ekor. Kenapa berkurang satu? Ternyata karena keluarga menyumbangkan satu ekor untuk gereja.
ADVERTISEMENT
Sebelum para patinggoro menebas kerbau-kerbau itu, mereka memegang kerbau tersebut dan mengelus kepalanya layaknya hewan peliharaan sendiri. Mereka seolah berkata pada si kerbau, “Tenang, ini akan berakhir cepat.” Satu per satu patinggoro menuntun kerbau memasuki arena.
Di arena, kaki kerbau diikat kuat dengan tali. Wajah si kerbau lalu dihadapkan ke arah lakkian atau tempat menyimpan jenazah, sebagai bentuk persembahan guna mengantar roh si orang mati ke alam baka.
Berikutnya, ketika kepala kerbau setengah menengadah, patinggoro menebaskan parang tajamnya ke leher kerbau.
Setelah seluruh kerbau disembelih, menyusul binatang kurban lainnya seperti kambing, kuda, hingga rusa. Bedanya, tidak seperti kerbau, ketiga hewan tersebut disembelih dengan bantuan beberapa orang.
Selanjutnya, hewan-hewan yang telah disembelih itu langsung dibersihkan di tengah lapangan, dipotong-potong, dan dibagikan sesuai ketentuan dari keluarga. Beberapa bagian disisihkan untuk dimasak sebagai jamuan bagi para tamu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tanduk kerbau dan rusa dipisahkan dari kepala, dan disusun di tengah lapangan untuk dikeringkan guna dipajang di tongkonan atau rumah adat setelah upacara Rambu Solo berakhir.
Namanya saja upacara kematian, kesedihan tentu tetap terasa. Meski begitu, kebersamaan seluruh penduduk kampung membuat duka terangkat sedikit demi sedikit.
Pintu kubur ditutup, dan selesailah kehidupan Pong Buri di dunia. Bersama kurban yang telah disembelihkan anak-anaknya, ia berangkat menuju alam baka, bertemu dan bersatu dengan para leluhurnya.
***
Simak ulasan lengkap soal upacara kematian ala Toraja pada Konten Spesial kumparan, dengan mem-follow topik Rambu Solo Toraja .
ADVERTISEMENT