Perjalanan Tanpa Angka Menuju Nirwana

22 Januari 2017 8:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suasana di Stasiun Sudirman. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Angka dapat membutakan segalanya. Sekarang, singkirkan angka-angka itu. Matamu tak memerlukannya. Mari kita bertamasya dengan mata hati.
ADVERTISEMENT
Tutup bola matamu, dan buka mata hatimu. Bayangkan kamu hidup di perkotaan, dengan agenda padat dan rayuan gemerlap hiburan di sana-sini. Semua terasa seperti kosmetik. Palsu. Kamu ingin menghapusnya dengan sekali sapuan.
Sampai suatu ketika, kalender di meja ruang kantormu berwarna merah mawar di pengujung bulan.
Ah, ini pertanda. Saatnya tiba, untuk melancong bersama para sahabat.
Terbetik di benak, cerita kerabat di media sosial tentang sebuah nirwana di penghabisan Pulau Jawa.
Maka, tanpa basa-basi rencana yang biasanya berakhir wacana, kamu dan kawan-kawan sepakat mengunjungi nirwana itu. Kalian membeli tiket sepur di stasiun terdekat.
Kalian sudah memutuskan: baik, pekan depan kita berangkat!
Hari-hari penantianmu penuh gairah. Tiap malam, kamu memainkan lagu Terpesona Glenn Fredly, dengan keyakinan bahwa pesona nirwana di ujung Jawa itu akan menghapuskan sejenak bosanmu terhadap kantor dan kekasih.
ADVERTISEMENT
Hari keberangkatan pun tiba. Dengan semangat menggebu, kamu bangun pagi. Bayangan akan nirwana menjadi-jadi. Hati berseru: tunggu kami!
Pemandangan dari dalam kereta ekonomi AC. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Kalian melalui perjalanan berjam-jam, sampai akhirnya tiba di sebuah stasiun. Namanya Stasiun Karangasem. Terletak di daerah Glagah, Banyuwangi --kabupaten paling ujung di timur Jawa.
Untuk menuju nirwana itu, tentukan dulu pilihan: mau naik ojek, menyewa mobil, atau menumpang truk pengangkut belerang.
Alam bebas membuatmu sedikit lebih “liar”, mengembalikan bara jiwa mudamu. Kamu dan teman-teman memilih naik truk pengangkut belerang bersama para pekerja tambang dan penjual jajanan.
Truk pengangkut belerang. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Sepanjang jalan, sensasi getaran truk terasa menggoda. Kamu melihat sekitar. Ranting-ranting pohon menyapa ramah, “Selamat pagi, wahai anak manusia.”
Lanskap hutan-hutan dan perbukitan yang diselimuti hawa sejuk, membuat perjalanan jauh dan berliku jadi tak terasa.
ADVERTISEMENT
Ini ekspedisi menuju nirwana. Tentu saja semua indah!
Pemandangan di sekitar taman wisata Kawah Ijen. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Truk pengangkut belerang yang kamu tumpangi berhenti di sebuah lokasi bernama Paltuding. Di sini, kamu melihat banyak pekerja tambang mondar-mandir memikul belerang si batu kuning.
Pikirmu, pikulan itu tentu sebanding dengan barbel yang biasa kamu angkat di tempat fitness.
Pusat penimbangan hasil tambang belerang. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Ah, ayo lanjutkan perjalanan. Kamu melupakan para penambang dan melangkah menuju kawasan bumi perkemahan yang dikelilingi penginapan dan warung.
Pendakian baru dimulai esok subuh, sedangkan hari masih siang.
Kawasan Bumi Perkemahan Paltuding. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Kamu menunggu fajar menyingsing di sebuah warung yang cukup luas. Lumayan, di sini kamu bisa berbaring sejenak seraya memejamkan mata.
Di warung itu, terik mentari tak begitu terasa, tersapu sejuk angin gunung.
Waktu bergulir pelan. Kamu menitinya dengan sabar sambil mengamati aktivitas para penambang. Sesekali, kamu dan penambang-penambang yang membawa troli dan tas pengangkut belerang itu saling lempar senyum.
Penambang belerang yang menggunakan troli. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Siang berganti sore. Tak terhitung sudah, jumlah gorengan hangat yang masuk ke perut. Mulai pisang goreng, tahu isi, bakwan, sampai mendoan.
ADVERTISEMENT
Gadget kau simpan rapi, tak tersentuh. Buat apa? Jagat maya di sini hanya bisa digapai lewat wifi khusus berbayar yang voucernya dijual di warung-warung lokal.
Tapi, siapa perlu jagat maya bila kau bisa menikmati semesta nirmala yang nyata ini?
Pak Im dan Bu Im, pasangan suami istri ramah pemilik warung tempatmu beristirahat, tiba-tiba menyarankan padamu untuk berjalan ke arah utara, menuruni bukit.
Di sana, tersembunyi dari mata, terdapat curug atau air terjun yang menurut Pak Im dan Bu Im sangat indah.
Cuma berjalan kaki menuju ke sana, kata mereka meyakinkan.
Pak Imron dan Bu Imron. (Foto: empreintedasie.com)
Baik, kamu menuruti nasihat mereka. Kakimu melangkah setapak demi setapak menuruni jalan beraspal nan sepi.
Sesekali rombongan motor lewat, membunyikan klakson tanda sapaan ramah khas Jawa.
ADVERTISEMENT
Tapi, setelah sekian lama kamu melangkah, kenapa tak juga tampak tanda-tanda keberadaan curug itu? Suara gemericik air terjun sama sekali tak terdengar.
Kamu dan kawan-kawan jadi kesal. Kalian menghela napas beberapa kali.
Menikmati pemandangan di taman wisata Kawah Ijen. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Sampai akhirnya kau menyadari panorama memukau di sekeliling.
Ah, kalian terlalu fokus mencari air terjun itu, sampai tak menoleh ke arah hijau bebukitan, emas rerumputan, dan biru kehitaman bebuahan berry yang terhampar dan terserak di sepanjang jalan.
Kesalmu redup, melihat alam berupaya sekuat hati menyuguhkan lukisan menawan.
Senja datang. Kamu kembali ke Paltuding untuk bersembahyang dan menghangatkan diri lagi di warung Bu Im.
Vegetasi di sekitar taman wisata Kawah Ijen. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Keramaian menyeruak di bawah bentangan selimut malam. Turis lokal bercampur turis rambut emas mata biru memenuhi berbagai sudut Paltuding. Kepadatan terutama terlihat di warung-warung yang menyajikan berbagai santapan hangat.
ADVERTISEMENT
Malam. Betapa gelap bisa begitu indah. Mata rakusmu puas memandang sapuan kuas sang Pencipta. Semua penatmu seolah lenyap.
Inilah hidup di kayangan!
Perlahan, suasana hangat menjalar. Sejumlah lelucon mulai dilontarkan, kebanyakan dari pemandu wisata lokal yang telah bertahun-tahun melayani para turis asing.
Si pemandu wisata sekilas mirip vokalis The Rolling Stones, Mick Jagger. Berambut gondrong klasik nan aduhai, dan berjaket kulit hitam.
Dengan penampilan nyentriknya itu, “Mick Jagger” membantu penjaga warung --dengan pilih kasih. Ia hanya mau melayani turis-turis perempuan berpenampilan eksotis.
Si “Mick Jagger” mungkin merindukan bidadari.
Mick Jagger (Foto: Mick Jagger/Facebook)
Angin malam kian menusuk. Untunglah kamu mulai terbiasa dengan udara dingin. Kamu dan sahabat mengisi malam dengan bermain poker.
Malam makin larut. Tarung poker tambah sengit. Rivalitas kian tajam. Ide-ide taruhan yang tak masuk akal bermunculan dari kepala peserta. Jika kalah, silakan berguling-guling di tanah.
Sejumlah wisatawan di Paltuding. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Subuh menjemput. Kamu dan kawan-kawan membeli tiket dan bergegas menyusuri jalur pendakian yang telah dipenuhi para pendaki.
ADVERTISEMENT
Tapi kamu sedikit terkejut. Ternyata masih banyak penambang yang beraktivitas di tengah pagi gelap, dengan udara dingin menusuk belikat.
Kakimu menapak perlahan. Menjelajah. Headlamp dan senter jadi alat penerang jalan, selain sisa cahaya bintang di langit yang sesekali memandu.
Jalanmu tak cepat. Kakimu menua, pun temanmu. Maka beberapa bocah menyalip mendahului pendakian kalian.
Disalip bocah-bocah, kamu merasa martabatmu jatuh. Seakan balapan, kamu mencoba berlari mendahului mereka sembari bersenda gurau.
Tapi, apa boleh buat, umur tak bisa lagi disembunyikan. Setelah adu sprint dengan para bocah itu, kamu berhenti di sebuah posko di tengah perjalanan.
Atur dulu napasmu, jangan terburu nafsu.
Wisatawan beristirahat di posko pendakian Ijen. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Sementara kamu mengatur napas, para bocah penyalip berteriak-teriak kepada orang tua mereka agar melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat di posko.
ADVERTISEMENT
Tentu saja teriakan itu dianggap angin lalu. Orang tua bocah-bocah ini, karena sudah berumur, ikut beristirahat di posko yang dipenuhi turis asing, mayoritas berasal dari Perancis, Belanda dan Australia.
Wisatawan asing di Kawah Ijen. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Perjalanan berlanjut. Bau belerang makin menyengat, menutupi bau badanmu yang belum mandi seharian. Demi menangkal aroma busuk itu, kamu mengenakan masker ala pengendara bermotor.
Beberapa saat kemudian, jalur menjadi landai. Pikulan dan troli terlihat terparkir di sudut-sudut jalan, pertanda nirwana yang kamu tuju sudah dekat.
Kamu menengok ke belakang. Ada rangkaian titik cahaya bergerak. Mereka seperti kunang-kunang yang berpesta di kesunyian alam.
Kamu melangkah lebih jauh, tampak antrean panjang. Beberapa orang menawarkan masker gas. Terlihat pula papan peringatan yang berisi keterangan bahwa wisatawan dilarang menuruni kawah beracun.
Papan peringatan di Kawah Ijen. (Foto: Uwe Aranas/CE Photo)
Papan peringatan itu nyaris tak berguna. Turis berbondong-bondong bertaruh nyawa demi melihat fenomena langka yang melegenda di nirwana itu, yakni blue fire -- "lukisan" api berwarna biru, hasil duet mematikan belerang cair dan gas panas bumi.
ADVERTISEMENT
Kamu pun tergoda pesona blue fire, lantas bersama sahabat turun ke area kawah dengan masker alakadarnya.
Namun kamu diserbu pikiran buruk. Terlintas di benakmu bayangan akan nyawa-nyawa yang melayang karena mengabaikan peringatan “Dilarang turun ke kawah.”
Keraguan menyergap. Sementara kawan-kawanmu menuruni trek bebatuan dengan kelincahan kura-kura ninja.
Blue fire di Gunung Ijen. (Foto: Dok. Pemkab Banyuwangi)
Bau pekat gas belerang bercampur tiupan angin menyelubungi tubuh, membuatmu kian meragu dan mulai berhalusinasi tentang kematian.
Ah, ini tidak bagus. Kamu duduk sejenak pada bebatuan di tempat yang cukup lapang, melihat manusia-manusia di sekitarmu yang seolah memiliki sembilan nyawa bak kucing.
Kamu memutuskan untuk kembali naik, membiarkan teman-temanmu bergerak sesuai naluri masing-masing.
Asap mulai mengepul tebal dari bawah kawah, membuatmu khawatir dengan keselamatan teman-teman dan wisatawan lain, termasuk anak-anak.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang sama, kamu terpukau melihat daya tahan dan nyali para penambang belerang. Mereka, membawa pikulan dan tanpa masker, mondar-mandir di sepanjang area kawah. Tidakkah paru-paru mereka dipenuhi racun uap belerang?
Penambang belerang beraktivitas di malam hari. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Lamunanmu tentang para penambang belerang terputus asap yang mendadak membesar dan bergerak ke atas kawah. Kamu langsung bergegas ke atas, tak kuat dengan sesaknya udara.
Di bawahmu, beberapa pendaki lain juga lekas naik, meski tak sedikit pula yang memilih bertahan bersama para penambang di bawah kawah.
Sesampainya di atas, kamu mencoba melihat ke arah bawah. Tapi yang tampak cuma kepulan asap yang menutupi blue fire.
Sudahlah, istirahat saja dulu sembari menunggu sahabat-sahabat.
Sejumlah pendaki berkumpul di dekat api unggun. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Beberapa pendaki berkumpul di dekat api unggun yang sengaja dibuat untuk menghangatkan badan yang mulai beku oleh terpaan angin gunung.
ADVERTISEMENT
Di antara mereka, ada yang duduk berpasangan, mengingatkanmu akan romansa masa remaja.
Pemandangan Kawah Ijen di pagi hari. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Langit mulai menerang, kau mencari tempat sunyi untuk sejenak bersembahyang. Menaiki bukit, mencari suasana damai untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta.
Selepas bersembahyang, kau mendongakkan kepala ke atas. Langit sedang menghias diri dengan sapuan rona merah bercampur oranye. Sungguh mengagumkan.
Ini waktunya! Kamu segera berlari ke arah puncak. Di sanalah, akhirnya, kau tiba di nirwana, dan menyaksikan daya pikat magisnya.
Gunung Ijen. Nirwana di ujung Jawa.
Kawah, bebatuan, asap belerang yang menggumpal tinggi, dan rekah fajar, bersatu mewujud pesona yang tiada bandingannya.
Panorama Kawah Ijen saat menjelang sunrise. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Kamu berdiam lama di puncak, berusaha mencari arti dari perjalananmu hingga ke titik ini.
Angin pegunungan membelaimu, mengetuk hatimu, mengantarkan sebuah pesan. Ia seperti berbisik, “Bicaralah kepada para penambang.”
Penampakan Kawah Ijen. (Foto: Juanjogo/Pixabay)
Kamu pun menyapa sekumpulan penambang belerang yang sedang beristirahat. Mereka menjawab, dan memulai kisahnya.
ADVERTISEMENT
Kisah itu tentang perjuangan hidup dan keterbatasan pilihan. Para penambang menunjukkan bahu mereka yang besar dan membiru.
Luka, lecet, kapalan, dan kulit melepuh adalah hal biasa bagi mereka. Itu perjuangan mereka.
Kematian yang menjemput kawan-kawan lama mereka, tak jadi alasan untuk berhenti menambang. Seakan lebih baik mati di nirwana daripada mati di jurang kelaparan.
Aktivitas penambang belerang di Kawah Ijen. (Foto: Afandi Ahmad/Pixabay)
Pikulan para penambang yang terisi penuh oleh belerang, kamu coba angkat. Kamu langsung merasa lemah. Hanya sesaat, telapak tanganmu sudah memerah perih.
Kamu mendengar cerita mereka cukup lama, sebelum mereka kembali bekerja mengumpulkan belerang demi beroleh upah dari para pengepul.
Penambang memikul belerang di kawasan Gunung Ijen. (Foto: Dok. Pemkab Banyuwangi)
Sahabatmu akhirnya terlihat. Ia menuju arahmu, bercerita tentang bagaimana ia merapal doa di tengah kepungan asap belerang saat mengincar blue fire.
ADVERTISEMENT
Perjalanan "tanpa angka"-mu berakhir. Waktunya pulang.
Suasana di sekitar Kawah Ijen. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Sepanjang jalan menuruni gunung, menempuh lintas batas kota hingga provinsi di atas lintasan rel kereta, kamu tak henti bertanya pada hati kecilmu.
“Apa yang telah aku lakukan untuk dunia ini? Sudahkah aku bersyukur atas apa yang aku punya?”
Pemandangan di Kawah Ijen. (Foto: Justin Blethrow/Wikimedia Commons)
Ikuti rangkaian kisah Catatan Pendaki di sini