Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Hypebeast: Sejuta Akal demi Gaya Mahal
23 November 2018 10:14 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
ADVERTISEMENT
2015 menjadi tahun paling sibuk bagi Haidir Rahman. Pemuda 27 tahun itu membuka hari sejak pukul 7 pagi untuk bekerja kantoran sampai jam 5 sore. Sesudah itu, ia memakai jaket hijau ojek online dan melanglang di jalanan.
ADVERTISEMENT
Haidir benar-benar banting tulang dan memeras keringat. Semua demi gaya hidup hypebeast . Ya, ia salah satu anak muda penggila tren busana modis dan kekinian yang harganya sama sekali tak murah.
Tahun itu, 2015, tren streetwear―fesyen jalanan―di Indonesia tengah mewabah, dan Haidir tak mau ketinggalan. Ia rela membeli sneakers atau sepatu kets berharga jutaan, meski gajinya sebagai pekerja kantoran tak mencukupi untuk berbelanja barang-barang mahal.
Itu sebabnya Haidir menyambi jadi sopir ojek online. “Kerja dari jam 7 pagi, balik sampe rumah jam 6 sore. Langsung narik habis itu,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (21/11).
Dari ragam merek streetwear yang digandrungi anak-anak muda, Supreme ada di urutan teratas. Brand asal Amerika Serikat yang didirikan James Jebbia pada 1994 itu berhasil memikat pasar Indonesia dengan produk seperti kaos, snapback, tas, hingga yang paling laris adalah hoodie.
ADVERTISEMENT
Ada pula merek A Bathing Ape atau yang lebih dikenal dengan sebutan singkatnya, BAPE. Brand asal Jepang ini didirikan Nigo pada 1993 dan pertama kali diluncurkan di Harajuku. Ia juga menjadi buruan kaum milenial karena desain yang sederhana namun unik.
Selain itu, masih banyak merek streetwear yang identik dengan hypebeast seperti Off-White dan Stone Island asal Italia, Anti Social Social Club (ASSC) asal AS yang kini berkolaborasi dengan BAPE, Palace asal Inggris, dan lain-lain.
Untuk utusan sneakers, Nike dan Adidas menempati posisi dua teratas. Nike Air Jordan dan Nike Air Max menjadi dua dari sekian banyak seri yang paling banyak dicari oleh para penggemar streetwear.
Sementara seri sepatu casual classic seperti Hamburg, München, Tobacco, Spezial, atau NMD menjadi andalan Adidas.
ADVERTISEMENT
Soal harga, tak perlu ditanya. Buat orang kebanyakan, kantong akan terkuras cukup dalam.
Sneakers pula yang digilai Haidir pada 2015. Ia menabung duit hasil kerja kerasnya untuk berburu sneakers dengan rentang harga Rp 1,5 juta sampai 2 juta.
Setidaknya, tiga atau empat bulan sekali Haidir membeli sepatu yang ia incar. Sebut saja Nike Air Max 95 dan Nike x Compton yang kini menghiasi lemarinya. Sepatu favoritnya yang lain adalah Converse 70’s x Gold.
“(Saya) sebenarnya memang suka lihat sepatu, kayak lebih meningkatkan pede saja, sih. Koleksi (sneakers) saya buat yang sekali-sekali dipakai ada sekitar delapan, kalau untuk dipakai daily ada tiga,” kata dia.
Arman Dhani, seorang pekerja media, mulai senang membeli barang-barang hypebeast sejak 2013. Tapi uang tak datang begitu saja. Ia yang terlahir dari keluarga sederhana di kota kecil Jawa Timur, harus menabung lebih giat dan bekerja lebih keras demi membeli barang-barang yang ia suka.
ADVERTISEMENT
Dhani, misalnya, keranjingan mengoleksi sneakers Nike. Ia kecanduan merek itu sejak duduk di bangku SMA. Saat itu, teman dekatnya yang dari keluarga berpunya memiliki Nike Air Uptempo, sedangkan Arman hanya memakai sepatu pantofel.
Sampai tahun-tahun berlalu dan Dhani kemudian bekerja sebagai pewarta, ia akhirnya mengantongi penghasilan tetap yang membuatnya dapat membeli sepatu yang jadi kesukaan dia sejak SMA.
“Sepuluh tahun kemudian, setelah gue kerja dan gue dapet (beli Nike Air Uptempo) pakai duit sendiri, itu senang banget makenya,” kata dia saat berbincang dengan kumparan di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menurut Dhani, menjadi hypebeast tidak selalu harus dikontrol oleh tren yang tengah merekah di masyarakat. Ia tak memaksakan diri untuk harus membeli apa yang ia mau saat itu juga.
ADVERTISEMENT
Ia rela bersabar untuk membeli sepatu yang ia inginkan dengan menunggu dua sampai tiga tahun setelah sepatu itu diluncurkan. “Sampai hype-nya reda, harga turun, baru gue beli,” kata dia.
Jika harus mengikuti tren yang terus berkembang saat itu juga, ujar Dhani, kantongnya akan hancur. Oleh sebab itu ia punya perencanaan panjang agar tidak menyulitkan diri sendiri. Contohnya, alih-alih menyiksa diri dengan mengurangi uang jatah makan, ia lebih memilih menabung Rp 1 juta per bulan untuk membeli sepatu yang ia inginkan.
Dhani kini setidaknya sudah memiliki koleksi 40 sneakers di lemarinya. Dalam setahun, ia bisa membeli 12 pasang sepatu. Artinya, bisa sebulan sekali.
Dari sekian banyak koleksinya, Dhani sangat suka dengan desain Nike Air Jordan 1. Menilik harga di pasaran, Nike Air Jordan 1 dibanderol seharga Rp 7- 8 juta. Sadar harganya terlalu mahal, ia memilih membeli second dengan harga Rp 4 juta.
ADVERTISEMENT
“Kondisi masih bagus, kulit masih kenceng, aksesoris masih lengkap, gue dapet empat juta itu murah banget,” katanya.
Hypebeast berkantong tebal pun kadang perlu berkorban demi mendapatkan barang-barang idaman mereka. YouTuber Jeffry Jouw yang disapa Je Jouw, misalnya, rela memangkas 80-90 persen gajinya untuk belanja.
“Actually, dulu gue lebih gila. Orang yang pertama kali baru masuk (dunia hypebeast) itu gila banget. Apalagi dulu gue belum married,” ujar lelaki jebolan universitas di Paman Sam itu saat berjumpa kumparan di Kemang Village, Jakarta Selatan.
Je Jouw rela terbang ke Amerika Serikat demi mendapatkan sneakers Nike Air Jordan X Fragment mahakarya Hiroshi Fujiwara―perancang streetwear ternama Jepang―seharga Rp 45 juta.
“Waktu itu gue emang kepingin banget, dan produk itu limited edition. Akhirnya, 'Ah udahlah, gue terbang aja. Pengin cepat-cepat beli.’
Kelakuan “ugal-ugalan” Je Jouw dalam membeli barang mahal agak berubah usai menikah. Istrinya, Yenni Kristiani, memberi batas tegas: belanja maksimal Rp 10 juta.
ADVERTISEMENT
Jika Je Jouw mau membeli barang seharga lebih dari Rp 10 juta, ia harus menjual dulu koleksinya sendiri. Maka saat Je Jouw hendak membeli hoodie Supreme x Louis Vuitton seharga Rp 45 juta, ia rela menjual koleksinya yang lain demi mendapatkan hoodie tersebut.
“Gue memberi batas, dan dia rela jual beberapa barang demi satu barang itu (hoodie Supreme x LV). Itu bisa dibilang pengorbanan kali, ya,” kata Yenni yang ikut mengobrol bersama kumparan.
Saat ini, Je Jouw yang memiliki 44 ribu pengikut di akun Instagram pribadinya, memiliki koleksi 40 sneakers, juga beragam streetwear lain, termasuk hoodie.
Je Jouw yang Co-Founder Urban Sneaker Society itu juga punya pekerjaan sampingan dengan menggelar event hypebeast untuk menambah pemasukan.
Pengamat fesyen Syahmedi Dean melihat fenomena hypebeast yang membuat orang rela membeli barang dengan harga selangit , salah satunya karena mereka melihat unsur histori di balik pembuatan barang tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kalau dia berani beli, dia akan bangga. Itu (juga jadi) formula orang berjualan sekarang,” ujarnya.
Vellen Roeslan, Ketua North Sneaker Squad, mencontohkan sisi “histori” itu. Ia bercerita tentang Dapper Den.
“Dulu di Harlem, Amerika, ada yang namanya Dapper Den, orang kulit hitam. Dia menggunting tas Gucci, lalu membuat jaket dan celana dari sobekan itu, yang lalu dipakai rapper era tahun 80 sampai 90-an. Tapi dia kena sue (gugatan), bangkrut, dan masuk penjara,” kata Vellen.
Tapi tahun 2017, lanjutnya, “Gucci tiba-tiba pegang dia (Dapper Den) untuk kerja sama bikin produk. Dapper sekarang dipandang.”
ADVERTISEMENT
You are what you wear? Well, it's debatable.
------------------------
Simak selengkapnya di Liputan Khusus kumparan, Hypebeast: Gaya Mahal Remaja Kota .