Kisah Wibu yang Terobsesi dengan Budaya Jepang dan Anime

22 Januari 2019 8:27 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Excel Coananda di acara wibu. (Foto: Arief Rachman)
zoom-in-whitePerbesar
Excel Coananda di acara wibu. (Foto: Arief Rachman)
ADVERTISEMENT
Dasar wibu!
Pernahkah kamu mendengar umpatan tersebut diucap kepada temanmu yang sangat fanatik menyukai kartun, terutama anime Jepang? Yap, para pecinta anime fanatik inilah yang disebut sebagai wibu (weeaboo). Bedanya dengan otaku, wibu ini, sebagaimana dilansir Japan Powered, bahkan menganggap bahwa budaya Jepang superior.
ADVERTISEMENT
Selain itu, wibu juga sering memasukkan kata-kata bahasa Jepang dalam percakapan sehari-hari, meski masih banyak yang salah. Pengetahuan mereka tentang Jepang pun banyak didasarkan dari tontonan anime atau bacaan manga.
Namun, untuk mengetahui kebenaran anggapan ini, kumparan mewawancarai orang-orang yang mengonfirmasi dirinya sebagai seorang wibu. Salah satunya yaitu Angga Pratama (23) seorang fresh graduate dari Universitas Padjadjaran.
“Watashi wa Angga Pratama desu,” ucapnya memperkenalkan diri, saat pertama kali dihubungi kumparan. Perkenalan itu langsung membenarkan anggapan bahwa para wibu sangat suka menyisipkan kata-kata bahasa Jepang dalam percakapan sehari-hari.
Angga, sapaan akrabnya, mengaku menyukai tontonan anime sejak kelas 3 atau 4 SD. Sebagai pemuda yang lahir di era 1990-an, Angga dulu merupakan tipikal anak kecil pada masanya yang suka menonton kartun.
ADVERTISEMENT
“Saya seperti tipikal anak muda era 90an, dulu suka nonton kartun di Indosiar pagi-pagi, nonton (anime) Gundam Seed dan Digimon,” kata dia.
Memasuki masa SMP, Angga mengaku enggak punya lagi teman nonton kartun. Tapi, untuk memenuhi hasrat bersosialisasi bersama komunitas kartun, dia punya forum tersendiri buat berkumpul dan mendiskusikan tontonan kartun idola. Sampai pada akhirnya forum tersebut bubar sekitar tahun 2009-2010.
“Terus masuk SMA teman saya ada yang ikut komunitas kartun. Akhirnya saya ikut dengan teman saya, ya sudah dari situ meluas (pergaulan wibunya) sampai kuliah hingga sekarang,” ujar Angga.
Hingga umurnya yang ke-23 ini Angga memang enggak bisa melepas kesukaannya menonton kartun. Cowok yang mengaku sebagai pakar wibu ini bahkan punya semacam standarisasi yang membedakan dia sebagai seorang wibu dan mereka yang bukan.
ADVERTISEMENT
“Kegiatan standar ya, nonton anime, baca manga. Tapi kalau (soal wibu) itu kayak mereka punya satu set budaya sendiri. Kayak lo memuja satu karakter kartun tertentu, terus yang pasti lo suka kartun. Lo lihat karakter lucu, terus lo kejang-kejang, nah itu. Kalau orang biasa nonton kartun, kan, (ketawa) haha, terus udah,” terang Angga.
Enggak lengkap memang kalau seorang wibu juga engak datang ke acara-acara kartun dan segala hal yang berbau Jepang. Di tengah kesibukannya kuliah dulu, Angga pernah menyempatkan hadir dan ikut menjadi cosplayer di acara seperti Comifuro (Comic Frontier).
Angga Pratama di acara wibu jadi cosplay hansip. (Foto: Facebook/Angga Pratama)
zoom-in-whitePerbesar
Angga Pratama di acara wibu jadi cosplay hansip. (Foto: Facebook/Angga Pratama)
“Yang paling unik saya pernah jadi hansip terus saya diajak foto-foto bareng sama orang. Saya jadi hansip karena saya belum pernah lihat orang cosplay jadi hansip di acara kartun, jadi saya nyoba aja,” kata cowok yang juga suka dengan isu militer Jepang itu.
ADVERTISEMENT
Menurut Angga, menjadi hansip enggak ada masalah di acara-acara kartun seperti itu. Semua orang bebas berekspresi dan menjadi diri mereka sendiri di sana. Kamu mau mengenakan dan memamerkan apa saja, orang enggak akan banyak berkomentar.
“Acara kartun tersebut wadah berekspresi liar, soal lo dihakimi (orang) apa enggak, enggak masalah. Misal, lo dihakimi di tempat itu, ketika lo keluar dari tempat itu, ya sudah ketika keluar dari tempat itu lo berlagak seperti manusia pada umumnya lagi,” tuturnya.
Ada alasan mengapa hingga kini Angga masih menggemari kartun. Meski sudah bukan anak-anak lagi, baginya menonton kartun sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan fantasinya.
“Kalau gua melihatnya budaya kartun Jepang itu sangat cocok dengan fantasi anak-anak usia remaja 10-20 tahun lah. Kayak mereka pengin jadi pahlawan, mereka pengin digemari para wanita, mereka pengin (hidup) bebas. Budaya kartun Jepang itu sangat memfasilitasi fantasi-fantasi tersebut,” ujar salah satu admin fanpage wibu di Facebook, Kelakuan Wibu Akar Rumput itu.
ADVERTISEMENT
Obsesi punya waifu
Pemenuhan kebutuhan fantasi jadi alasan mengapa wibu terus menyukai tontonan kartun. Ia dapat menjadi semacam pelarian dari kehidupan nyata yang enggak selalu semenarik tontonan anime.
Kamu bisa melihat karakter anime melakukan apa saja yang enggak bisa dilakukan di dunia nyata. Dari punya kekuatan super seperti para ninja di anime Naruto, sampai punya banyak pacar di sekolah pada tontonan anime-anime yang bergenre harem.
“Kata orang, anime itu pelarian dari kehidupannya yang kelam. Ceweknya cantik-cantik, cowoknya ganteng-ganteng, dapat pasangan gampang, sekolah enak, dan masih banyak lainnya,” kata Excel Coananda (20), seorang komikus mahasiswa dan pemilik Risa Media, media komunitas wibu.
Excel mengaku karena menonton anime, dirinya sampai berkeinginan datang ke Jepang buat bertemu cewek-cewek cantik di negara Matahari Terbit tersebut. Dia punya cita-cita pergi ke pusat perbelanjaan Akibahara di kota Tokyo untuk membeli barang-barang anime.
ADVERTISEMENT
“Pada akhirnya saya pergi ke Jepang, dan apa yang saya lihat berbeda dari yang dulu dibayangkan,” ujar Excel mengungkapkan kekecewaannya pada realitas yang ada.
Namun begitu, Excel tetap setia dan suka pada fantasi yang disuguhkan oleh anime. Terutama pada karakter-karakter cewek cantik idola yang dikenal sebagai waifu dalam dunia perwibuan. Kira-kira apakah Excel ini punya waifu?
“Jelas punya dong, dan enggak cuma satu. Tiap ganti musim ada waifu cantik dikit, ganti. Hatsune Miku, Shinka Nibutani, Hinagiku Katsura, Hanayo Koizumi contohnya,” kata Excel.
Bagaimana dengan Angga?
“Ada (waifu), namanya Eriri Spencer Sawamura, itu dari anime Saekano. Saya suka dia karena jelmaan dari fantasi saya, keinginan saya, atau kerinduan saya akan sosok teman masa kecil wanita yang suka kartun sekaligus mengerti dan memahami saya. Jadi di masa kecil saya merasa tidak punya teman tersebut, begitu melihat kartun Saikano, ‘Aduh ini relatable sekali dengan aku, ini aku ingin punya teman yang seperti ini’,” kata Angga.
ADVERTISEMENT
Memiliki waifu menurut Excel dan Angga dianggap biasa sebagai seorang wibu. Kalau bagi Angga secara khusus, waifu hanya sekadar bentuk mencurahkan afeksi (kasih sayang) secara batin, enggak lebih.
Angga mengaku enggak sampai mencetak waifu-nya di motor, guling, atau dijadikan wallpaper ponsel dan laptop seperti sejumlah wibu lain. Apalagi sampai punya obsesi ekstrem untuk memacari atau menikahi waifu.
“(Sebab) para wibu ini (terkadang) susah dapet cewek di dunia nyata. Menurut mereka, karakter 2D bodinya jauh lebih "perfect" dibanding yang 3D (manusia betulan),” jelas Excel.
Lantas apakah memiliki obsesi pada waifu ini dianggap ‘kelainan’ bagi para wibu yang menyukainya?
“Akan menjadi kelainan kalau waifu ini benar-benar dianggap sebagai pasangan hidup,” kata Excel.
ADVERTISEMENT
Otokritik seorang wibu
Menjadi seorang wibu juga enggak bisa lepas dari cibiran atau omongan orang-orang. Namun, justru omongan itu kadang timbul dari dalam kalangan wibu sendiri untuk mengkritik atau menyentil kelakuan wibu lainnya.
Oleh karenanya, Angga dan rekan-rekannya membuat sebuah fanpage bernama Kelakukan Wibu Akar Rumput yang sudah disukai 5.839 orang per 21 Januari 2019. Di sana, seperti nama fanpage-nya, diungkap kelakuan-kelakuan wibu-wibu ‘zaman now’ yang dianggap aneh.
Kalau kamu lihat di fanpage-nya, ada berbagai macam perilaku absurd yang bisa kamu lihat. Misal, gambar seseorang yang bersujud memuja karakter waifu idola. Kemudian ada juga yang sampai mengedit gambar seorang wibu dan waifu seperti suami-istri yang sedang marahan.
“Intinya itu kalau gue sebagai wibu yang lahir di era 1990-an melihat ada gap antara wibu lama sama baru. Nah, gue di angkatan wibu lama, pengin nunjukkin keanehan-keanehan budaya yang ada di wibu baru ini, makanya FP Kelakuan Wibu Akar Rumput ada,” kata Angga yang mengaku saat ini sudah menjadi pekerja di sebuah perusahaan Jepang.
ADVERTISEMENT
Sama dengan Angga, sebagai seorang wibu dan pengamat kelakuan wibu lainnya, Excel pun geram dengan adanya para wibu yang suka ribut-ribut perihal kegemarannya. Menurutnya masih banyak wibu yang berantem gara-gara membandingkan waifu mana yang paling juara cantiknya.
“Kebanyakan wibu berada di zona nyaman. Mereka hanya menyukai budaya Jepang dan memandang rendah (penggemar) lainnya, terutama K-Pop. Waktunya habis untuk menikmati hobinya, jadi kurang bersosialisasi,” jelas Excel.
Dia menambahkan, “Untungnya tidak semua wibu seperti itu. Ada pula wibu yang bekerja, berkarya, buka usaha, sukses, bisa berbaur dengan non-wibu, tapi masih suka nonton anime. Justru inilah yang patut ditiru, agar dapat menjadi wibu yang bermartabat di masyarakat.”