Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Ini Semua Tentang Raffles: Inggris di Tanah Hindia
17 September 2023 9:52 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Abrar Rizq Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai kolonialisasi di Indonesia, tidak lengkap jika tidak menyebut Inggris sebagai salah satu negara yang pernah merampas negeri kita tercinta ini. Banyaknya argumen sana-sini yang berteori bahwasanya jika kaum bumiputera Hindia terjajah oleh Inggris dalam waktu yang sangat panjang, maka Indonesia pada hari ini akan merasakan banyak keuntungan.
ADVERTISEMENT
Salah satunya faktor linguistik dan pendidikan yang berorientasi ala Inggris. Faktor tersebut memungkinkan pribumi Hindia lebih fasih berbahasa Inggris ditambah dengan aspek pendidikannya. Perlu diingat bahwa Inggris ingin jajahannya setara dengannya sehingga pendidikan merupakan faktor penting bagi Inggris dalam mengkolonialisasi suatu negeri. Namun, tahukah kamu bahwa Inggris tidak sebaik itu! Penjajahan adalah hal yang salah dalam kacamata mana pun termasuk Inggris yang kerap disebut progresif.
Kolonialisasi bangsa Inggris di Hindia Belanda dimulai pertama kali pada awal abad 19, tepatnya pada tahun 1811. Kedatangan serdadu dari negeri yang disebut The Black Country itu bermula pada 4 Agustus 1811, di mana Inggris membawa sekitar 60 kapal ke Batavia yang kala itu dipimpin oleh Jan Willem Jansens.
ADVERTISEMENT
Terjadilah pertempuran antara serdadu Prancis-Belanda yang di masa itu menguasai Hindia Timur di Batavia bersama serdadu Inggris pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles.
Mengakhiri Pemerintahan Prancis-Belanda
Pertempuran tersebut memuncak pada 26 Agustus 1811 yang menjadi penanda jatuhnya Batavia ke tangan Inggris. Menurut catatan sejarawan Inggris, Peter Carey, terjadi pertempuran sengit di Meester Cornelis (Jatinegara) semasa perang memperebutkan tanah Hindia. Tepatnya pada 26 Agustus 1811, di pagi hari, tentara Inggris-Sepoy (India rekrutan Inggris) mengamuk dan membantai sekitar 9.600 serdadu Eropa dan pribumi yang berasal dari Ambon, Jawa, dan Madura.
Amukan tentara Inggris-Sepoy di Meester Cornelis disebut sukses dalam mengusir pemerintahan Prancis-Belanda. Korban-korban yang berjatuhan kemudian dikebumikan di sebuah kuburan massal yang kemudian dikenang sebagai Rawa Bangke (Pasca 1974 menjadi Rawa Mawar). Kuburan itu menjadi salah satu warisan hidup bangsa Inggris di Indonesia hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Tidak menyesal melakukan aksi pembantaian tersebut, Inggris justru berpesta pora dan merayakan kemenangan mereka atas Batavia. Perayaan ini dibersamai dengan sebuah lagu Inggris baru berjudul “Fall of Cornelis” yang menggambarkan peristiwa berdarah di Meester Cornelis sekaligus tanda kemenangan Inggris di Batavia.
Lagu Fall of Cornelis sering dijadikan sebagai lagu pesta di istana Gubernur Jenderal sembari diiringi dengan kelompok penari riang bergaya besutan istri dari Sir Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne.
Bagaimana dengan Jansens? Jansens melarikan diri dari Batavia menuju Semarang. Namun seribu sayang, Jansens harus tertangkap di Desa Tuntang, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Tertangkapnya Jansens menyebabkan pihak Prancis-Belanda harus menyerah dan menandatangani perjanjian kapitulasi Tuntang yang sangat memberatkan pihaknya.
ADVERTISEMENT
Atas jasa dari Raffles yang membuat pemerintahan sebelumnya kewalahan, Lord Minto, selaku Gubernur Jenderal EIC di India menugaskan Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa.
Aksi Raffles tidak berhenti sampai di situ. Langkah awalnya dalam menalukkan Hindia adalah menguasai Pulau Jawa dan mempertahankannya dari serangan negara lain terutama Prancis-Belanda. Praktik yang dilakukan Raffles adalah dengan mengirim residen-residen ke penjuru wilayah di Jawa.
Salah satu yang paling fenomenal adalah konfliknya dengan Sri Sultan Hamengkubuwono II dari Keraton Yogyakarta, yang kembali bertakhta setelah sempat dilengserkan oleh Daendels di masa pemerintahan Prancis-Belanda.
Geger Sapehi
Jawa memang sudah menjadi sasaran lama dari Raffles yang menganggap bahwa Jawa merupakan “Land of Hope”, atau Tanah Harapan dengan segudang harta karun di dalamnya. Langkah yang dilakukan Raffles usai menalukkan Batavia adalah memahami kondisi sosial politik di Pulau Jawa terutama daerah Vorstenlanden, wilayah yang didiami kekuasaan monarki pecahan Kesultanan Mataram (Yogyakarta dan Surakarta).
ADVERTISEMENT
Pada 22 September 1811, Raffles mengutus Mayor Robinson untuk mengabarkan kekalahan Prancis-Belanda kepada Sri Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta dan Susuhunan Pakubuwono IV dari Surakarta.
Tahapan berikutnya, Raffles kembali mengutus John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta pada 15 November 1811. Tujuannya adalah sebagai alat diplomasi antara pemerintahan Raffles dengan Keraton Yogya. Diplomasi tersebut di kemudian hari mengalami kebuntuan.
Hal ini ditandai dengan ketidaksenangan Sri Sultan ketika dirinya diminta untuk menandatangani kontrak secara paksa yang dibawakan oleh Crawfurd. Isi kontrak tersebut adalah terkait perupayaan perjanjian perdamaian antara Inggris dan Yogyakarta yang harus diberlakukan oleh beberapa pemberlakuan yang tidak menguntungkan pihak Keraton.
Konflik keduanya memanas ketika Raffles pada akhirnya memutuskan untuk menyerang Yogyakarta akibat dari peran diplomasi yang tak kunjung memberi hasil baik. Internal Keraton juga tengah tidak stabil akibat permasalahan konflik keluarga yang di mana situasi ini dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyerbu Yogya. Tidak hanya faktor internal Keraton Yogya, ikut sertanya Susuhunan Pakubuwono IV juga semakin memanasi konflik.
ADVERTISEMENT
Kehadirannya dalam pertentangan antara Yogya dan Inggris memiliki niat tersendiri yakni kehancuran terhadap Yogyakarta. Cara-cara yang dilakukan oleh pihak Surakarta sendiri tergolong main halus yakni menghasut Sri Sultan dan memanasinya untuk berhadapan dengan Raffles.
Praktik-praktik yang dilakukan Susuhunan dinilai positif oleh Sri Sultan sehingga ia merasa yakin untuk memenangkan pertarungan nanti. Raffles sendiri mendengar kabar mengenai persekutuan antara Yogya dan Surakarta yang memutuskan ia untuk segera melakukan penyerangan ke Keraton Yogya. Penyerangan ini disebut juga dengan Geger Sapehi. Disebut demikian karena serdadu Inggris banyak diisi oleh tentara Sepoy yang merupakan rekrutan orang India.
Pada bulan Juni 1812, Raffles dan serdadunya mulai memasuki Yogyakarta. Penyerbuan yang berlangsung selama 3 hari tersebut berakhir dengan kekalahan yang menimpa Keraton Yogyakarta. Meski unggul dari jumlah pasukan ditambah semangat rakyat Yogya yang mempertahankan kedaulatannya, pasukan Inggris yang dipimpin Raffles mampu menanganinya dengan strategi perang yang tepat.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih sekitar 17.000 pasukan Keraton di bawah kepemimpinan Tumenggung Sumodiningrat ditambah dengan 100.000 warga Yogya dan 250 meriam, harus diporakpondakan oleh pasukan Inggris yang hanya berjumlah sekitar 1200 orang belum ditambah relawan pasukan dari Mangkunegaran dan Surakarta.
Pasca kemenangan atas Yogyakarta, banyak benda pusaka dan manuskrip dari Keraton Yogyakarta dicuri oleh Raffles dan dibawa ke negeri Britania. Data tahun 2010 menyebutkan bahwa ada sekitar 7.000 manuskrip yang masih disimpan di Inggris.
Melihat apa yang Raffles lakukan di atas mengingatkan kita kembali bahwa Belanda saja tidak pernah melakukan aksi seperti penjarahan benda pusaka dan manuskrip senekat yang dilakukan Raffles.
Kebijakan-kebijakan Raffles
Meski kita semua sadar akan betapa ambisiusnya Raffles menguasai Pulau Jawa, terdapat beberapa kebijakannya yang justru dinilai positif oleh banyak pihak. Salah satunya adalah dihapusnya sistem Cultuurstelsel (tanam paksa) menjadi sistem pajak bumi atau sewa tanah. Hal ini dilakukan atas inspirasinya dari pemerintahan Gubernur Jenderal EIC di India serta penglarasan dengan hukum adat Jawa. Namun, terdapat pula sisi negatif dari kebijakan pajak bumi tersebut. Biaya sewa yang sangat tinggi dinilai membuat banyak petani pribumi terlilit utang karena hasil produksinya tidak cukup untuk memenuhi sewa.
ADVERTISEMENT
Selain pajak bumi, Raffles turut menerapkan beberapa kebijakan terkait permasalahan ekonomi, sosial, dan budaya di Jawa. Salah satunya dibidang ekonomi adalah menerapkan sistem uang, memberi kepastian hukum bagi tanah petani, meningkatkan daya beli masyarakat dari produk industri Inggris, dan lain-lain.
Sementara itu, dibidang politik, Raffles menerapkan beberapa kebijakan berikut ini: menegosiasikan perdamaian dengan penguasa lokal yang dianggap menentang Inggris, membagi Jawa menjadi 16 karesidenan dan 9 perfektur, mereformasi kebijakan kolonial Belanda, para bupati feodal menjadi pegawai pemerintah yang berada di bawah naungan pemerintah pusat, dan adaptasi sistem politik Inggris.
Hari-hari Akhir
Akhir tahun 1815 menjadi hari-hari terakhir kepemimpinan Sir Thomas Stamford Raffles di Hindia. Pasalnya Perang Napoleon di Eropa sudah berakhir dengan kekalahan Prancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte.
ADVERTISEMENT
Raffles kemudian ditarik dari jabatannya sebagai Letnan Gubernur Jawa dan posisinya digantikan oleh John Fendall, yang merupakan seorang pejabat Inggris yang diserahi tugas untuk mengembalikan pemerintahan Hindia dari Inggris kembali ke Belanda. Fendall adalah tokoh yang menjembatani kepemimpinan Raffles dan Van der Capellen. Pemerintahan kolonial Inggris di Hindia secara resmi berakhir pada tahun 1816.
Raffles pulang ke Inggris pada 1815. Ia membawa banyak sekali benda pusaka dan manuskrip dari Jawa ke Inggris. Ia turut meninggalkan segala permasalahan sosial yang tidak terbenahkan di Jawa. Pada tahun 1817, Raffles kemudian menerbitkan penelitiannya semasa ia di Jawa dalam sebuah karya berjudul “History of Java” yang sangat tebal dan dinilai sangat berpengaruh pada masa itu.
ADVERTISEMENT