Konten Media Partner

Alur Cerita Tentang Sampah di Jepang

25 Januari 2020 18:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pintu-pintu tempat pembuangan sampah atau platform pada tempat pembakaran sampah di Kyoto, Jepang, pada November 2019. Foto: Dok. Kamarullah Gani
zoom-in-whitePerbesar
Pintu-pintu tempat pembuangan sampah atau platform pada tempat pembakaran sampah di Kyoto, Jepang, pada November 2019. Foto: Dok. Kamarullah Gani
ADVERTISEMENT
Jika anda mendarat di Osaka, Jepang, maka landasan bandara yang digunakan merupakan sebuah daratan terpisah yang berada di atas laut, kemudian dihubungkan dengan jembatan yang ternyata dulunya adalah satu tempat pembuangan akhir sampah di Osaka.
ADVERTISEMENT
Ada dua tempat seperti ini di Jepang, yang satu ialah bandar udara Kansai International Airport di Osaka, dan satu lainnya adalah Odaiba, tempat patung gundam berdiri, di Tokyo. Keduanya adalah bekas gunungan sampah yang menumpuk di laut sehingga dijadikan sebuah tempat baru.
Di Jepang, sampah dibagi ke beberapa jenis pada saat pembuangan, yaitu sampah plastik, sampah yang bisa dibakar, sampah rumah tangga, sampah kaleng, dan lainnya. Sampah plastik dan kaleng akan dibawa ke pabrik untuk proses daur ulang. Sampah rumah tangga dijadikan kompos dan dijual sebagai pupuk. Sedangkan sampah perabotan berjenis kayu dan sampah yang bisa dibakar dibawa ke tempat pembakaran sampah.
Warga membuang sampah dan pakaian melalui platform pada tempat pembakaran sampah di Kyoto, Jepang, November 2019. Foto: Shiti Maghfira
Ada satu tempat pembakaran sampah atau disebut insenerator di Kyoto yang baru mulai beroperasi 5 Oktober 2019 lalu dan mulai dibangun sejak tahun 2013, yaitu Kyoto South Clean Center Plant No. 2. Tempat ini dibangun di lahan seluas 16 hektare dan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai tempat pembakaran sampah, biogas, pemilahan sampah, dan juga sebagai sarana pembelajaran lingkungan.
ADVERTISEMENT
Tempat ini mampu membakar 500 ton sampah perhari dan terus melakukan pembakaran tanpa henti tiap harinya. Masyarakat Kyoto diizinkan untuk membuang sampah mereka yang bisa dibakar ke tempat ini. Terdapat dua lantai yang difungsikan untuk tempat pengumpulan sampah, yaitu lantai satu dan lantai lima. Lantai satu dikhususkan untuk truk-truk pengangkut sampah di daerah tersebut, sedangkan lantai lima untuk para warga yang membawa sampahnya sendiri.
Dari dinding berkaca di lantai lima, terlihat mobil warga yang masuk ke lantai tiga menuju platform atau pintu-pintu tempat pembuangan sampah. Setelah mobil berhenti, mereka mengeluarkan sampah-sampah seperti pakaian, perabotan rumah yang berukuran kecil, dan lain-lainnya, kemudian dibuang melalui platform tersebut.
Bak sampah pada tempat pembakaran sampah di Kyoto, Jepang. Foto: Dok. Kamarullah Gani
Bak pembakaran sampah di Kyoto South Clean Center Plant No. 2, Jepang. Foto: Dok. Kamarullah Gani
Platform itu merupakan pintu penghubung ke bak sampah yang luasnya 12.000. Namun, sebelum masuk ke bak sampah, sampah-sampah tersebut dicacah ke ukuran yang lebih kecil, baru kemudian diteruskan ke bak sampah.
ADVERTISEMENT
Sampah yang terdapat di bak sampah diangkut oleh Grab Crane, kemudian dibawa ke bak khusus untuk proses pembakaran. Tempat pembakaran sampah didesain seperti tangga besi yang panas minimalnya 900 oC. Sampah langsung berubah menjadi abu ketika bersentuhan dengan bak pembakaran. Abu-abu dari hasil pembakaran sampah diangkut dengan Ash Crane dan dimasukkan ke dalam truk-truk untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir.
Tempat kontrol proses pembakaran sampah. Foto: Shiti Maghfira
Bangunan insenerator Kyoto South Clean Center Plant No. 2, Jepang. Foto: Shiti Maghfira
Selain menjadi abu, proses pembakaran sampah juga diolah untuk menghasilkan biogas yang kemudian diubah ke dalam bentuk listrik. Listrik inilah yang digunakan kembali untuk mengoperasikan bangunan ini. Selain itu, listrik yang dihasilkan juga dialirkan ke 2.000 rumah yang ada di sekitar insenerator tersebut.
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kyoto terletak di lembah gunung yang bernama Otowanomori. Penelitian mengungkapkan bahwa lembah gunung tersebut hanya dapat digunakan selama 15 tahun, tapi ternyata hingga saat ini sudah 50 tahun lamanya, tempat tersebut masih bisa digunakan.
Kota Kyoto pada suatu hari di bulan November 2019 lalu. Foto: Shiti Maghfira
Setiap harinya, truk-truk mengangkut abu-abu dari insenerator ke lembah gunung tersebut dan menumpukkannya di sana. Ada juga pulau kecil yang dijadikan TPA di Jepang dan harus menggunakan kapal untuk mengantarkan truk-truk abu ke pulau tersebut, tapi sudah ditutup karena telah melebihi kapasitas.
ADVERTISEMENT
Abu-abu yang menumpuk memang terhampar seperti dataran pasir yang beberapa sudutnya telah ditumbuhi pepohonan. TPA di Jepang terlihat seakan-akan gunungan pasir yang indah, seperti bukan tempat pembuangan akhir.[]
Penulis: Shiti Maghfira
Peserta Studi Banding Dispora Aceh ke Jepang pada November 2019, dan Guru Bahasa Jepang di Kougetsu School