Konten Media Partner

BJ Habibie dalam Konflik Aceh: Presiden yang Meminta Maaf

12 September 2019 11:59 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Saat Bacharuddin Jusuf Habibie ditabalkan sebagai Presiden Indonesia, Aceh masih bergejolak. Konflik menuntut kemerdekaan dan referendum sedang di puncak. Beliau ikut meredamnya.
Ilustrasi BJ Habibie. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi BJ Habibie. Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
Persoalan politik, ekonomi, dan keamanan memunculkan gerakan Reformasi Indonesia yang dipelopori mahasiswa tahun 1998. Gelombang demonstrasi merata di seluruh Indonesia, menuntut tiga hal: Berantas Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN), turunkan Suharto dari kursi presiden, dan hapuskan dwifungsi ABRI.
ADVERTISEMENT
Aksi besar-besaran menimbulkan gejolak terus-menerus, tak terkecuali di Aceh, memaksa Presiden Suharto turun takhta. Beliau mengumumkan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun menjadi presiden.
BJ Habibie, yang saat itu Wakil Presiden Indonesia, didampuk menggantikan kedudukan Suharto sebagai presiden. Presiden ke-3 ini menjabat singkat, selama 517 hari menyelesaikan sebagian persoalan Indonesia.
Salah satu persoalannya adalah konflik di Aceh, sama halnya dengan Papua dan Timor Timur (sekarang Negara Timor Leste). Gerakan pemberontakan memerdekakan Aceh dari Indonesia, yang dipelopori Gerakan Aceh Merdeka (GAM), semakin besar pascakejatuhan Suharto.
Habibie mencoba mengambil peran lewat kebijakannya. Pertama, memerintah Panglima ABRI, Jenderal Wiranto, mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Wiranto datang sendiri ke Lhokseumawe, Aceh, mengumumkan kebijakan itu pada 7 Agustus 1998.
ADVERTISEMENT
DOM ditetapkan di Aceh oleh Presiden Suharto untuk menumpas Aceh Merdeka sejak 1989, dengan sandi operasi Jaring Merah. Selama sembilan tahun, status itu menimbulkan ribuan korban di Aceh, disertai dengan penculikan dan penangkapan warga sipil.
Kebijakan mencabut DOM yang dikeluarkan BJ Habibie, disertai dengan beberapa kebijakan lain, membongkar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama ini. Beliau mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 1999, tentang Pembentukan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA). Juga dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus-kasus selama DOM Aceh.
Mengutip Laporan HAM 2005 oleh KontraS, beberapa kasus pelanggaran HAM diusut oleh tim tersebut, di antaranya kasus Rumong Geudong di Pidie, kasus pembantaian warga di Idi Cut, kasus pembantaian warga di Simpang KKA Lhokseumawe, dan kasus pembunuhan massal di Pesantren Tgk Bantaqiyah di Nagan Raya. Kasus terakhir berhasil masuk pengadilan koneksitas dengan menghukum sejumlah pelaku.
ADVERTISEMENT
BJ Habibie terus memberikan perhatian serius kepada Aceh, menghendaki penyelesaian Aceh yang lebih komprehensif, adil, dan bermartabat.
Niat baik itu ikut dirasakan sejumlah tahanan politik yang ditangkap karena terkait Gerakan Aceh Merdeka. Pertengahan Maret 1999, BJ Habibie mengeluarkan keputusan pemberian amnesti kepada sekitar 40 anggota GAM yang ditahan. Di antaranya adalah Alm. Ishak Daud dan mantan Ketua DPRA Aceh (2009-2014), Hasbi Abdullah.
Gejolak terus muncul, BJ Habibie sempat berkunjung ke Aceh pada Jumat, 26 Maret 1999. Dia didemo ribuan mahasiswa yang menginginkan konflik segera berakhir di Aceh. Gerakan Referendum Aceh mulai muncul, sejak Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA) dibentuk pada 4 Februari 1999. Gerakan yang sama juga muncul di Timor Timur.
ADVERTISEMENT
Dalam pidatonya usai salat Jumat di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, BJ Habibie menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Aceh atas berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama penerapan DOM sejak 1989-1998. Salah satu dosa Pemerintah Pusat di Serambi Makkah. Janji-janji pun disampaikan untuk memberikan keistimewaan kepada Aceh.
Sejalan dengan itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas sebuah undang-undang untuk memperjelas status Aceh sebagai Daerah Istimewa. Dikutip dari buku Keistimewaan Aceh dalam Lintasan Sejarah (HM Kaoy Syah, 2000), usulan inisiatif ini datang dari sejumlah wakil Aceh di DPR-RI.
Sejatinya, status Daerah Istimewa Aceh telah disematkan sejak 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri Nomor 1/Missi/1959, saat pemberontakan DI/TII masih terjadi di Aceh. Namun keputusan itu tak berjalan maksimal.
ADVERTISEMENT
Setelah pembahasan beberapa bulan, pada 4 Oktober 1999, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh disahkan. UU ini dinilai sebagai upaya BJ Habibie meredam konflik Aceh.
Gerakan menyuarakan referendum terus berlanjut. Aktivis SIRA dan rakyat Aceh kerap membanding-bandingkan dengan keberhasilan Timor Timur yang menyelenggarakan referendum di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa Bangsa pada 30 Agustus 1999. Wilayah itu akhirnya lepas membentuk negara sendiri, Timor Leste.
Lepasnya wilayah tersebut terus memunculkan gejolak di Aceh, lewat gerakan referendum. BJ Habibie pun kemudian lengser pada 20 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR dipimpin oleh Amien Rais. Pertanggungjawabannya sebagai presiden ditolak. Dia juga mundur dari bursa calon presiden hasil Pemilu 1999. Sidang Umum MPR kemudian menetapkan KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, sesuai Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999.
Bendera setengah tiang di salah satu kantor di Banda Aceh. Foto: Windi Phagta/acehkini
Aceh terus bergejolak, perang di mana-mana, tuntutan referendum terus muncul. Sampai akhirnya, enam tahun kemudian, konflik diselesaikan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangi kesepatakan damai di Helsinki, Finlandia.
ADVERTISEMENT
BJ Habibie, Presiden ke-3 Indonesia, berpulang ke Rahmatullah, pukul 18.05 WIB, Rabu (11/9/2019), di RSPAD, Jakarta. Aceh ikut berduka, bendera setengah tiang dikibarkan di kantor-kantor. Sejak lama, BJ Habibie telah mencoba menyelesaikan konflik Aceh dengan adil dan bermartabat. []
Penulis: Adi Warsidi