COVID-19: Ujian Ketahanan Keluarga?

Konten Media Partner
1 Desember 2020 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Opini

Ilustrasi keluarga. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sembilan bulan berlalu, sejak Presiden RI bersama Menteri Kesehatan mengumumkan tentang adanya kasus virus corona pertama di Indonesia, Senin 2 Maret lalu. Sejak itu, berbagai kebijakan diterapkan untuk mengatasi Pandemi COVID-19. Salah satunya adalah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSPB). Dampak pemberlakukan PSPB ini dirasakan oleh setiap keluarga di Indonesia, dari Sabang sampai Papua, terutama keluarga prasejahtera.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan PSPB secara langsung mempersempit bahkan menutup kesempatan mencari nafkah bagi keluarga prasejahtera, yang rata-rata berpenghasilan harian. Karena tidak ada pemasukan, mereka kehilangan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, keluarga prasejahtera biasanya tidak punya tabungan untuk menghadapi masa darurat. Jangankan menabung, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di “masa normal” saja sudah sulit. Pandemi COVID-19 dan upaya penanganannya jelas “memukul” ketahanan ekonomi keluarga prasejahtera. Banyak di antara mereka yang kehilangan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, tentu berpengaruh pada ketahanan fisik sebuah keluarga. Seperti “efek domino”, hilangnya ketahanan fisik akan menggerogoti ketahanan sosial-psikologi keluarga tersebut. Hanya masalah waktu, ketahanan sosial sebuah keluarga akan ikut terdampak dan secara perlahan, kedelapan fungsi vital keluarga dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat akan terganggu, bahkan tidak berfungsi. Pada akhirnya, hal ini akan mengguncang stabilitas sebuah negara, karena keluarga merupakan struktur sosial terkecil dari struktur sosial sebuah negara.
ADVERTISEMENT
Negara dan Ketahanan Keluarga
“Mensejahterakan Kehidupan Bangsa” adalah cita-cita luhur para pendiri NKRI yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Tujuan ini diwujudkan melalui pembangunan di segala bidang, salah satunya adalah pembangunan di bidang kependudukan, dengan membangun ketahanan keluarga. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Keluarga, mendefinisikan “ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.”
Warga antre saat berbelanja di pasar murah yang digelar Pemerintah Aceh di halaman Masjid Tgk Chik Maharaja Gurah, Rabu (13/5). Foto: Abdu Hadi/acehkini
Membangun ketahanan keluarga tidak mungkin dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, tanpa “campur-tangan” negara, terutama bagi warga negara yang termasuk dalam kelompok rentan, yaitu warga negara lanjut usia, anak-anak, perempuan dan keluarga prasejahtera. Kelompok ini memerlukan kehadiran negara, melalui kehadiran pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan berbangsa-bernegara, yang berperan sebagai regulator, eksekutor dan edukator. Pemerintah sebagai regulator sudah menetapkan serangkaian regulasi untuk mengatur kehidupan berkeluarga. Sebagai eksekutor, pemerintah merancang berbagai program pembangunan keluarga untuk menuju keluarga sejahtera yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Kementerian PPPA, misalnya, dengan otoritas di bawahnya mengembangkan program pembangunan keluarga berdasarkan 4 pilar utama, yaitu ketahanan fisik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial-psikologi dan ketahanan sosial budaya, di mana pondasi dasarnya adalah legalitas, struktur keluarga dan kemitraan berbasis gender. Selain itu, ada Kementerian Sosial yang mengembangkan program keluarga sejahtera. Ada pula BKKBN yang berupaya untuk memperkuat ketahanan keluarga melalui peningkatan kualitas calon pasangan pengantin.
Saat ini, berbagai program yang dikembangkan pemerintah memasuki masa ujian bernama “Pandemi COVID-19”. Adakah program membangun ketahanan keluarga di Indonesia sudah terwujud, sehingga setiap keluarga lebih siaga menghadapi berbagai bentuk bencana? Sayang sekali, data menunjukkan bahwa kita semua masih berada dalam posisi “remedial”. Bahkan untuk daerah yang sudah beberapa kali mengalami bencana seperti Aceh, pemerintah dan banyak masyarakat Aceh tetap gagap, belum siap dan siaga bencana.
ADVERTISEMENT
Negara dan Keluarga Siaga Bencana
Keluarga siaga bencana tentunya tidak hadir serta-merta. Keluarga seperti ini dibentuk dengan membangun ketahanan keluarga, dimulai dari kesiapan pasangan saat memutuskan untuk membentuk keluarga. Sayangnya, banyak hasil penelitian dan laporan pendampingan kasus-kasus keluarga menunjukkan banyak pasangan yang tidak memiliki kesiapan paripurna ketika mereka memutuskan untuk menikah. Salah satu indikasinya ditunjukkan oleh tingginya angka perceraian dan peningkatan kasus KDRT di Aceh.
Temuan lapangan Flower Aceh, misalnya, menunjukkan bahwa alasan pernikahan dini dari 36 narasumber yang diwawancarai adalah terpaksa, karena tuntutan ekonomi. Namun setelah pernikahan ini berlangsung, mobilitas sosial yang mereka harapkan ternyata tidak terjadi. Mereka malah berada dalam kondisi lebih buruk, karena banyak yang mengalami KDRT dalam berbagai bentuk. Bahkan ada satu kasus, yang berakibat fatal karena merusak sistem reproduksi (Flower Aceh, 2020). Jika kenyataannya demikian, maka tantangan membangun ketahanan keluarga menuju keluarga siaga bencana di Aceh akan cukup besar.
ADVERTISEMENT
Selain persiapan pernikahan yang dilakukan calon pasangan secara mandiri, melalui kesiapan fisik, mental, pengetahuan, dan ekonomi, pemerintah juga perlu mendukung dengan penguatan program pembinaan calon pasangan, yang masih banyak dilakukan sebagai formalitas dan seremonial. Padahal pasangan yang siap menikah adalah modal utama dalam membangun ketahanan keluarga. Untuk Aceh, pengetahuan mitigasi bencana seharusnya menjadi salah satu pengetahuan yang dimiliki calon pasangan, mengingat mereka kelak akan membangun keluarga di daerah rawan bencana.
Selanjutnya, Pemerintah Aceh juga belum inklusif dalam merangkul peran serta masyarakat dalam upaya membangun ketahanan keluarga di Aceh. Peraturan Gubernur Nomor 14 Tahun 2019 tentang Penanganan Stunting Terintegrasi dan Peraturan Gubernur Nomor 51 Tahun 2020 tentang Penanganan Corona adalah dua contoh, di mana partisipasi masyarakat tidak diikutsertakan secara eksplisit. Pada Pergub No. 14/2019, tidak ada pengikut-sertaan keluarga secara legal-formal dalam upaya penanganan, walaupun sebutannya adalah penanganan terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dalam Pergub No. 51 Tahun 2020, pemerintah menyebutkan peran pendidik dalam upaya penanganan pandemi. Sayang sekali, yang didefinisikan sebagai pendidik adalah pendidik formal seperti guru dan dosen. Peran orang tua justru luput dari poin ini. Padahal mengikuti garis besar haluan pendidikan nasional, menurut Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional, peran keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama adalah utama. Ini juga diakui oleh Kemendikbud, dalam konsep keluarga yang mereka gunakan untuk mengembangkan program pendidikan nasional.
Berbeda dengan Aceh, pada Pergub DKI No. 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Transisi, partisipasi masyarakat diikutsertakan secara eksplisit dalam salah satu pasalnya. Mengapa pengikut-sertaan ini penting dan tidak bisa dianggap sudah tersirat? Tahu-Sama-Tahu? Karena dalam tata laksana pemerintahan, partisipasi masyarakat adalah salah satu prasyarat wujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam rumusan kebijakan, hal ini harus dinyatakan, sebagai dasar hukum formal yang jelas dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, penyertaan secara eksplisit akan menunjukkan pandangan pemerintah sebagai perpanjangan tangan negara, bahwa masyarakat dan keluarga adalah subjek, bukan objek kebijakan.
ADVERTISEMENT
Selain upaya mandiri dan dukungan pemerintah, Aceh juga perlu memperkuat “modal sosial” dalam upaya membangun masyarakat yang tangguh dan keluarga siaga bencana. Model penanganan bencana berbasis modal sosial ini sudah ada dalam masyarakat Aceh, namun jumlahnya belum signifikan untuk membawa perubahan. Kecamatan Darul Hikmah di Kabupaten Aceh Jaya adalah salah satu contoh yang menerapkan optimalisasi modal sosial dalam penanganan bencana. Mereka menyiapkan lumbung padi untuk masing-masing gampong (desa), sehingga ketika terjadi banjir atau bencana lainnya, mereka bisa saling dukung, terutama dalam upaya mencukupi kebutuhan dasar keluarga pra sejahtera di daerah mereka. Kesiapan modal sosial ini juga ditunjukkan oleh kecamatan ini, ketika dalam Bencana Gempa Pidie Jaya tahun 2016, mereka adalah salah satu penyumpang pangan pertama.
ADVERTISEMENT
Selain modal sosial berbentuk kesiapan gampong, Aceh juga lex specialis dalam membangun modal sosial karena UU No. 11 Tahun 2006 memungkinkan Aceh mengembangkan berbagai model, baik dalam bentuk kearifan lokal maupun berbentuk kelembagaan. Baitul Mal Aceh dan Wali Nanggroe adalah bentuk-bentuk lembaga resmi yang mungkin mengambil peran ini dan membangun sinergitas dengan semua pemangku kepentingan.
Akhirnya, kita kembali pada satu catatan penting bahwa Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) memandatkan Pemerintah Aceh untuk melaksanakan tata kelola pemerintahan yang berlandaskan syariat Islam, salah satunya dengan memberi jaminan perlindungan keluarga bagi setiap keluarga Aceh. Sejak ditetapkan pada tahun 2006, penerapan UUPA sudah berjalan selama lebih dari satu dekade. Pandemi COVID-19 hanya satu dari sekian ujian, yang akan terus kita hadapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah kita akan terus tidak siap? Bagi Pemerintah Aceh, ini adalah pertanyaan yang tidak sederhana, karena menyangkut amanah yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya.[]
Dian Rubianty. Dok. Pribadi
Penulis: Dian Rubianty, SE, Ak., MPA.
ADVERTISEMENT
Fulbright Scholar, Staf Pengajar FISIP UIN Ar-Raniry, email: [email protected]