news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jejak Kota Cambay, India, di Tanah Aceh sampai ke Gresik (4)

Konten Media Partner
17 September 2019 10:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Peradaban di Kota Pelabuhan Cambay, India, telah dimulai sejak abad ke-7. Di sana tertulis riwayat jalur dagang rempah, pemahat nisan kuno, dan penyebaran Islam ke Nusantara. Kini, kota penghubung dunia barat dan timur di masa lalu itu terlupakan.
Ukiran marmer di pintu masuk Masjid Cambay, sisa kekayaan masa lalu. Foto: Khiththati/acehkini
Penjelajah asal Portugis, Tome Pires, menuliskan tentang Cambay dan Malaka, yang berhubungan langsung dengan Samudera Pasai di Aceh Utara. Catatannya, Suma Oriental (Dunia Timur) memberikan catatan penting tentang kondisi Nusantara abad ke-15 dan 16.
ADVERTISEMENT
Tome Pires mencatat, "para saudagar Cambay membuat Malaka sebagai tempat dagang utama, ada ribuan saudagar dan pedagang Gujarat di Malaka, selain 5 ribu pelaut Gujarat yang datang dan pergi. Malaka tidak bisa tumbuh tanpa Cambay, keduanya saling menguntungkan."
Malaka sangat dekat dengan Aceh, diyakini dari sana lah, barang-barang produksi Cambay atau Khambat dipasok langsung. Terutama nisan-nisan kuno yang masih terlihat hingga kini.
Penelitian tentang kelompok epitaph dari Samudera Pasai menemukan informasi tentang pembeli ukiran marmer kuburan ini dari Cambay. Nisan jenis ini hanya dimiliki oleh keluarga bangsawan. Dua nisan paling awal adalah milik Abdullah bin Muhammad Ibnu abd al-Qadir yang meninggal pada 1406 Masehi, dan istrinya bernama Sitti Jahan bin Al Malik Al Mu’azzam meninggal pada 1414 Masehi.
Makam Abdullah bin Muhammad di Pasai. Dok. Makalah Elizabeth Lambourn
Pasangan lainnya dari batu ini adalah milik Na’ina Husam al Din Ibnu Na’ina Amin yang meninggal pada 1420 Masehi. Gelar Na’ina ini merupakan panggilan untuk komunitas Tamil muslim atau salah satu saudagar Tamil yang tinggal di Pasai.
ADVERTISEMENT
Salah seorang arkeolog Aceh, Dedi Satria, mengatakan asosiasi dagang memang banyak yang dipegang oleh orang-orang Tamil, dan agen itu dipanggil dengan sebutan Nana atau Na’ina. Dalam studi artefak sepanjang Cambay, Pasai, Aceh, dan Barus ditemukan istilah ini.
“Orang-orang Tamil ini menjadi hakim dalam membuat keputusan dagang dan lebih memihak kepada muslim, pergaulan mereka juga disukai,” jelas Dedi.
Kompleks pemakaman Samudera Pasai pertama kali menjadi perhatian selama perang Belanda di Aceh pada 1873 sampai 1910. Pada 1899, tentara Belanda membuat jalan di sekitar Lhokseumawe, tapi pekerjaan mereka terhalang oleh kompleks makam yang cantik dan tidak biasa.
Makam Sultan Malikussaleh, pendiri Kerajaan Samudera Pasai. Foto: Zulkarnaini Muchtar
Penemuan ini juga pernah disebutkan Snouck Horgranje pada saat memberikan kuliah umum di Leiden University pada 1907. Setelah itu, banyak penelitian yang dilakukan terhadap makam ini mulai dari bentuk, sejarah, epigrafi, hingga asal batu terpahat itu. Ada 12 kompleks kuburan bertarikh tahun 1406 Masehi sampai 1447 Masehi.
ADVERTISEMENT
Pada 1921, seorang sarjana Belanda, Jaen Pierre Moquette menerbitkan sebuah laporan tentang hubungan makam yang ditemukan di pelabuhan Cambay, dengan makam Sultan Pasai dan makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.
Komplek Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Dok. Makalah Elizabeth Lambourn
Pada makalah berjudul “De Grafsteenen te Pase en Grisee Vergeleken met dergelijke monuments from Hindustan” yang dibandingkan adalah makam Ratu Nahrasiyah (1428 M), anak perempuan Sultan Zainal Abidin di Samudera Pasai, dengan makam Maulana Malik Ibrahim (1419 M). Keduanya membawa bentuk dari Cambay. Marmer putih krem halus dihiasi dengan kaligrafi, hiasan dan banyak bermotif bunga di bagian kepala dan kaki nisan.
Elizabeth Lambourn meneliti hal ini lebih jauh lagi. Ia menulis berbagai makalah tentang makam-makam yang tersebar di Samudera Hindia. Kemiripan antara kompleks makam di Pasai, Aceh Utara, sangat mirip dengan makam Umar al Kazeruni, dan istrinya di komplek Jama Masjid Cambay, India.
Makam Ratu Nahrasiyah di Pasai, Aceh Utara. Dok. Kemendikbud RI
Makam Umar Al Kazeruni dan istrinya di komplek Jama Masjid Cambay, India. Foto: Khiththati/acehkini
Bahkan, bentuk dan dekorasinya mirip, dengan desain Bismillah khat kufic besar dan pahatan ayat Alquran dengan gaya khat naskh yang halus, canotaph surat Yasin ayat 83 yang sama, adanya ukiran pohon mangga dan pisang raja. Hanya penutup kuburan Al Kazeruni hancur pada gempa besar di Gujarat pada 1819. Sedangkan, di Pasai masih utuh.
ADVERTISEMENT
Penemuan lain juga mengungkapkan bahwa marmer ini tidak mungkin produksi Asia Tenggara. Karena faktanya, marmer putih dan krem halus merupakan ciri dari arsitektur India Barat, khususnya di penambangan yang tersebar dari wilayah Rajastan hingga Gujarat Utara.
Walaupun memiliki tempat produksi di Cambay, namun bahan material dibawa dari Gujarat dan Rajastan. Sampai kini, masyarakat di sana masih menggantungkan pekerjaan mereka dari memahat marmer.
Pada perjalanan darat mengunjungi Rajastan, akhir Agustus 2019 lalu, acehkini menemukan banyak pabrik dan penjualan marmer di pinggir jalan. Selama perjalanan darat dari Jaipur ke Ajmer, Udaipur dan Jodhpur di Negara bagian Rajastan, aneka bongkahan batu terlihat, sebagian sudah terukir. Puluhan pabrik dan bengkel juga berada di kanan kiri jalan.
Pabrik produksi marmer di Rajastan, India. Foto: Khiththati/acehkini
Ada beberapa kota kecil penghasil marmer terkenal seperti Kishangarh dan Makrana, di Negara Bagian Rajastan, India. Kishangarh merupakan kota penghasil marmer terbesar di India, meng-cover 30 persen produksi di dunia.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, Makrana merupakan penghasil marbel mewah nan halus. Beberapa bangunan terkenal di India menggunakan marmer produksi Makrana, salah satunya Taj Mahal sampai Sheikh Zayed Mosque di Dubai.
“Hampir semua pahatan marmer di kota ini dihasilkan dari daerah sekitar ini,” ungkap Sachin, seorang pemandu wisata di Jaipur.
Kota-kota ini gampang ditemui dan punya akses jalan raya. “Nanti saat kalian menuju Ajmer atau Jodhpur, akan melihat banyak bongkahan marmer di pinggir jalan, tempat penambangan bahan baku,” sambungnya lagi.
Dulu, para pemahat datang Cambay karena daya tarik pelabuhan, adanya permintaan tinggi membuat mereka menetap. Karena bukan terletak di daerah penghasil batu alam, tidak mungkin pemahat tinggal tanpa proyek yang besar.
Ragam marbel mahal diproduksi dan diukir menjadi nisan, pintu maupun mihrab membuktikanya. Hal ini menggambarkan gaya hidup masyarakat pada periode tersebut.
Petunjuk jalan memasuki Kota Makrana, produsen marmer terkenal di Dunia. Foto: Khiththati/acehkini
Saat ini, setengah dari produksi ukiran batu nisan Khambat sudah ditemukan menyebar di banyak wilayah seluruh dunia. Namun masih ada penelitian yang harus dilakukan. Perdagangan batu nisan ini tidak menjadi komunitas utama yang diekspor dari pelabuhan Cambay, layaknya katun atau barang tekstil lainnya.
ADVERTISEMENT
Pembelian kebanyakan melalui pemesanan langsung di bengkel-bengkel kerja. Pembelian seperti inilah yang menjelaskan kenapa ukiran marmer ini tidak pernah ditampilkan sebagai produk perdagangan dalam sumber-sumber yang ada.
Pelabuhan Cambay aktif melakukan kerja sama dagang dengan pelabuhan di wilayah Kerajaan Aceh. Menurut Sejarawan Aceh, Adli Abdullah, ada beberapa perjanjian khusus dagang, misalnya yang dibuat antara dua pelabuhan ini.
“Pelabuhan Cambay pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Delhi, Kesultanan Gujarat, hingga Kesultanan Mughal, jadi ada beberapa perjanjian perdagangan yang tercatat,” katanya.
Adli Abdullah, mantan Sekretaris Panglima Laot Aceh, mengatakan ada beberapa barang dagang khusus yang diperdagangkan oleh Kerajaan Aceh hanya dengan pelabuhan Cambay.
“Misalnya saja tanah merah, istilahnya sekarang itu gambir,” katanya.
ADVERTISEMENT
Beberapa catatan tentang pembayar bea cukai kapal yang masuk ke wilayah laut Kerajaan Aceh, juga tercatat datang dari beberapa pelabuhan di India. Mulai dari Tamil, Malabar, dan Cambay di Gujarat.
“Catatan-catatan ini semuanya tentang pajak, upeti, dan beberapa hal yang lain tercatat dalam kitab Ma Bain-as-Salatin,” ungkap Adli.
Kitab Ma Bain as Salatin ini memuat Peraturan tentang Majelis Raja-raja, organisasi istana, syarat-syarat menjadi staf istana, riwayat ringkas para Sultan yang berkuasa di Kerajaan Aceh Darussalam. Juga berbagai jenis upacara dan perayaan yang berlangsung sepanjang tahun di ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam. Menampilkan kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Aceh Darussalam, pelbagai jenis cukai dan pajak pelabuhan yang dipungut dari kapal-kapal asing yang berniaga di Bandar Aceh.
ADVERTISEMENT
“Ada banyak sekali hubungan Aceh dengan pelabuhan luar dahulu, yang tidak pernah kita bicarakan dan tulis. Hubungan ini bisa jadi terkait dagang dan lainnya. Padahal, itu penting dan menarik,” kata Adli. [Tamat]
Reporter: Khiththati