Konten Media Partner

Kafe Hanasue di Banda Aceh: Tempat Minum Kopi Racikan Pekerja Difabel

2 Februari 2022 16:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kafe Hanasue yang terletak dalam kompleks Kantor Dinas Sosial Banda Aceh di Lamlagang, Kota Banda Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kafe Hanasue yang terletak dalam kompleks Kantor Dinas Sosial Banda Aceh di Lamlagang, Kota Banda Aceh. Foto: Habil Razali/acehkini
ADVERTISEMENT
Menjelang sore yang panas terik akhir Januari lalu, Tari sedang sibuk dengan segala rutinitasnya di Kafe Hanasue. Ia yang sejatinya menjadi barista, hari itu juga harus menggoreng pisang di kafe yang terletak dalam kompleks Kantor Dinas Sosial Banda Aceh di Lamlagang, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana nama Hanasue yang diambil dari kata bahasa Aceh berarti tidak ada suara, semua pekerja di kafe ini merupakan penyandang disabilitas atau difabel tunarungu. Selain Tari, ada dua difabel lain yang bekerja di sana: Furqan dan Ramlah.
Ketika Hanasue dibuka pada Oktober 2021, total ada enam penyandang disabilitas bekerja di sana. Namun, belakangan tiga orang di antaranya undur diri. Semua pekerja di Hanasue adalah jebolan Balai Latihan Kerja (BLK) Banda Aceh.
Tari meracik kopi arabika di Kafe Hanasue dalam kompleks Kantor Dinas Sosial Banda Aceh di Lamlagang, Kota Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
"Belajar di BLK sampai menjadi barista. Kurang lebih satu bulan," kata Tari kepada acehkini, pada Kamis (27/1/2022). Wawancara berlangsung dengan saling tulis pertanyaan dan jawaban di telepon seluler.
Berbeda dengan Tari yang ahli meracik kopi arabika pakai mesin, Furqan jago menyajikan kopi robusta dengan metode saring khas Aceh, dan Ramlah menjadi andalan bagian masak. Namun, Kamis itu, Ramlah sedang tidak di kafe karena sakit. "Sehingga saya gantikan dia masak," ujar Tari.
ADVERTISEMENT
Mereka mengaku tidak punya kesulitan ketika melayani pengunjung kafe yang sebagian besar tidak menguasai bahasa isyarat. Tari, contohnya, menanyakan pesanan ke pengunjung dengan menyodorkan menu dan selembar kertas. "Ditulis pesanannya," katanya.
Tari memperlihatkan kopi racikannya di Kafe Hanasue dalam kompleks Kantor Dinas Sosial Banda Aceh di Lamlagang, Kota Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Di sisi lain, kafe disabilitas di lingkungan kantor tersebut membuat orang-orang lebih menghargai difabel. Sore itu, seorang pegawai memesan sesuatu kepada Furqan dengan gerakan tangan, meski bukan laiknya gerakan bahasa isyarat seperti penyandang disabilitas belajar. Namun, Furqan yang paham maksud pegawai itu bergegas mengambil sesuatu.
Bekerja di Hanasue, Tari, Furqan, dan Ramlah mendapat upah Rp 500 ribu sebulan. Tari ingin mengumpulkan uang tersebut untuk membuka usaha sendiri menggunakan gerobak. Namun, ia belum tahu kapan rencana itu bakal terwujud. "Sampai modal cukup," kata Tari.
ADVERTISEMENT
Bagi Furqan, Hanasue adalah lapangan kerja pertamanya setelah lulus Sekolah Menengah Atas pada 2016. Sebelumnya, difabel asal Kota Langsa ini menganggur hingga akhirnya ikut pelatihan di Balai Latihan Kerja. Berbeda dengan Tari, Furqan belum memikirkan rencana untuk buka usaha sendiri.
Tari membawa kopi ke pelanggan di Kafe Hanasue dalam kompleks Kantor Dinas Sosial Banda Aceh di Lamlagang, Kota Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Menurut Kepala Dinas Sosial Banda Aceh Arie Maulakafka, Hanasue dirancang sebagai tempat difabel praktik bekerja setelah dilatih di Balai Latihan Kerja. "Harapan kami setelah dari sini mereka bisa membuka usaha sendiri," ujarnya.
Arie menuturkan Hanasue tidak berorientasi pada keuntungan. Laba yang diperoleh dari hasil penjualan di sana akan kembali menjadi modal dan sisanya dibagi untuk pekerja.
Selain difabel tunarungu, Arie berencana mengajak difabel tunanetra untuk membuka klinik pijat di kompleks kantor Dinas Sosial Banda Aceh. Namun, rencana itu belum dikerjakan karena menunggu pemindahan pelbagai urusan kantor ke gedung baru di kompleks yang sama.
ADVERTISEMENT