Kala Jalan Panjang, Desa Alue Naga, Bangkit Usai 15 Tahun Tsunami Aceh

Konten Media Partner
31 Desember 2019 18:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Budidaya tiram yang dilakukan warga Gampong Alue Naga di tambak. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Budidaya tiram yang dilakukan warga Gampong Alue Naga di tambak. Foto: Suparta/acehkini
Siang itu, langit biru cerah. Sinar matahari sangat terik. Ruslan sedang tak melaut. Nelayan berusia 60 tahun itu sedang memperbaiki rajutan jaring penangkap ikan miliknya yang sudah jebol. Bersama tiga nelayan lain, ia menyambung satu benang dengan benang lain hingga saling terkait.
ADVERTISEMENT
Ruslan salah seorang nelayan Gampong Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Ketika konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia, dia memilih angkat senjata dengan tujuan memerdekakan Aceh.
Ketika tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Ruslan selamat. Beberapa bulan berselang, damai datang ke Tanah Seulanga. Kombatan GAM seperti Ruslan kembali ke masyarakat. Ia kemudian memilih menjadi nelayan, agar dapur rumah tetap mengepul.
Aktivitas budidaya tiram warga Alue Naga yang memanfaatkan akar-akar tanaman bakau di tambak menjadi rumah bagi tiram dan kerang laut. Foto: Suparta/acehkini
Ruslan terus merajut jaring. Sebagai nelayan, penghasilannya seringkali tak menentu. Tetapi ia tetap semangat agar dapur terus mengepul. Belum lagi ia harus membiayai anak-anaknya sekolah.
Namun bebannya sedikit berkurang selama tiga tahun terakhir ini. Karena putrinya yang sekarang duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, mendapat beasiswa pendidikan dari Astra. Setiap per tiga bulan sekali, putri Ruslan memperoleh beasiswa sebesar Rp 450 ribu.
Ruslan (kedua dari kanan) bersama warga lainnya di Gampong Alue Naga memperbaiki rajutan jaring penangkap ikat. Foto: Suparta/acehkini
"Bagi nelayan seperti saya, ini sangat terbantu sekali. Apalagi penghasilan kami ini kadang tak menentu. Jadi dengan adanya beasiswa itu, anak saya bisa membeli peralatan sekolah," kata Ruslan kepada acehkini, Senin (30/12).
ADVERTISEMENT
Gampong Alue Naga berdiri di garis pantai di batas Kota Banda Aceh. Ketika tsunami melanda Aceh, gampong seluas sekitar 80 hektare itu berubah menjadi tanah lapang.
Petani tiram di Alue Naga melempar jala di tambak. Foto: Suparta/acehkini
Rumah, gedung sekolah, dan bangunan fasilitas publik di gampong itu hancur. Dari enam ribu penduduk Alue Naga, setelah tsunami hanya tersisa seribu orang. Sebagian dari mereka mengungsi ke sejumlah tenda pengungsian.
Warga kembali menetap di Alue Naga setelah rumah bantuan korban tsunami dibangun Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh. Selain membangun rumah, lembaga yang menangani Aceh setelah bencana raya itu turut membangun dua sekolah dasar dan fasilitas publik lainnya di sana.
Delapan puluh persen warga Alue Naga menggantungkan hidup dengan melaut. Foto: Suparta/acehkini
Kehidupan warga Alue Naga tertatih untuk bangkit dari keterpurukan. Hingga 15 tahun setelah tsunami Aceh, kehidupan di Alue Naga sudah pulih seperti semula. "Warga sudah bangkit," kata Faisal M Dan, Keuchik (Kepala Desa) Alue Naga, kepada acehkini, Senin (30/12).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan kependudukan, sekarang penduduk Alue Naga mencapai 2000 orang. Dan 300 di antaranya merupakan anak-anak yang lahir setelah tsunami.
"Delapan puluh persen warga Alue Naga menggantungkan hidup dengan melaut, dan sisanya menjadi pedagang dan petani tiram," tutur Faisal.
Faisal M Dan, Keuchik (Kepala Desa) Alue Naga, saat berbincang dengan acehkini pada Senin (30/12). Foto: Suparta/acehkini
Pada medio September 2017, PT Astra Internasional Tbk memilih Desa Alue Naga menjadi Kampung Berseri Astra (KBA). Alue Naga merupakan desa ke-65 di Indonesia yang mendapat kucuran dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan multinasional tersebut.
Head of Environment and Social Responsibility Astra International, Riza Deliansyah, menyebutkan, lewat Kampung Berseri Astra, pihaknya ingin mewujudkan suatu desa dengan lingkungan yang bersih, dan, hijau, dan dihuni oleh masyarakat yang sehat. "Ada empat pilar program KBA, yaitu pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan," kata dia.
Aktivitas budidaya tiram warga Alue Naga di tambak. Foto: Suparta/acehkini
Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman, sangat sumringah ketika meresmikan Alue Naga sebagai desa binaan Astra. Menurutnya, ini adalah kesempatan istimewa untuk membangkitkan Gampong Alue Naga.
ADVERTISEMENT
“Semoga dengan kerjasama ini, petani tiram di Alue Naga dilatih dan dikembangkan teknik maupun nonteknik supaya hasil pembudidayaan tiram lebih mudah dan naik kualitasnya,” kata dia.
*
Pucuk-pucuk bakau terombang-ambing ditiup angin laut. Ratusan batang tanaman bakau dengan tinggi satu hingga dua meter tumbuh subur di Dusun Kutaran dan Podiamat, Gampong Alue Naga. Bakau di dua dusun itu sebagian besar berasal dari sumbangan sejumlah perusahaan yang turut andil merawat lingkungan.
Tanaman bakau di Alue Naga memagari tambak-tambak tiram dari abrasi. Foto: Suparta/acehkini
Setelah tsunami, konservasi mangrove gencar disuarakan untuk wilayah yang berada di garis pantai. Karena bila tsunami terjadi, akar bakau akan berfungsi sebagai penahan ombak. "Sebagai desa binaannya, Astra turut menyumbang ribuan bakau untuk ditanam di Alue Naga," sebut Faisal.
Selain ancaman bencana, tanaman bakau di Alue Naga turut memagari tambak-tambak tiram di sana dari abrasi. Pohon bakau ditanam di pematang dan di dalam tambak. Sementara akar-akarnya menjadi rumah bagi tiram dan kerang laut.
Akar-akar tanaman bakau di tambak warga Alue Naga yang menjadi rumah bagi tiram dan kerang laut. Foto: Suparta/acehkini
Dari dulu Alue Naga memang dikenal sebagai daerah penghasil tiram terbaik di Aceh. Bedanya, tiram sekarang tak dijual mentah-mentah seperti dulu. Tiram Alue Naga sekarang diolah menjadi kerupuk tiram. Melalui kelompok Sinar Naga, Astra menyumbangkan sejumlah peralatan termasuk mesin pengolah tiram menjadi kerupuk.
ADVERTISEMENT
Kerupuk tiram yang dikenal dari Alue Naga, yaitu Kerupuk Tiram Kak Mar. Namanya diambil dari sang pemilik, Mariati. Sekarang produk olahan tiram milik Mariati telah dijual sampai ke luar Aceh. Berkat produk olahan tiram ini pula, Alue Naga sekarang menjadi tempat sentra budidaya dan pengolahan tiram Aceh.
Kemasan kerupuk tiram 'Kak Mar' yang dikenal dari Alue Naga telah dijual sampai ke luar Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Soal kualitas, tiram Alue Naga memang terbaik. Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Ichsan Rusydi, melakukan penelitian terhadap tiram di Alue Naga. Hasilnya, tiram di sana lebih bagus karena kadar logam sangat rendah. Ini membuat tiram Aceh berkualitas baik dan aman untuk dikonsumsi.
"Tiram Aceh sangat bermutu karena didukung dari keberadaan lingkungan yang belum tercemar limbah industri," kata Ichsan, yang juga penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2016 ini karena inovasi Rumoh Tiram Gampong Tibang.
ADVERTISEMENT
Menurut Ichsan, FKP bersama Astra telah melakukan uji kompetensi terhadap 120 petani tiram dari empat kelompok di Alue Naga. Hasil uji kompetensi itu, petani tiram tersebut telah diberikan sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) di Jakarta.
Suasana jalan menuju Alue Naga di batas Kota Banda Aceh, Senin (30/12) sore. Foto: Suparta/acehkini
*
Kini, satu setengah dekade setelah bencana, Faisal punya harapan besar terhadap 300 anak Alue Naga yang lahir di atas tahun tsunami. "Mereka agar lebih maju dan punya semangat untuk membangun Alue Naga," ujarnya.
Faisal menyakini kehidupan Alue Naga semakin hari bertambah membaik. Menurutnya, Alue Naga hari ini telah benar-benar bangkit.
Gampong Alue Naga yang sudah bangkit usai dihantam gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Foto: Suparta/acehkini