Kisah Eks Kombatan GAM saat Konflik Aceh: Menghadapi Gempuran TNI (2)

Konten Media Partner
10 Agustus 2019 15:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ilustrasi, warga dan TNI saat Darurat Militer di Aceh, 1 Januari 2004. Dok. acehkita.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, warga dan TNI saat Darurat Militer di Aceh, 1 Januari 2004. Dok. acehkita.com
Setelah Darurat Militer ditetapkan di Aceh pada 19 Mei 2003, puluhan ribu TNI/Polri dikirim lengkap dengan pesawat tempur. Perang terjadi di mana-mana, setiap hari. Penyerangan lewat udara juga dilakukan dengan menjatuhkan mortir dari pesawat dan helikopter, termasuk di kawasan pegunungan Aceh Besar.
ADVERTISEMENT
Penyisiran semakin sering dilakukan TNI. Para anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Besar menyiapkan diri lebih baik, menerapkan strategi gerilya. Ada empat komando daerah di Aceh Rayeuk (Aceh Besar), saling terhubung dengan jalur-jalur tikus dan saling mendukung.
Mantan Juru Bicara GAM Aceh Rayeuk, Irwansyah alias Tgk Muchsalmina, menceritakan kisahnya kepada saya, dalam beberapa kesempatan setelah damai hadir di bumi Serambi Makkah.
Irwansyah berada di wilayah Komando Daerah 26 bersama sekitar 150-an anggota. Senjata minim pada awalnya, hanya setengah jumlah anggota. Daerah 26 punya tiga camp yang masing-masing terletak di utara, tengah, dan selatan.
Camp ‘Pinto Raya’ dipimpin oleh Ramli alias Pak Ca, Camp ‘Tameh Teungeh’ dipimpin oleh Teungku Li yang juga Panglima GAM Sagoe Siem. Sementara Irwansyah memimpin Camp ‘Pinto Angen’ yang terletak di tengah-tengah. Jumlah pasukan dan senjata terbagi rata. Letak antar camp tak terlalu berjauhan, beberapa mereka kerap berkumpul di satu tempat.
ADVERTISEMENT
Komando Daerah 26 bertanggung jawab untuk wilayah dari Lampulo, Darussalam, Cot Keueng, Siron, Blang Bintang sampai ke Krueng Raya dan Lamteuba.
Selain Daerah 26, di Aceh Besar ada Komando Daerah 22 yang dipimpin oleh Teungku Akhyar meliputi wilayah Montasik, Jantho, Lembah Seulawah, sampai ke Saree. Kemudian Komando Daerah 25 dipimpin oleh Muharram yang bertanggung jawab di wilayah Sibreh, Lambadek, sampai ke Lhoong dan perbatasan Aceh Jaya. Kemudian Komando Daerah Kutaraja atau Banda Aceh dan sekitarnya, juga menjadi wewenang Muharram.
Pengepungan jalur darat dari pasukan pemerintah Indonesia secara besar-besaran ke markas yang ditempati Irwansyah dilakukan pada bulan ke-5 sejak Darurat Militer diterapkan. Informasi ke camp selalu dipasok para ‘aneuk itek’ (sebutan untuk informan GAM) yang tersebar di gampong-gampong.
Irwansyah (kanan) dan salah seorang anggotanya di perbukitan Aceh Besar, saat konflik Aceh. Foto: Adi Warsidi
Dua hari sebelum pengepungan tersebut, Irwansyah menyusun strategi sesuai ilmu yang diterimanya dari para alumni Maktabah Tajjura (tempat pelatihan anggota GAM di Libya). Berbagai strategi dipetakan, bagaimana cara melawan dan bagaimana jika tak sanggup melawan? Adakah jalan keluar dari pengepungan serta ragam cara bertahan jika terjebak bahkan kalau tertangkap.
ADVERTISEMENT
TNI kerap melakukan pengepungan dengan sistem lingkaran penuh, menempatkan personel mereka di sekitar perbukitan Siron yang ditempati GAM. Berulang kali mereka memetakan lokasi, untuk mencari jalan jika terdesak memanfaatkan informasi dari telik sandi.
Menghadapi penyerangan, pasukan yang sakit dikumpulkan di suatu tempat dirasa aman dengan penjagaan. Mereka yang tanpa senjata, bergabung dengan dengan pasukan penerobos atau perusak perangkap penyerangan yang dibuat oleh aparat. Sementara bahan makanan tak persoalan, telah disiapkan jauh-jauh hari.
Serangan pertama besar-besaran ke markas, Irwansyah tak ingat detail tanggalnya, pertengahan Oktober 2003 setelah subuh. Bunyi senapan bersahutan di segala penjuru hutan Siron. Aparat TNI terus bergerak lebih masuk ke dalam wilayah markas GAM. Jeda tembak terjadi sesaat kala zuhur, setelahnya berlangsung lagi sampai jelang magrib. Beberapa pasukan GAM mengalami luka dan meninggal setelahnya.
ADVERTISEMENT
Esok harinya, penyerangan dimulai lagi setelah subuh. Pasukan GAM di wilayah pertahanan utara dan selatan ditarik ke tengah karena banyak yang tidak punya senjata. Mereka bertugas melindungi dan mengeluarkan pasukan tak bersenjata keluar kepungan. Begitulah seterusnya, sampai mereka mencari jalan keluar dari lokasi markas, atau bersembunyi di hutan-hutan. Menghindar jika kalah kekuatan senjata.
“Ada satu peristiwa yang menggelitik,” kisah Irwansyah. Suatu pagi, pasukan sedang mencuci beras dan akan memasak. Saat mulai menghidupkan api, serangan dari TNI datang dan beras tak menjadi nasi. Tinggallah beras basah yang dibuang airnya dan dibawa pasukan sambil berlindung, beras yang gembung itu kemudian dimakan bersama. [bersambung]
Reporter: Adi Warsidi