Kisah Tragedi Idi Cut, Aceh: Ceceran Darah di Krueng Arakundo (2)

Konten Media Partner
7 Februari 2020 13:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra saat aksi mengenang 21 tahun Tragedi Idi Cut. Foto: Suparta/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra saat aksi mengenang 21 tahun Tragedi Idi Cut. Foto: Suparta/acehkini
Bagaimana tragedi itu sebenarnya terjadi?
ADVERTISEMENT
Cover buku fakta bicara: Akmal Van Roem/Dok. Koalisi NGO HAM Aceh
Kesaksian Kedua
Saat mayat korban dibuang ke Krueng Arakundo, salah seorang warga Kecamatan Julok bernama Badriah menjadi salah satu saksi. Dia tinggal tak jauh dari jembatan bersejarah itu, hanya 300 meter. Menjelang subuh, 3 Februari 1999, Badriah sedang berada di dalam rumahnya mendengar aparat mengatakan “lanjut-lanjut” dan kemudian terdengar suara gesekan batu.
ADVERTISEMENT
Badriah penasaran, kemudian mengintip dari balik gorden rumah. Saat itu listrik padam. Di depan rumahnya terparkir tiga truk. Dua truk dipenuhi tentara, sedangkan satu truk lagi terlihat kosong. Kemudian salah satu truk menuju Jembatan Arakundo, sedangkan dua truk masih berada di depan rumahnya dan terlihat sibuk membersihkan sesuatu.
Di depan rumah Badriah, terdapat jeriken air berukuran 20 liter yang digunakan aparat untuk menyiram jalan. Kemudian mereka meninggalkan Jembatan Arakundo menuju ke arah Idi Cut. Tidak lama setelah itu, tercium bau amis bersumber dari depan rumahnya.
Saksi lainnya bernama Roslina. Dia mengatakan ceceran darah yang terdapat di sekitar Jembatan Arakundo berusaha ditutupi dengan pasir. Penduduk sekitar sungai sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang pasir, hasilnya biasa mereka tumpuk di pinggir sungai sekitar jembatan tersebut.
ADVERTISEMENT
Biar nyambung, baca juga bagian pertama:
***
Pukul 07.00 WIB, ratusan masyarakat berkumpul melihat tetesan darah yang sudah kering sepanjang jalan menuju Jembatan Arakundo. Menjelang siang, warga mulai melakukan pencarian mayat di Sungai Arakundo. Mereka menemukan salah satunya, bernama Irwansyah Bin Usman, (22 tahun), warga Gampong Kapai Baro, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Jenazahnya ditemukan dalam goni yang bertuliskan sebuah nama. Goni tersebut masih disimpan oleh istrinya.
Keesokan hari, 4 Februari, pencarian dilanjutkan sampai seminggu kemudian. Masyarakat menemukan mayat Hasbi Saleh, 35 tahun, warga Desa Leubok Tuha, Kecamatan Julok; Irwan Bin Matsyah 24 tahun dari Desa Jambo Bale, Kecamatan Julok; Jailani Muhammad 22 tahun dari Desa Jambo Bale Kecamatan Julok; Karimuddin Ibrahin 20 tahun, dari Desa Matang Neuhen Bagok, Kecamatan Julok; Saiful Bahri bin Yusuf, penduduk Boh Tren, Desa Bandar Baru, Kecamatan Julok.
ADVERTISEMENT
Pencarian korban dilakukan dengan alat tradisional. Baru dua hari setelah kejadian, tim penyelam dari PT Arun ikut membantu. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu. Hal yang menyulitkan pencarian korban.
Aksi mahasiswa peringati 21 Tahun Tragedi Idi Cut atau Tragedi Arakundo di Yokyakarta. Foto: #DarahArakundo Jogja
Menurut saksi, jumlah korban luka-luka sangat banyak. Karena tentara memuntahkan peluru ke arah masa secara membabi buta. Tapi, sebagian besar masyarakat yang terluka tidak melapor. Ditambah warga yang malam itu juga diangkut truk ke kantor Kepolisian Resort Kota Langsa untuk diperiksa terkait penyelenggaraan ceramah agama, yang dinilai bermuatan makar: Mengajak warga mendukung Aceh Merdeka.
Selain korban luka dan meninggal, sebagian masyarakat juga menderita kerugian harta benda. Saat penembakan, beberapa orang kehilangan sepeda motor. Kaca mobil dirusak.
ADVERTISEMENT
Ismail misalnya, mobilnya dirusak, dan menderita kerugian Rp 7 juta. Fadly Syah, 35 tahun, motornya dirusak dan kerugian sekitar Rp 1,5 juta. Selain itu, masih banyak warga lainnya yang mengalami kerugian materi.
Setelah kejadian, masyarakat masih ketakutan. Teror yang dilakukan oleh aparat militer terus berlangsung. Di hari kejadian, mereka masih tetap bertahan di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut, sampai siang hari. Bahkan masih terjadi muntahan peluru ke udara.
Kondisi ini disaksikan oleh Sulaiman Ali yang kemudian dibawa ke Kantor Koramil bersama dengan delapan orang lainnya dengan truk. Dua hari kemudian, aparat masih berkeliling di sekitar Idi Cut dengan truk militer yang bertuliskan “Sambar Nyawa” pada kaca mobilnya.
ADVERTISEMENT
Tindakan kekerasan di Idi Cut diduga sebagai pembalasan dendam terhadap peristiwa sebelumnya, berupa swepping dan penculikan tentara yang dilakukan sejumlah warga sipil (bersenjata) di Lhok Nibong, Aceh Timur, pada 29 Desember 1998 sampai 3 Januari 1999. Peristiwa ini berujung pada pembunuhan beberapa personel tentara, yang mayatnya juga dibuang ke sungai.
Hal itu terbukti dari makian-makian yang dilontarkan para tentara, saat sedang melakukan aksinya. “Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. Rasakan balasannya.” [bersambung]