Vonis 16 Tahun untuk Guru Pencabul 15 Santri, KPPA Aceh: Sudah Sesuai

Konten Media Partner
1 Februari 2020 9:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta (tengah), dalam konferensi pers terkait kasus pelecehan seksual terhadap santri. Foto: Agus/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Kapolres Lhokseumawe, AKBP Ari Lasta (tengah), dalam konferensi pers terkait kasus pelecehan seksual terhadap santri. Foto: Agus/acehkini
ADVERTISEMENT
Komisi Pengawas dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, menilai vonis hukuman 190 bulan penjara (16 tahun) untuk pimpinan pesantren dan 160 bulan penjara (13 tahun) untuk seorang guru yang mencabuli 15 murid laki-laki di Lhokseumawe, telah sesuai dengan perbuatan mereka.
ADVERTISEMENT
“Hukuman ini kami anggap sebuah putusan yang dianggap sebagai vonis yang sudah memenuhi unsur keadilan bagi korban dalam konteks hukum, bahkan lebih besar dari hukuman yang ada di Undang Undang Perlindungan Anak,” kata Firdaus D. Nyak Idin, Komisioner KPPA Aceh kepada acehkini, Sabtu (1/2/2020).
Menurutnya, KPPA Aceh mengapresiasi putusan hakim Mahkamah Syariah yang telah memvonis hukuman berat bagi pimpinan pesantren, Ali Imran dan seorang guru ngaji, Miryardi. “Kalau persfektif hakim Mahkamah Syariah di seluruh Aceh seperti ini, bukan tak mungkin Qanun yang selama ini kami ragukan keberpihakannya, malah menjadi angin segar baru dalam penegakan hukum bagi predator kemanusiaan,” katanya.
Terkait dengan adanya pernyataan banding dari penasehat hukum terdakwa, Firdaus berharap hakim tidak memberikan keringanan hukum.
ADVERTISEMENT
“Kalau bisa (tambah) memperberat agar menjadi peringatan bagi pelaku lain,” tegasnya.
Vonis untuk kasus yang sempat menghebohkan publik Aceh beberapa waktu lalu, diputuskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Syariah Kota Lhokseumawe, Aceh pada Kamis (30/1) lalu. Majelis menilai kedua orang itu terbukti bersalah, telah melakukan pencabulan terhadap 15 santrinya yang masih dibawah umur. Ali dan Miyardi dijerat Pasal 50 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga memerintahkan keduanya membayar restitusi 30 gram emas kepada 15 anak laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual. Kendati dijerat dengan Qanun Jinayat, mereka tidak dihukum dengan cambuk, karena dalam kasus tersebut hukuman cambuk adalah alternatif.
ADVERTISEMENT
Firdaus menambahkan, masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mendampingi para korban yang dilecehkan tersebut, seperti upaya rehabilitasi fisik, mental dan sosial korban.
Dia menilai, kebanyakan anak-anak korban kekerasan seksual selama ini di Aceh dan Indonesia umumnya tidak mendapat pelayanan rehabilitasi fisik, mental dan sosial yang memadai. Hal ini perlu mendapat perhatian serius, “terlebih, (dalam beberapa kasus) besar kemungkinan para korban kekerasan seksual terutama anak laki-laki berpotensi menjadi pelaku pada masa mendatang,” kata Firdaus.
Dia berharap Pemerintah Aceh segera dapat mengimplementasikan Qanun yang menjamin upaya rehabilitasi fisik mental dan sosial bagi anak korban. KPPA Aceh juga meminta pemerintah untuk memperkuat integrasi penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Misalnya dengan memperkuat Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif yang saat ini baru ada di Banda Aceh, Lhokseumawe dan Aceh Barat.
ADVERTISEMENT
“Karena hal ini termasuk yang sangat ditekankan oleh Presiden dalam arahannya terkait penanganan kekerasan terhadap anak,” jelasnya. []
Arahan umum Presiden Indonesia terkait perlindungan anak. Dok, KPPA Aceh