Konten dari Pengguna

Oknum Lagi di Lidah Aparat dan Media

Suryatama
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
16 Oktober 2021 21:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suryatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Instansi aparat kerap mengambing hitamkan "oknum" sebagai representasi dari anggotanya yang melanggar aturan.
zoom-in-whitePerbesar
Instansi aparat kerap mengambing hitamkan "oknum" sebagai representasi dari anggotanya yang melanggar aturan.
ADVERTISEMENT
Oknum, sepertinya, sudah menjadi jurus andalan kalau ada aparat yang melanggar aturan. Tidak hanya keluar dari mulut perwakilan aparat, seperti POLRI dan TNI ketika diminta keterangan dan saat konferensi pers, oknum juga sering muncul di artikel berita di beberapa media. Setiap ada aparat yang melanggar hukum mereka memakai dalih oknum untuk menjaga citra instansi. Media juga kompak memakai kata “oknum”, selaras dengan pernyataan aparat.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oknum memiliki arti perseorangan atau individu. Jadi, kalau ada perwakilan instansi aparat yang memakai kata “oknum” setiap kali anggotanya melanggar hukum, mereka tidak mau mengaku secara jelas kalau tindakan anggotanya mewakili keseluruhan instansi. Maksudnya bagaimana? Maksudnya, perwakilan instansi melepas tanggung jawab pelanggaran tersebut kepada anggotanya secara individu.
Kapolda Banten IJP Dr. Rudi Heriyanto. Sumber: Kumparan
Contoh kasusnya bisa kita liat baru-baru ini. Kasus anggota polisi yang membanting Faris, mahasiswa yang sedang berdemo di depan Kantor Bupati Tangerang. Dapat kita lihat kalimat dari Kapolda Banten Rudi Heriyanto menanggapi kasus tersebut. Dia memakai kata “oknum” untuk mendefinisikan anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum.
Kasus lain yang melibatkan “oknum” aparat adalah kaburnya Rachel Vennya dari Wisma Atlet saat sedang dalam masa karantina yang dibantu oleh anggota TNI. Kita simak bagaimana tanggapan Kepala Penerangan Kodam Jaya Kolonel Arh Herwin BS mengenai tindakan anggotanya yang melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi kata oknum dipakai untuk mendefinisikan anggota aparat yang berbuat salah. Kalau memang setiap tindakan aparat tidak mencerminkan instansinya, kenapa aparat yang berprestasi tidak disebut dengan embel-embel oknum juga?
Beberapa media juga ikut memakai kata oknum dan menjiplak sesuai apa yang dibilang oleh perwakilan dari instansi aparat. Padahal, media seharusnya lebih kritis dalam menanggapi pernyataan yang dibuat oleh perwakilan instansi aparat karena apa yang dibuat media akan menjadi konsumsi untuk publik. Kalau kamu cari keyword "oknum" di search bar Google, kamu akan melihat pemberitaan dari banyak media yang mendefinisikan aparat yang melanggar aturan sebagai "oknum".
Pilihan kata yang dipakai oleh media juga mencerminkan sikap politik yang diambil media. Dalam kasus ini, media bisa dilihat keberpihakannya dari kata yang dipilih. Kalau media memakai kata oknum, mereka cenderung berpihak kepada instansi aparat yang ingin melindungi citra instansinya. Berbeda lagi, kalau media tidak memakai kata oknum, media membingkai aparat yang melanggar hukum sebagai anggota aparat, bukan oknum aparat.
ADVERTISEMENT
Dari buku "Jas Wakil Rakyat dan Tiga Kera: Percikan Kebijaksanaan", sebenarnya, penggunaan kata oknum sudah populer sejak tahun 1970-an berkat Laksamana Soedomo yang pada masa itu itu menjabat sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban). Dia sering memakai kata oknum karena banyak aparat yang tindakannya tidak sesuai aturan. Sejak itu, pemakaian kata oknum jadi lebih sering dipakai untuk menghindar dari tindakan seseorang yang dinilai membuat cacat nama instansi. Singkatnya, menolak aib yang dilakukan oleh anggota aparat.
Polisi yang memukuli orang, oknum. Tentara yang berbuat seenaknya, oknum. Dosen yang melecehkan mahasiswinya, oknum. PNS berjualan vaksin ilegal, oknum.