Cerita Ponco Sutinem: Nenek Petani Nominator Aktris Terbaik ASEAN

8 Mei 2017 18:52 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pemeran utama Ponco Sutiyem (Foto: Instagram @filmziarah)
Mbah Ponco Sutinem (95) hanya tersenyum polos saat ditanya soal prestasinya masuk nominasi kategori aktris terbaik dalam ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017. Mungkin dia pun tak mengerti apa itu AFIFA, bahkan mimpi berakting di depan saja tak pernah terlintas di benaknya.
ADVERTISEMENT
Film "Ziarah" masuk dalam beberapa nominasi yakni Best Film, Best Screenplay, Best Director, dan Best Actress.
Mbah Ponco memerankan tokoh Mbah Sri, yang mencari makam suaminya yang hilang pada zaman agresi militer Belanda ke-2. Pencariannya bermuara pada satu tujuan: ingin dimakamkan di samping makam sang suami.
Saat pengambilan gambar film ‘Ziarah’, Mbah Ponco diajak ke beberapa lokasi di desanya, seperti di wilayah Bayat dan Jombor, Klaten sampai ke Embung Bathara Sriten di Kecamatan Nglipar, Gunung Kidul. Pengambilan gambar dilakukan 12 hari secara bertahap.
"Saya diajak dua kali yang hari pertama empat hari dan yang hari kedua delapan hari. Itu masuk ke desa-desa, di Jombor, sebuah makam di Bayat, Klaten dan Betara Sriten," katanya seperti dilansir Antara, Senin (8/5).
ADVERTISEMENT
Ketika tampil dalam film ‘Ziarah’ karya sutradara BW Purba, Mbah Ponco mungkin hanya mengikuti arahan sutradara. Tapi apa yang ditampilkan melalui ekspresi dan dialog, adalah potongan sejarah kelam yang pernah mengisi kehidupannya.
Si Mbah punya ingatan tajam ketika diminta bercerita soal masa penjajahan Belanda, Jepang hingga masa kemerdekaan .
Wanita yang tinggal di Dusun Batusari, Desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta itu kemudian menceritakan perjalanan masa penjajahan Jepang di Gunung Kidul pada 1940-an. Dia dan anaknya harus bersembunyi di bawah meja dengan ditutup tumpukan sorgum agar tak dibawa tentara Jepang.
"Saat itu, saya sudah pasrah kalau mau dibunuh. Saat itu, saya, anak dan saudara sampai kelaparan ketika bersembunyi," kata Mbah Ponco.
ADVERTISEMENT
Air mata Mbah Ponco berlinang saat menceritakan pahitnya perjuangan hidup pada 1970-an hingga 1980-an saat terjadi paceklik pangan.
Wilayah Ngawen terserang hama tikus sehingga hasil panen mulai dari padi, jagung, ketela hingga kacang tanah dimakan tikus. Akibatnya, kelaparan terjadi di mana-mana termasuk menimpa keluarga Mbah Ponco.
"Saya beli dedak atau bekatul satu kilogram untuk dimasak. Suami dan anak saya langsung diare karena makan bekatul. Zaman dulu sangat sulit, hidup susah," kata lanjutnya.
Mbah Ponco mengaku tidak bisa membaca dan menulis, kecuali menorehkan namanya sendiri lewat aksara. "Saya hanya bisa menulis nama. Dulu, kalau bukan anak lurah tidak ada yang sekolah," katanya.
Meski demikian, dia tak minder beradu akting dengan para pemain lain yang lebih berpengalaman. "Pada film Ziarah itu, nama saya Sri, katanya saya disuruh mencari kuburan seseorang, dan saya beli kembang di pasar, lalu menaburkan di atas makam," ucapnya.
ADVERTISEMENT