Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kisah Melankolis Mahershala Ali, Menemukan Islam dan Menang Oscar
29 Mei 2017 11:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Februari lalu, Mahershala Ali mendapatkan berkah luar biasa. Istrinya melahirkan anak pertama mereka, Bari Najma. Beberapa hari setelahnya, Ali membawa pulang piala Oscar untuk kategori Best Supporting Actor.
ADVERTISEMENT
Dia merupakan aktor muslim pertama yang menang Academy Awards. Anda bisa menyebutnya ‘unik’, apabila tak ingin menuliskan kata ironi.
Ali berperan sebagai pengedar narkoba di film ‘Moonlight’ yang bercerita tentang remaja dengan orientasi seksual sejenis. Aktingnya diakui, dan dia menang Oscar.
“Hal yang aku syukuri tentang kesempatan memerankan Juan, seorang gentleman yang melihat pria muda—yang menutup dirinya karena penyiksaan dari komunitasnya—mengambil kesempatan itu untuk mengangkatnya ke atas, dan berkata kepadanya bahwa dia penting dan diterima. Dan aku berharap kita bisa melakukan hal seperti itu dengan lebih baik,” kata Ali dalam pidatonya di hadapan para pembuat film terbaik dunia dan ratusan juta pasang mata.
ADVERTISEMENT
Masa Muda yang Depresif
Pria asal Oakland, Amerika Serikat, dengan nama lahir Mahershalalhashbaz Gilmore ini mengatakan bahwa dirinya juga berjuang melawan depresi di masa muda. Ali ingat pribadinya yang tertutup.
“Aku menutup diri karena depresi selama bertahun-tahun,” katanya kepada The Hollywood Reporter.
Hatinya terasa hampa ketika sang ayah meninggalkan Ali dan ibunya untuk mengejar karier sebagai penari. Saat itu Ali masih berusia 3 tahun. Dia lahir pada 1974 di lingkungan yang cukup aman dan religius bernama Hayward. Neneknya adalah pendeta baptis, profesi yang juga diturunkan ke ibunya.
Sang ibu kemudian menikah lagi. Tapi keluarga mereka tetap berjuang untuk bertahan hidup dengan gaji ayah tirinya yang pas-pasan, dan ibunya bekerja paruh waktu sebagai penata rambut.
ADVERTISEMENT
“Sama seperti banyak keluarga lainnya, kami menghadapi keterbatasan. Kami sama sekali tak miskin, tetapi mendapatkan masa penuh tantangan secara finansial,” katanya.
Pemeran Remy Danton di serial Netflix berjudul ‘House of Cards’ ini bersyukur dengan kedisiplinan yang diterapkan orangtuanya, meskipun tensi panas kerap terasa antara Ali—yang saat itu berumur 10 tahun—dengan ayah tirinya.
“Ibuku dan ayah tiriku sangat disiplin. Aku tak bisa kencan, aku tak boleh keluar. Dan aku adalah tipe anak yang tak bisa hanya menerima kata tidak sebagai jawaban. Aku harus mendapat penjelasan mengapa, dan terkadang mereka tak tertarik memberi penjelasan.”
Semakin usianya bertambah, Ali mulai memahami efek dari kemiskinan dan perbedaan ras di kalangan masyarakat. Ia menyaksikan sepupunya dipenjara karena perampokan bersenjata dan penjualan obat-obatan terlarang. Teman dari ibunya adalah bandar narkoba, dan Ali merasakan bahwa barang haram itu bisa menghancurkan hidup seseorang semudah menjentikkan jari.
ADVERTISEMENT
Ali juga mengingat betapa epidemi AIDS begitu mengguncang jiwanya. Banyak teman ayahnya dari teater musikal yang mengidap penyakit mematikan tersebut.
“Aku melihat banyak pria yang meninggal karena AIDS, orang-orang yang dekat denganku,” katanya.
“Aku melihat lebih banyak orang meninggal karena itu daripada kekerasan dengan senjata. Setiap tahun, ada teman ayahku yang berumur 28 atau 29 yang meninggal.”
Pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam. Seperti ada lubang besar di hatinya. Ali mengalami insomnia dan mulai jarang tidur. Dia butuh pelarian.
Ketika Ali menemukan ketertarikan di bidang seni, hubungannya bersama orangtuanya semakin memburuk. “Di masa tertentu, ibuku seperti tak mengenalku lagi. Selama beberapa tahun kami tak berbicara satu sama lain.”
ADVERTISEMENT
Ali tinggal bersama nenek dan kakeknya di usia 18 tahun. “Bukan karena orangtuaku tak percaya kepadaku, mereka hanya tak mengerti,” ucapnya sambil menambahkan, “Semua dimulai dengan berusaha untuk menerima pendapat orang lain dan koeksistensi.”
Dari Olahraga ke Akting
Kecintaan Ali pada dunia olahraga, mengantarkannya pada akting. Dia memenangkan beasiswa melalui basket di Saint Mary’s College pada 1992. Saat itu dia bertemu profesornya, Rebeca Engle, yang meminta Ali untuk mengikuti audisi ‘Othello’, pertunjukan teater dari kisah tragis karya William Shakespeare.
Ali berhasil mendapatkan peran Spunk. Pertunjukan ‘Othello’ sudah sering dia nikmati sejak kecil bersama sang ayah. Setiap malam, cerita yang indah sekaligus tragis itu mendapat tepuk tangan meriah.
“Itulah yang jadi pemicu untukku: ketika aku merasa hanya itu yang bisa aku lakukan,” lanjutnya kepada THR.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah Ali menemukan tujuan dalam hidup, ayahnya meninggal dunia karena sakit. “Dia tak sehat sebelum meninggal… ketika dia sakit, aku sedang pertunjukan,” katanya seperti dilansir Vanity Fair.
Ali menyesalkan fakta bahawa ayahnya tak pernah melihat dia di atas panggung. “Akhirnya aku merasa memiliki sesuatu yang membuatku sangat terhubung dengannya, di mana ada rasa bangga, dan dia tak pernah sekali pun melihatku akting.”
Di momen itu, Ali juga mulai mengeksplorasi sisi spiritualnya. Menyadari identitas kepercayaannya merupakan warisan dari ibunya, Ali mulai untuk mempelajari sudut pandang lain.
Menemukan Cinta dan Keyakinan
Ketika Ali bertemu Amatus-Sami Karim saat kuliah, mereka berdua sedang mengalami masa penting bagi sisi spiritual masing-masing. Sami-Karim sedang mempertanyakan kepercayaannya pada Islam, sementara Ali sedang membuka diri untuk mempelajari itu.
ADVERTISEMENT
Pertama kali Ali mengunjungi masjid bersama Sami-Karim dan ibunya, Ali meneteskan air mata mendengarkan ayat-ayat suci dibacakan—meski dia tak mengerti bahasa Arab. Seminggu kemudian, dia kembali lagi ke masjid tersebut dan merasakan ikatan yang semakin kuat. Ada perasaan dan energi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Aku merasa berada di tempat yang tepat.” Di hari yang sama, Ali menjadi mualaf.
Dalam pidatonya di Screen Actors Guild Awards, Ali mengingat betapa sulit dia mengungkapkan hal itu kepada ibunya. Bahkan, butuh waktu 10 sampai 12 tahun hingga akhirnya Ali bicara ke ibunya bahwa dia kini seorang muslim. Masa rekonsiliasi Ali dan ibunya dijalani dengan perasaan saling mengerti, cinta, dan rasa menerima.
ADVERTISEMENT
Di acara penghargaan film lain, Ali kembali berbicara tentang ‘cinta yang menyatukan’. Ini ada kaitannya dengan peran Juan yang berbuah Oscar. Sambil memegang pialanya dan dengan bulir air mata tergenang di pelupuk mata, dia berkata:
“Ibuku adalah pendeta, dan aku muslim. Dia tidak menolakku ketika aku meneleponnya untuk mengatakan kepadanya bahwa aku pindah keyakinan 17 tahun lalu. Tapi aku katakan kepadamu sekarang, kamu kesampingkan masalah. Dan aku bisa bertemu dia, dan dia bisa bertemu denganku. Kami saling mencintai dan cinta itu terus tumbuh. Dan hal itu adalah minutia. Itu (perbedaan) tidak terlalu penting.”