Childfree, Bukan Tentang Benar atau Salah

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2023 20:59 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pasangan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasangan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejenak menyinggung soal childfree yang sempat menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Terlebih setelah dikatakan sebagai salah satu cara alami untuk awet muda.
ADVERTISEMENT
Statement yang beredar bahwa dengan tidak memiliki anak maka perempuan akan cenderung lebih awet muda, karena waktu tidur dan kebebasannya tidak akan terusik oleh tangisan bayi. Ditambah pengeluaran yang digunakan untuk membeli keperluan anak, dapat digunakan untuk perawatan diri hingga botox.
Sontak hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Bahkan selama berhari-hari seorang influencer yang menyatakan statement tersebut menjadi buah bibir hangat di masyarakat.
Menoleh pada eksistensi childfree yang sebenarnya bukan hal baru di masyarakat. Istilah ini dikenal sebagai pilihan dalam suatu hubungan untuk tidak memiliki anak. Istilah ini sudah lahir sejak tahun 1970-an dan akhirnya melejit pada tahun 2000-an.
Konsep menikah tanpa memiliki anak semakin dikenal luas oleh masyarakat setelah seorang influencer memproklamasikan keputusannya untuk tidak memiliki anak lewat media sosial pribadinya.
ADVERTISEMENT
Perihal childfree juga pernah dibahas seorang penulis perempuan bernama Victoria Tunggono dalam bukunya berjudul Childfree and Happy. Dalam bukunya tersebut Victoria Tunggono menggambarkan seorang perempuan dengan pilihan hidup untuk tidak menikah dan memiliki anak. Baginya diri sendiri sudah cukup tanpa ada tambahan makhluk bernama suami dan anak.
Fenomena childfree rupanya memberikan dampak yang signifikan pada angka kelahiran di Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh World Bank Tren mencatat bahwa adanya penurunan angka kelahiran di Indonesia, terutama pada tahun 2019 yang tercatat angka kelahiran kasar setiap 1.000 penduduk di Indonesia menginjak angka 17,75.
Data tersebut merupakan hasil sensus penduduk yang diselenggarakan oleh BPS di mana disimpulkan terjadi penurunan jumlah pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2010-2020 tercatat pada angka 1,25 persen sedangkan pada tahun sebelumnya yaitu 2000-2010 berada di angka 1,49 persen. Fenomena childfree ini didukung oleh faktor psikologi, ekonomi, dan sosial.
ADVERTISEMENT
Lahir dan berkembangnya fenomena childfree di masyarakat bukan tanpa pro dan kontra. Terlebih adanya faktor budaya patriarki, stigma, hingga pikiran konservatif masyarakat yang mendorong mereka untuk menyuarakan penolakan soal childfree tersebut.
Namun, tidak sedikit pula masyarakat yang mendukung pilihan childfree dengan berbagai faktor yang melandasinya. Sementara masyarakat yang kontra menganggap bahwa pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, maka akan kehilangan esensi dalam rumah tangganya.
Hal ini dikarenakan tujuan menikah adalah untuk menciptakan generasi penerus. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa tidak memiliki anak maka akan kesepian ketika masa tua. Padahal memiliki anak bukan untuk investasi hari tua.
Bagi masyarakat Indonesia, childfree merupakan pilihan yang salah karena melanggar agama dan budaya dari pernikahan itu sendiri. Sedangkan masyarakat yang pro akan pernikahan tanpa memiliki anak, menganggap bahwa memiliki anak perlu kematangan mental, finansial, waktu, tenaga, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Itu membuat mereka berpikir jika pasangan yang belum siap dalam mengelola atau menjamin perihal keempat hal tersebut ketika memiliki anak, maka tidak buruk untuk memilih childfree daripada menjadi orang tua yang gagal.

Childfree dari Sudut Pandang Feminisme dan Psikologi

Ilustrasi pasangan. Foto: Shutterstock
Sepertinya tidak asyik jika tidak menelusuri perihal childfree dengan beberapa sudut pandang. Pertama childfree berdasarkan sudut pandang feminisme yang berkaitan dengan kekuasaan tubuh perempuan dan budaya patriarki.
Hidup di tengah budaya patriarki, di mana tubuh perempuan seolah dikendalikan oleh masyarakat. Perempuan dikatakan belum sempurna jika belum memiliki anak, perempuan dituntut harus memiliki anak, kuasa tubuh perempuan cenderung dikendalikan oleh suami atau orang tua.
Dengan adanya childfree, feminisme memandang hal tersebut adalah normal saja. Pilihan perempuan atas tubuhnya untuk tidak melahirkan sepertinya bukan hal tabu dan perlu ditentang. Sebab, perempuan juga memiliki kekuasaan atas tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Namun, hal ini kembali lagi pada pilihan setiap individu dan pasangan. Pilihan perempuan untuk mempertahankan kuasa atau tubuhnya sendiri bukanlah suatu hal yang harus dipandang dengan pertimbangan benar atau salah.
Sedangkan childfree menurut sudut pandang psikologi dapat dilihat berdasarkan faktor kebahagiaan yang dikemukakan oleh Garvin Goei dalam bukunya berjudul Psikologi Positif. Faktor kebahagiaan yang dicetuskan oleh Garvin Goei, di antaranya adalah emosi positif, menikmati aktivitas, relasi yang bermakna, kebermaknaan hidup, kemajuan dalam hidup. B
erdasarkan sudut pandang psikologi, pasangan yang memiliki anak akan cenderung lebih bahagia tetapi juga memiliki intensitas stress yang lebih tinggi pula. Namun, seseorang yang memilih childfree akan memiliki tingkat kebahagiaan yang tidak terlalu tinggi tetapi stabil.
ADVERTISEMENT

Kenapa Perlu Childfree?

Ilustrasi pasangan staycation. Foto: Shutterstock
Apakah seseorang perlu childfree? Apakah childfree benar-benar baik? Apakah aman untuk memilih childfree? Sebenarnya jawaban dari pertanyaan tersebut tergantung pada setiap individu dan pasangannya masing-masing. Memiliki anak atau tidak memiliki anak bukan perihal benar atau salah, tetapi perihal kematangan dan kesiapan setiap pasangan.
Childfree bisa menjadi hal paling rasional jika ditinjau dengan perspektif luas. Perihal tidak memiliki anak memang tidak bisa hanya disimpulkan berdasarkan sudut pandang feminisme atau psikologi, tetapi berdasarkan segala aspek yang mengelilinginya. Mungkin saja childfree dapat menjadi hal paling rasional bahkan tanpa sudut pandang feminisme atau psikologi.
Memiliki anak berarti seseorang telah membuat kontrak seumur hidup atas tuntutan tanggung jawab yang perlu diemban, baik secara finansial, psikologi, biologis, dan hal lain yang ternyata lebih kompleks seiring bertambahnya usia anak. Dalam menghadapi hal ini, setiap pasangan harus berada pada tingkat kesiapan mental, finansial, waktu, dan tenaga yang matang.
ADVERTISEMENT
Jika setiap pasangan masih belum mampu mengelola keempat hal tersebut, maka akan memberikan dampak yang signifikan pada tumbuh kembang anak. Sederhananya, jika seorang ayah yang harus bekerja tetapi tidak dapat mengelola waktunya untuk dibagi kepada anak, maka anak akan merasa kehilangan figur ayah dalam pertumbuhannya.
Pikiran konservatif yang menganggap bahwa anak adalah aset dan investasi kehidupan. Mungkin sering muncul pertanyaan seperti: Apa sebenarnya tujuan memiliki anak? Jawabannya mungkin tidak jauh dari, dorongan budaya, agama, pikiran konservatif, bahkan terlintas jawaban agar ada yang menemani dan merawat di masa tua.
Kenapa kita harus menjadikan anak sebagai investasi hari tua? Kenapa menjadikan anak aset pribadi? Pikiran seperti ini agaknya perlu ditata kembali, agar alasan memiliki anak tidak memiliki kesan hanya mengaminkan pikiran konservatif saja.
ADVERTISEMENT
Childfree bukan suatu kesalahan. Menurut saya, pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak sudah pasti telah melewati pertarungan hebat dengan dirinya sendiri. Terkadang bukan hanya soal kuasa tubuh atau definisi bahagia, tetapi perihal kesiapan yang masih minim untuk menjadi orang tua, serta kekhawatiran dalam mengemban tanggung jawab.
Mereka yang belum pandai mengelola mentalnya, rasanya terlalu kejam jika harus abai pada mental anak pula. Karena faktanya perihal mental sering diabaikan oleh para orang tua. Beberapa pasangan yang memilih childfree beranggapan bahwa, bukankah lebih baik tidak memiliki anak daripada harus gagal menjadi orang tua dan akhirnya mengorbankan anak?
Lagi dan lagi childfree itu tentang pilihan setiap pasangan. Bukan soal benar atau salah, tetapi tentang kesiapan dan kematangan pribadi.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bukanlah tulisan yang bertujuan untuk membujuk pembaca agar memilih childfree, tetapi soal pemahaman bahwa childfree dipilih berdasarkan faktor-faktor yang sangat kompleks. Hal ini agar tidak ada lagi masyarakat yang memandang sebelah mata pasangan yang memilih memiliki anak ataupun tidak.