Pertentangan Diametral Memahami Terorisme Perempuan

Agaton Kenshanahan
Jurnalis Liputan Khusus kumparan
Konten dari Pengguna
8 April 2021 15:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agaton Kenshanahan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3). Foto: Willy Kurniawan/REUTERS
ADVERTISEMENT
Dua aksi terorisme yang terjadi belakangan ini patut mendapat perhatian khusus. Pasalnya aksi yang dilakukan masing-masing di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri itu punya benang merah yang bisa menjadi sumbangsih pembelajaran terhadap penanggulangan terorisme di masa depan.
ADVERTISEMENT
Benang merah itu ialah ada pelaku perempuan yang sama-sama punya militansi menggelar aksi teror. Hal ini menjadi anomali lantaran stereotip aksi kekerasan, khususnya terorisme, biasa dieksekusi oleh laki-laki.
Keterlibatan perempuan dalam terorisme memang bukanlah hal baru bagi gerakan teror di mancanegara maupun di Indonesia. Di kedua ranah itu, perempuan tak hanya berlaku pasif sebagai penyokong aksi terorisme, akan tetapi juga turut menjadi aktor teror itu sendiri.
Di kancah internasional, Sajida al-Rishawi pernah melakukan bom bunuh diri bersama sang suami yang menewaskan sedikitnya 57 orang di Amman, Yordania, tahun 2005. Namun, Rishawi berhasil ditangkap lantaran bomnya yang disematkan di rompi tak meledak.
Rishawi dijatuhi hukuman mati. Ia dieksekusi tahun 2015 setelah Yordania bernegosiasi alot dengan ISIS tentang pertukaran tawanan. ISIS meminta Rishawi ditukar dengan tawanan pilot Jordania, Lt. Moaz Al-Kasasbeh, yang pesawatnya tertembak jatuh di Suriah ketika menyerang ISIS bersama koalisi Amerika.
ADVERTISEMENT
Negosiasi tersebut kandas. Kasasbeh dieksekusi, Rishawi menyertai. ISIS pun kehilangan sosok yang dijulukinya sebagai 'saudari yang dipenjara'. Julukan ini disebut oleh jurnalis Jepang, Kenji Goto, yang juga dieksekusi setelah menjadi tawanan ISIS.
Di Indonesia, terorisme perempuan pernah muncul sejak Dian Yulia 'Novi' Novita berencana mengebom Istana Kepresidenan pada 2016 lalu. Rencana itu sama gagalnya dengan Rishawi.
Lanjut pada tahun 2018, Puji Kuswati dan Tri Ernawati juga menggelar aksi teror di Surabaya bersama keluarganya. Masing-masing menyasar target 3 gereja dan Polres Surabaya.
2 terduga pelaku bom katedral makassar. Dok. Istimewa
Teranyar, pelaku perempuan dalam terorisme terjadi lagi kala Yogi Sahafitri Fortuna (Dewi) mengebom Gereja Katedral Makassar. Dua hari berselang, Zakiah Aini menyerang Mabes Polri di Jakarta dengan membawa pistol berjenis air gun lalu ditembak mati.
ADVERTISEMENT
Apa perspektif yang bisa digali dari fenomena ini?
Setidaknya ada 2 perspektif menarik yang bakal timbul dari keterlibatan perempuan dalam terorisme. Dua perspektif ini acapkali menjadi perdebatan dalam penanganan terorisme perempuan.

Perspektif Perempuan sebagai Korban

Pertama, perspektif populer yang melihat keterlibatan aktor perempuan dalam teror terjadi lantaran perempuan sedang mengikuti amaliyah suami. Di sini, perempuan ditempatkan dalam posisi yang tidak independen dalam bersikap.
Melihat posisi tersebut, perempuan yang terlibat aksi teror kerap dianggap sebagai korban indoktrinasi sang suami. Sang suamilah yang sebenarnya aktif memiliki ideologi terorisme dan menularkannya ke perempuan yang merupakan istrinya sendiri.
Perspektif tersebut menimbulkan dampak signifikan pada pembacaan negara dan stakeholder penanggulangan terorisme. Mulai dari tingkat kewaspadaan aparat keamanan hingga cara penanganan teror.
ADVERTISEMENT
Pembacaan negara terhadap aktor perempuan akan dianggap anomali. Sebab, negara acapkali menganggap bahwa pelaku teror ialah laki-laki semata. Akibatnya, dalam situasi taktis di lapangan, aparat keamanan bisa jadi lengah karena perempuan terkena stigma 'bukan pelaku teror' karena kerap dianggap jauh dari anasir-anasir kekerasan.
Contoh nyata dan aktual soal ini adalah kasus Penyerangan Mabes Polri. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana Zakiah bisa lolos masuk ke markas kepolisian pusat itu sambil menenteng senjata. Polisi pun menjawab sesuai dengan perspektif populer ini.
Anggapan bahwa perempuan jauh dari anasir kekerasan apalagi teror ini justru dapat dimanfaatkan jaringan teror untuk memuluskan aksinya. Ketika persepsi ancaman negara atas teror hanya difokuskan kepada laki-laki, aktor perempuan dalam teror jadi terabaikan.
ADVERTISEMENT
Jaringan teror akhirnya memanfaatkan celah tersebut dengan memberdayakan pelaku perempuan. Tak hanya itu, pelaku terorisme perempuan macam Zakiah Aini bahkan melakukan aksinya sendiri. Meskipun aksinya dibilang amatir oleh BIN, nyatanya ia bisa masuk Mabes Polri tanpa dicurigai.
Selain soal persepsi ancaman di lapangan, penanganan terorisme dengan perspektif perempuan sebagai korban juga tak bisa menyasar kelompok teror yang lebih luas. Upaya deradikalisasi terhadap sosok macam Zakiah Aini jadi luput dari perhatian.
Siapa Zakiah Aini tidak ada yang tahu sebelumnya. Rekam jejaknya sebagai pelaku atau pihak yang berkaitan dengan para pelaku teror juga nihil. Sejauh ini, ia hanya diketahui sebagai simpatisan JAD semata.
Lantas, apa yang bisa ditunjuk ketika sosok yang disebut 'lonewolf' teroris macam Zakiah Aini melakukan aksi teror? Ujung-ujungnya adalah media sosial. Inilah yang sempat dikait-kaitkan oleh BIN soal pendorong aksi teror eks mahasiswa Gunadarma itu.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi memang benih teror itu tersemai dalam jagat media sosial. Namun, menuding hal tersebut menjadi penyebab utama aksi terorisme juga tak semestinya dilakukan.
Yang patut menjadi refleksi justru adalah upaya deradikalisasi yang luput menyasar Zakiah Aini. Padahal, sang penjual pistol ke Zakiah yang merupakan laki-laki itu kerap mengikuti program deradikalisasi BNPT. Namun, kenapa Zakiah justru tak ikut program tersebut?
ADVERTISEMENT
Mungkin jawabannya karena negara selama ini membaca perspektif teror hanya dilakukan laki-laki semata. Jika teror dilakukan oleh perempuan, maka ia adalah korban dari indoktrinasi laki-laki. Inilah kelemahan perspektif ini.

Perspektif Perempuan sebagai Pelaku Aktif

Perspektif kedua ini bertolak belakang dengan yang pertama. Kini, pelaku teror perempuan dianggap aktif melakukan teror karena keinginannya sendiri. Ia tak hanya sebagai penyokong suami melakukan amaliyah, tapi juga berperan aktif dalam perencanaan dan eksekusi.
Kasus seperti Rishawi, Novi, Puji dan Tri, hingga Zakiah Aini menunjukkan bahwa perempuan memiliki sikap independen atas aksi teror. Sebagian di antaranya memang beraksi bersama keluarga, tetapi sikap pribadi tidak absen dalam laku nekat itu.
Perspektif ini bakal menaruh status perempuan setara dengan laki-laki dalam aksi-aksi teror. Kecurigaan atas laki-laki yang berpotensi melakukan teror juga disematkan kepada perempuan yang memiliki potensi serupa.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi taktis di lapangan, hal ini dapat mencegah teror yang luput dilihat oleh perspektif pertama. Perempuan kini bisa jadi target kecurigaan polisi apabila ada gerak-gerik yang tidak biasa dan menjurus pada aksi teror.
Meski demikian, persepsi ancaman terorisme yang disematkan pada aktor-aktor perempuan harus dieksekusi dengan penuh kehati-hatian. Ia memang dapat meningkatkan kewaspadaan, akan tetapi di sisi lain ia juga berpotensi menyebabkan tindakan abusive.
Misalnya, penanganan terorisme aktor perempuan juga mestilah melibatkan aparat-aparat perempuan. Ini untuk menghindari perilaku abusive secara fisik yang berpotensi terjadi, khususnya sexual abuse.
Selain itu, persepsi ancaman terorisme aktor perempuan yang salah juga dapat menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Misalnya, mengait-ngaitkan atau mengasosiasikan pelaku teror dengan busana yang dipakai seperti hijab, cadar, hingga gamis.
ADVERTISEMENT
Persepsi ancaman dengan asosiasi tersebut jelas keliru dan harus diperbaiki. Namun apa lacur. Di masyarakat, penggunaan cadar sudah kepalang dianggap tabu karena punya label 'budaya Arab'. Makin tabu lagi bila ada penyematan label 'pakaian teroris' dan sebagainya.
Asosiasi tersebut berpotensi menjadi abusive secara mental, bukan hanya terhadap pelaku teror, tapi juga masyarakat pengguna cadar/hijab/gamis yang tidak bersalah sama sekali.
Sebagian pihak lalu memilih menyarankan larangan penggunaan cadar atau memoderasi upaya beragama dengan busana yang biasa saja atau sesuai dengan budaya-budaya lokal. Namun, ini adalah upaya Jaka Sembung bawa golok. Ia tidak menyentuh akar masalah penyebab terorisme, tapi justru berpotensi memberangus hak beragama individu.

Jalan Tengah

Dua perspektif di atas memberikan kacamata memahami terorisme oleh aktor perempuan yang berbeda. Masing-masing memiliki potensi upaya pemahaman yang lebih baik atas permasalahan terorisme perempuan.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, bukan berarti perspektif keduanya sempurna. Ada celah-celah kekurangan yang saling dimiliki satu sama lain.
Harapannya, para stakeholder penanggulangan terorisme di Indonesia dapat mencari sintesis dari dua perspektif yang saling berhadapan secara diametral tersebut.
Dengan begitu, penanganan terorisme perempuan menjadi lebih komprehensif, menyentuh akar masalah, sekaligus tak menimbulkan stigma-stigma yang tidak perlu.