Kisah Tukang Sapu: Biasa Menjadi Luar Biasa

Agnes Christia
Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara
Konten dari Pengguna
23 November 2022 8:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agnes Christia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ini dipotret langsung oleh penulis pada 2022 di Yogyakarta.
zoom-in-whitePerbesar
Foto ini dipotret langsung oleh penulis pada 2022 di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Peluh menetes dari tubuh pria bangsai (kurus) yang sedang membersihkan sampah dedaunan dari guguran pohon besar di sekitar gereja. Guyuran hujan dan terik matahari tidak membuatnya patah arang untuk mengais rezeki. Memakai alas kaki yang sudah menipis dan hampir putus, ia menyusuri tiap sudut gereja untuk dibersihkan dengan membawa sapu lidi bertongkat di tangan kanannya dan pengki di tangan kirinya.
ADVERTISEMENT
Setelah selesai menyapu bagian luar gereja, bangku-bangku panjang di dalam gereja digulingkannya agar lantai dapat dibersihkan. Setelah itu, bangku-bangku tersebut dikembalikan pada posisi semula dan dilap satu per satu menggunakan kain setengah basah. Lalu, dimasukkannya kain itu ke dalam ember hitam setelah selesai mengelap bangku-bangku gereja yang banyak jumlahnya. Pria tangguh itu sangat tulus dalam melakukan pekerjaannya. Ia tidak peduli dibayar atau tidak, dirinya akan tetap bekerja setiap hari dengan hati yang gembira.
Sulaiman nama pria itu. Pria yang dahulu berprofesi sebagai tukang sapu rumah ibadah selama puluhan tahun itu memiliki kisah hidup yang menarik. Sulaiman adalah sosok pria yang sangat mengayomi keluarganya. Pria bertubuh kecil itu tinggal di rumah geribik bersama istrinya yang berprofesi sebagai tukang cuci dan enam orang anak-anaknya yang pandai. Sulaiman selalu menyempatkan diri untuk berkumpul bersama keluarganya. Makan bersama dengan berlapikkan (beralaskan) anyaman daun mendong (tikar) di atas lantai tak berubin.
ADVERTISEMENT
Hidup dalam keadaan yang serba kekurangan membuat Sulaiman dan keluarganya sering mendapat hinaan bahkan fitnah. “Tetangga-tetangga sering bilang, orang seperti saya dan keluarga mana mungkin bisa hidup enak,” ujar pria kelahiran 1936 itu sembari mengingat hinaan yang dilontarkan kepadanya. Namun, keluarga Sulaiman tetap utuh dan bersatu di tengah hinaan dan fitnah yang mereka terima bertubi-tubi. Hinaan dari para tetangganya menjadi pengalaman hidup yang begitu berarti bagi Sulaiman dan keluarganya.
Seiring berjalannya waktu, enam orang anaknya berhasil meraih gelar sarjana. Salah satu anaknya berhasil meraih gelar pascasarjana di Negeri Sakura (Jepang) dengan biaya dari pemerintah dan sekarang berprofesi sebagai dokter TNI, dosen, dan kontraktor.
Bertahun-tahun Sulaiman dan istrinya ke sana kemari membanting tulang. Mereka bersedia dengan ikhlas hati melawan rasa lelah, lapar, dan sakit. Kebesaran hati dan usaha keras Sulaiman dan keluarganya menghantarkan mereka pada kehidupan yang gemilang. Mereka berhasil membungkam mulut-mulut yang menghina mereka. Namun, Sulaiman patut diacungi jempol karena ia memilih untuk tetap bekerja walaupun hidupnya sudah berubah menjadi jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sulaiman memilih untuk bekerja sebagai tukang cukur rambut keliling dengan ditemani tas coklat usang berisi alat-alat pencukur rambut di pundaknya. Semangat tak pernah padam dalam diri pria yang jalannya sudah agak limbung dan kulitnya mulai keriput itu. Sulaiman dan keluarganya tetap rendah hati bahkan kepada orang-orang yang telah menghina mereka.