Mitos Bougainville: Kembang Satrio Wirang Ditebang, Jodoh pun Datang

Agus Sarkoro
Auditor KAP, Ketua DeWas Yayasan Al-Ikhlas Tarakan
Konten dari Pengguna
16 September 2021 19:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sarkoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bunga Bougainville (Sumber: endro lewa dari Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Bunga Bougainville (Sumber: endro lewa dari Pixabay)
ADVERTISEMENT
Bunga Bougainville adalah salah satu bunga yang berasal dari Amerika Selatan yang sangat mudah tumbuh, dengan aneka warna yang menawan. Mungkin karena itulah, tumbuhan ini banyak ditanam di beberapa ruas jalan dan jembatan terutama di sebagian besar kota di negara-negara yang beriklim tropis.
ADVERTISEMENT
Jika Anda memiliki kesempatan mengunjungi beberapa resort dan vila di Bali, Anda akan mendapat banyak tambahan pengetahuan tentang tanaman tropis eksotis berduri ini. Bentuknya yang indah, corak bunganya dapat muncul dalam warna merah, pink, oranye, putih, biru, ungu dan kuning menjadikan bougenville sebagal focal point dan penyeimbang kekerasan suatu tebing maupun hardscope.
Juga menjadi komposisi yang indah di antara tanaman lainnya. Bunganya yang cerah memberikan kesan kontras dengan alam dengan pancaran sinar matahari yang terik. Beberapa pendapat tentang warna ungu dan merah bunga Bougainville, salah satu sumber mengungkapkan bahwa menanam Bougainville berbunga ungu dan merah dapat menarik kekayaan--ungu dan merah mewakili kemakmuran dan sebagai warna yang penting dalam Feng Shui.
ADVERTISEMENT
Bougainville ini, pada masyarakat Jawa dikenal dengan nama "Kembang Satrio Wirang". Kembang yang bermakna ksatria yang membuat malu atau dipermalukan. Berbeda dengan Feng Shui china, oleh masyarakat Jawa, bougainville ini dianggap sebagai bunga yang tidak pantas ditanam di depan rumah.
Ada beberapa jenis bunga yang memiliki mitos pada masyarakat Jawa, seperti Kembang Wijaya Kusuma, Kembang Melati, dan Kembang Satrio Wirang ini.
Mitos kembang satrio wirang jika ditanam di halaman depan rumah, maka pemilik rumah itu akan mendapat malu, atau musibah yang memalukan. Beberapa cerita dari mulut ke mulut tanpa referensi literatur, diungkapkan bahwa dalam kepercayaan tertentu, bunga ini memberikan pengaruh negatif bagi penghuni rumah, di mana penghuni laki-laki, baik itu anak laki-laki atau suami tidak betah tinggal dirumah, dan anak perempuan yang sulit mendapat jodoh.
ADVERTISEMENT
***
Dulu, saya punya teman, Putri namanya, pernah bercerita tentang nasibnya dan ketiga saudaranya yang dulu sempat sulit mendapatkan jodoh. Dari 4 bersaudara, hanya anak nomor satu yang sudah berumah tangga di umur 25 tahun. Ketiga saudara lainnya belum mendapat jodoh meskipun usia sudah lebih dari 40 tahun.
Ketika orang tuanya masih ada, mereka semua tinggal di rumah kakeknya, orang tua dari Ibu Si Putri. Saking lamanya mereka tinggal di rumah kakeknya, menimbulkan rasa iri dari saudara-saudara yang lain yang merasa berhak juga untuk tinggal di rumah warisan itu orang tuanya. Terbawa rasa iri, ada salah satu dari saudara Ibu Putri menanam kembang satrio wirang, tepat di pintu gerbang masuk halaman rumah.
ADVERTISEMENT
Putri dan keluarganya tidak menyadari, atau tepatnya tidak mempercayai mitos itu. Tetapi, entah kebetulan atau bagaimana, selama tinggal di rumah itu, selalu didera masalah, dan sangat sulit menemukan jodoh. Beberapa kali rencana pernikahan selalu batal. Baru setelah mereka pindah dari rumah itu, mereka mendapatkan jodohnya masing-masing.
***
Mendengar cerita itu, saya langsung teringat bougenville di halaman rumah. Dua pohon bougenville berwarna merah dan putih saya tanam dengan posisi berhadapan. Dari kedua pokok bunga saya rangkai kawat melengkung, untuk menghubungkan batang dan ranting bunga satu ke bunga yang satunya. Bunga merah di sisi kanan, dan putih di sisi kiri, menyatu di tengah.
Kebetulan, hampir mirip dengan cerita keadaan keluarga Putri, saya juga tinggal bersama istri, mertua dan tiga adik perempuan istri saya. Ketiga adik perempuan saya belum mendapatkan jodohnya meskipun umur sudah cukup dewasa.
ADVERTISEMENT
Saya langsung menelepon istri saya, menyuruhnya untuk segera memotong bunga bougainville itu. Tentu saja reaksi pertama istri saya, protes. Karena dia begitu menyukai bunga itu. Ibu mertua dan istri lah yang dengan tekun merawat bunga itu. Jadi sangat wajar jika dia sangat keberatan untuk memotongnya.
Setelah saya ceritakan ulang cerita dari Putri, istri saya mulai berpikir. Selama ini dia sangat prihatin dengan tiga adik-adiknya yang belum juga mendapat jodoh. Dengan hati-hati, disampaikanlah maksud saya untuk memotong bunga kesayangannya itu kepada Ibunya. Seketika Ibu mertua saya marah besar, menganggap saya melakukan perbuatan syirik.
“Jodoh, rejeki, umur itu urusan Allah, nggak ada hubungannya dengan bunga”, begitu ucap Ibu mertua saya dengan penuh emosi. Beliau dengan tegas menolak rencana saya. Akhirnya saya mengurungkan niat saya untuk memotong bunga itu. Nggak mungkin kami menentang orang tua hanya untuk urusan bunga, sementara kami masih tinggal di rumahnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi, cerita Yani itu membuat saya terganggu. Rasa penasaran untuk membuang bunga itu masih saja ingin saya lakukan. Hingga suatu saat, ketika Ibu mertua naik haji, bunga itu saya potong habis. Betapa kagetnya beliau ketika pulang dari tanah suci, tidak melihat bunga kesayangannya melambai-lambai menyambut kedatangannya.
Ibu mertua saya tidak bertanya mengapa bunga itu dipotong. Tidak tampak kecewa atau sedih. Tetapi, beberapa hari setelah itu, beliau menanam kembali bunga bougainville itu. Ia mengambil batang pohon yang masih tergeletak, dan menanamnya kembali.
Kembang satrio wirang ini mudah sekali tumbuh. Jadi, hanya dalam hitungan hari sejak batangnya ditanam, sudah tumbuh daun-daun baru. Dan hanya dalam beberapa bulan, bunga itu sudah kembali berbunga.
ADVERTISEMENT
Tetapi, tekad saya sudah bulat. Dalam hati saya berkeyakinan, toh ini untuk kebaikan keluarga, tak apalah sedikit menentang orang tua. Saya beli minyak tanah, lalu saya siramkan ke pangkal pohon bunga itu.
Sehari kemudian, bunga itu mulai layu, dan akhirnya mati. Ibu mertua saya diam saja, dan tidak lagi berusaha menanam kembali pohon itu. Mungkin beliau males kalau harus ribut sama menantunya. Enggak pantas lah, sudah haji kok marah-marah.
Beberapa bulan setelah halaman rumah bersih dari kembang satrio wirang ini, adik-adik saya berurutan menikah. Bahkan jarak waktu menikah adik yang pertama dan kedua hanya berselang beberapa bulan. Sedangkan adik bungsu, menikah setahun kemudian.

Terlepas dari benar atau tidaknya mitos kembang satrio wirang itu, percaya atau tidak pada cerita itu, saya hanya berusaha melakukan kebaikan kepada keluarga istri saya. Karena prinsip saya,

ADVERTISEMENT