Konten dari Pengguna

Orang Desa dan Akses Internet untuk Mengemis Online

Ahsani Taqwim A
Pembelajar Media dan Komunikasi, Universitas Pakuan Bogor
24 Januari 2023 8:36 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahsani Taqwim A tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pengemis. foto: pexels.com/ MART PRODUCTION
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pengemis. foto: pexels.com/ MART PRODUCTION
ADVERTISEMENT
Saya sempat membaca sebuah kutipan, “Begging is as old as man”.
ADVERTISEMENT
Di setiap suku, daerah, atau masyarakat selalu ada orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya karena berbagai sebab, tidak hanya karena kemiskinan tapi karena banyak faktor. Bahkan kerap terjadi karena naluriah manusianya saja, yang tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat ini.
Pada beberapa kasus, orang-orang yang mengemis adalah orang sekitar yang kita kenal. Namun banyak kasus, pengemis adalah orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk meminta uang dan bentuk bantuan lainnya kepada orang lain.
Sedang ramai diperbincangkan tentang fenomena baru di media sosial. Tentang nenek yang melakukan siaran langsung di media sosial TikTok sambil mengguyur air ke badannya yang sudah kedinginan karena telah melakukan hal tersebut dalam waktu yang tidak singkat–bahkan bisa berjam-jam. Tentu kegiatan bukan tanpa tujuan, uang adalah faktor utamanya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Bahkan fenomena mandi lumpur telah lama digandrungi pengguna Tiktok, namun ini lebih meledak dan mengundang banyak perhatian warga di internet.
Tangkapan layar pengguna nenek sedang live tiktok. Foto: TikTok/intan_komalasari92
Tepatnya seorang nenek berusia 55 tahun, warga Desa Setanggor, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) sedang ramai menjadi perbincangan di media sosial, bahkan diundang menjadi bintang tamu pada salah satu program di TV Nasional.
Hal ini menarik bagi saya, bukan saja karena ini dilakukan melalui media baru, namun juga karena melibatkan warga desa yang sempat saya puji di opini sebelumnya. Berikut uraian saya terkait fenomena ini.

Digitalisasi, tapi Mental Tetap Sama

Ilustrasi memberi uang ke pengemis. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Kita kerap bertemu pengemis di pinggir jalan, di persimpangan atau di tempat-tempat umum yang ramai oleh pengunjung. Membuat diri mereka berbeda secara fisik dan tampilan agar mudah diidentifikasi sebagai pengemis, walau akhirnya kerap berujung pada hinaan, atau angkut satuan polisi pamong praja karena dianggap meresahkan ketertiban umum.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi, khususnya internet telah merevolusi banyak hal termasuk modus dan pola mengemis. Akhir-akhir ini pengemis jalanan dianggap bertransformasi dan memaksimalkan penggunaan media sosial seperti Tiktok.
Jika mengutip wikipedia saja, mengemis di internet berbeda dengan mengemis jalanan karena di internet para pengemis bisa menyembunyikan identitas mereka. Anonimitas ini yang kerap diandalkan pengguna sosial media dalam melakukan komunikasi dengan orang lain.
Sayangnya di Tiktok tidak demikian, pelaku mengemis online jelas-jelas menunjukkan identitas mereka di depan kamera, layaknya mengemis pada umumnya, mereka menggunakan semua sumber daya simbol untuk bisa menarik penonton agar memberikan beberapa pilihan hadiah–yang telah disediakan Tiktok–yang kemudian bisa ditukarkan dengan rupiah.
ilustrasi aplikasi tiktok. Foto: pexels.com (cottonbrostudio)
Dari sekian gulungan fenomena dan tren yang dihasilkan oleh teknologi Tiktok, saya merasa tidak kaget jika pada akhirnya berbagai model mencari uang–di Tiktok–dalam bentuk hadiah bermunculan di media sosial ini.
ADVERTISEMENT
Fitur dan arah pengembangannya media sosial–Tiktok khususnya–dewasa ini seakan mengarahkan manusia untuk melakukan hal-hal baru dalam mencari uang dengan berbagai pola dan model, misalnya pelaku seni musik, pemain game online, pelaku goyang erotis, hingga akhirnya bermuara para pelaku-pelaku minim skill yang hanya menanti iba para penonton saja.
Di internet jangan harap anda bebas dari cacian dan makian warganet. Tidak jarang juga para penonton memberikan komentar negatif, mencemooh dan menganggap perilaku tersebut malah membahayakan kesehatan orang tua yang ada dalam video.
Tidak hanya itu, perilaku ini sampai menjadi sorotan, bukan lagi Satpol PP, namun langsung oleh Kementerian Sosial yang akan menertibkan perilaku ini.
Lebih jauh lagi, aktivitas ini tidak jauh berbeda dengan pengemis dunia nyata, pengemis di Internet melakukan hal tersebut karena alasan ekonomi, karena kemiskinan, usia lanjut, kehilangan pekerjaan–karena pandemi–dan alasan yang kita anggap classic lainnya.
ADVERTISEMENT

Sisi Negatif Globalisasi Kadang Datang dari Diri Sendiri

Ilustrasi internet nirkabel. Foto: Shutter Stock
Seminggu lalu saya menulis tentang bagaimana internet digunakan oleh masyarakat pinggir kota untuk mengakses internet terkait jual beli organ karena kemiskinan dan minimnya pengetahuan serta wawasan hingga menipisnya nilai-nilai sosial di masyarakat.
Dalam tulisan tersebut saya sedikit memuji masyarakat desa yang menurut saya setidaknya memiliki kultur gotong-royong atau saling menjaga antar warga agar tidak terjerumus dalam bahaya sisi negatif penggunaan media internet.
Sayangnya berbeda dengan yang terjadi dalam fenomena ini. Kegiatan–live Tiktok–ini tidak dilakukan sendirian, setelah ditelusuri ternyata orang di belakang nenek-nenek mandi atau berendam di dalam bak air selama berjam-jam adalah seorang pemuda yang menjadi admin akun TikTok yang juga adalah warga desa Setanggor sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Tiktok untuk media sosial, setting lokasi, dan penggunaan pesan-pesan yang didramatisir dengan ekspresi yang membuat para penonton merasa iba.
Ilustrasi TikTok. Foto: Shutterstock
Hal ini yang membuat saya yakin orang di depan kamera hanyalah objek yang dikomodifikasi, sedangkan pelaku belakang layar yang tentu akan mendapat keuntungan yang lebih besar.
Bukan malu, justru membuat para pengemis terus melakukan kegiatan live Tiktok tersebut–terlepas dari paksaan anak muda di belakang kamera atau juga karena janji akan mendapatkan uang yang banyak dengan kegiatan yang minim keringat.
Memang media dan teknologi membawa perubahan dan globalisasi yang dapat berpengaruh buruk pada nilai-nilai di sebuah daerah, namun tidak jarang juga pengaruh buruk bukan karena teknologi, namun karena niat penggunanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Bertalian dengan fenomena ini, terkadang perubahan kecil hingga besar yang terjadi di desa, banyak dilakukan oleh generasi muda. Utamanya yang memiliki pengetahuan dan wawasan pada tren dan teknologi terkini.
Ilustrasi e-commerce, salah satu teknologi yang memudahkan perempuan menjalani perannya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tidak jarang perubahan positif di sebuah desa terjadi karena seorang perantau yang kembali dengan gagasan-gagasan brilian untuk mengubah nasib warga desa atau kampungnya.
Sayangnya tidak jarang rusaknya sebuah kebudayaan dan nilai baik di desa karena pengaruh dari perantau yang kembali dengan segenggam nilai-nilai yang merusak di desa asalnya.
Tentu nilai-nilai di setiap daerah berbeda-beda, namun saya tidak yakin perilaku membiarkan orang tua untuk berendam di dalam kolam air dan mengguyur badannya selam satu hingga dua jam ini adalah hal baik untuk suatu daerah, atau dalam konteks kasus ini di Nusa Tenggara Barat.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi dan media adalah salah satu yang tak terbendung saat ini. Dua hal yang menghalangi penyebaran teknologi informasi di Indonesia–hingga ke pelosok–hanyalah akses jaringan dan pengguna atau saya sebut saja mentor penyebarannya.
Ilustrasi kontak telepon. Foto: Shutter Stock
Jika akses jaringan telah terhubung, maka yang dibutuhkan untuk menyebarkan teknologi informasi ke dalam ruang-ruang privat masyarakat desa adalah pengguna atau mentor yang mengajarkan masyarakat desa dalam penggunaan teknologi komunikasi yang ada.
Pengguna awal atau orang yang saya sebut mentor bagi masyarakat adalah pihak yang mengajarkan teknologi ini. Pihak yang cukup memegang kendali bagaimana sebuah teknologi digunakan.
Tentu konteks mentor ini tidak semata-mata orang yang telah dididik oleh sebuah institusi pendidikan dan pemerintahan, namun siapa pun yang memiliki pengetahuan dan wawasan tentang teknologi media komunikasi bertanggung jawab atas penggunaan teknologi di suatu daerah.
ADVERTISEMENT
Sebagai masyarakat desa di pelosok Sulawesi yang mengenal komputer di bangku SMP–tahun 2007–dari mahasiswa PKL yang melakukan kegiatan bakti desa, saya sedikit-banyak memiliki pengalaman tentang hal ini.

Agenda Media tentang Frasa Mengemis Online

Ilustrasi Begpacker mengemis. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Selama ini, di lingkungan kita hingga yang dipertontonkan oleh media, citra pengemis adalah berpakaian kotor, lusuh, orang tua atau lanjut usia, renta, orang sakit, kaum difabel hingga anak-anak.
Mengemis akan identik dengan kegiatan mengetuk pintu ke pintu atau menunggu kehadiran orang di suatu tempat agar dapat dikasihani. Sedangkan yang dilakukan para pelaku mandi/berendam air di Tiktok tidak serupa dengan hal tersebut. Hal ini yang membuat pelaku merasa tidak sedang mengemis.
Mereka hanya menganggap itu sebuah pertunjukan yang mampu mereka lakukan selayaknya influencer yang sedang melakukan siaran langsung untuk menyapa para penggemar atau selayaknya pelaku seni yang memanfaatkan media sosial.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, selama larangannya belum jelas, apa pun bisa dijawab dengan kalimat, “daripada mencuri atau menipu yang jelas-jelas haram, lebih baik saya/kami mengerjakan ini”.
ilustrasi pengemis. Foto: shutterstock
Pada dasarnya meminta bantuan–ekonomi, pakian, makanan dan lainnya–untuk donasi dan kemanusiaan bagi banyak orang bukan hal yang memalukan. Bahkan di era saat ini meminta bantuan atau bahkan mengemis melalui internet menjadi pilihan yang masuk akal.
Sayangnya yang terjadi pada kasus berendam di air berjam-jam yang sedang tren di Tiktok bukan untuk konteks semacam donasi kemanusiaan. Hal tersebut hanyalah orang-orang yang mengharapkan uang dengan instan–meminta dari orang yang iba–melalui media sosial Tiktok, dengan bersembunyi di balik hadiah, atau tren sosial.
Setelah hal tersebut ramai muncul di layar pada genggaman warganet, media pun merasa perlu memberikan definisi terhadap tren yang terjadi dan masih baru.
Ilustrasi Mengemis. Foto: Getty Images
Dengan melihat ciri-ciri yang dapat media kumpulkan dan amati, kata “mengemis online” yang menjadi pilihan kata yang menurut media tepat untuk mengkotakkan perilaku orang tua yang sedang siaran langsung di aplikasi Tiktok ini.
ADVERTISEMENT
Agenda media semacam ini kemudian disambut oleh kebijakan pemerintah yang akan memberikan teguran dan menertibkan perilaku yang dianggap meresahkan ini.
Tak sampai di situ, berbagai program acara TV, Influencer, Podcaster, hingga Youtuber mengundang mereka untuk diwawancarai. Setelahnya, perilaku semacam ini akan didefinisikan oleh seluruh masyarakat sebagai kegiatan mengemis di Internet.