Islam dan Kontribusi Penyandang Disabilitas dalam Kehidupan Bermasyarakat

Rahmat Aiman
Pustakawan Rumah Baca Philosophia, Makassar Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Brawijaya, Malang
Konten dari Pengguna
6 Maret 2022 20:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Aiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Untuk membangun masyarakat inklusif, argumentasi kemanusiaan sebenarnya sudah cukup. Kita semua berada di dalam dunia yang sama, setara, dan mempunyai hak untuk mengaktualisasikan diri sendiri. Karena itulah, kita harus membangun dunia di mana tak ada seorang pun yang merasa terpinggirkan atau tertinggal di belakang. Termasuk di antaranya para penyandang disabilitas, yang dalam beberapa kasus masih sering mendapatkan diskriminasi dan disalahpahami.
ADVERTISEMENT
Saya suka menyebut argumentasi tersebut dengan istilah "Aku être au monde bersamamu". Frasa être au monde yang berarti “berada dalam dunia”, diperkenalkan oleh Maurice Merleau-Ponty untuk menjelaskan filsafat fragmentarisnya. Dalam konteks masyarakat inklusif, kalimat tersebut bisa diartikan menjadi "aku berada dalam dunia bersamamu".
Bagi saya, itu kalimat yang mewah. Di dalamnya, ada pengakuan bahwa kita tidak akan saling meninggalkan. Di dunia, manusia harus mengalami berbagai penderitaan untuk bertahan dan memaknai hidup. Tapi jika kita bisa saling merangkul untuk melewatinya bersama-sama, setidaknya satu masalah sudah terselesaikan. Tidak perlulah kita menambahnya lagi dengan pendiskriminasian, permusuhan, atau sikap saling menjatuhkan satu sama lain.
Ide kemanusiaan tersebut tidak berdiri sendiri. Ajaran untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa memperhatikan pangkat dan kekayaan juga dapat ditemukan dalam semua agama. Argumentasi keagamaan tersebut akan semakin menegaskan pentingnya penerapan pendidikan ataupun sistem sosial yang inklusif. Lagipula, kemanusiaan merupakan salah satu penting dalam semua ajaran agama. Oleh karena itu, sudah seharusnya ajaran agama menjadi sarana yang mampu melanggengkan nilai-nilai kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu agama samawi, Islam juga memberikan legalitimasi untuk memastikan nilai-nilai inklusivitas tetap berjalan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu dari legitimasi tersebut bisa dilihat dari bagaimana Al-Quran meminta umat Islam memperlakukan penyandang disabilitas. Rasulullah SAW tidak pernah ditegur dari caranya memperlakukan orang miskin, orang yang berbeda suku, atau orang yang berbeda warna kulit. Satu-satunya teguran yang beliau dapatkan dan diabadikan dalam Al-Quran adalah bagaimana beliau SAW memperlakukan penyandang disabilitas netra.
Orang itu adalah Abdullah bin Umair bin Syuraih atau yang lebih dikenal dengan nama Abdullah bin Ummi Maktum. Beliau merupakan salah satu sahabat senior yang paling awal masuk Islam. Ummi Maktum sendiri berarti ibu dari yang tersembunyi. Gelar tersebut diberikan kepada Ibunya kerena telah melahirkan penyandang disabilitas netra.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, Abdullah ingin belajar Al-Quran dengan mendengarkannya langsung dari nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, waktu itu Rasulullah SAW sedang menghadapi para pembesar kaum Quraish. Beberapa di antaranya adalah Shyban Amr bin Hisham yang dikenal dengan nama Abu Jahal, Utbah bin Rabiah, Umayyah bin Khalid, dan Walid bin Mugirah.
Permintaan Abdullah bin Ummi Maktum yang dilakukan secara tiba-tiba di tengah pertemuan membuat wajah Rasulullah SAW berubah masam. Setelah itu, beliau SAW berpaling dan kembali meladeni para pembesar Quraish. Beberapa beranggapan kalau Rasulullah melakukan hal tersebut karena jika para pembesar tersebut menerima ajakan beliau maka posisi Islam akan semakin kuat.
Hanya saja, alasan taktis tidaklah cukup untuk membenarkan pengabaian tersebut. Setelah Rasulullah SAW menyelesaikan urusannya dengan tamu-tamunya, tubuh Rasulullah SAW tiba-tiba bercucuran berkeringat. Badan Rasulullah tiba-tiba jadi lebih berat dari biasanya. Di saat yang bersamaan, turunlah surat Abasa ayat 1-12 yang berisi pedoman dalam memperlakukan penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Tuntunan tersebut direkam dan dibadikan untuk menjadi pembelajaran kepada seluruh umat Islam yang datang di kemudian hari. Bahwa orang Islam, harus menghormati dan menunaikan hak para penyandang disabilitas sebagaimana mereka memberi pengormatan dan menunaikan hak orang-orang kaya atau penguasa.
ADVERTISEMENT
Kedua belas ayat tersebut memberikan prinsip pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa semua orang memiliki hak yang setara atas pengajaran. Ayat ketujuh dengan jelas menolak ide eksklusivitas atas orang kaya dan orang berpengaruh dalam sistem pendidikan. Satu-satunya yang membedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya adalah semangat dalam belajar.
Bahkan jika orang kaya atau orang yang punya kekuasaan tersebut bermalas-malasan mencari ilmu, tidak ada celaan atas pengajar jika mereka tidak mampu mendapatkan manfaat dari proses pembelajaran. Sebaliknya, setiap pengajar dituntut memberikan perhatian sepenuhnya kepada siapapun yang bersemangat menuntut ilmu sekalipun dia penyandang disabilitas atau berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah.
Oleh karena itu, Islam dengan tegas mendukung pandangan yang memberikan kesempatan belajar yang setara kepada penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Strategi mengajar yang diberikan mungkin berbeda-beda, tergantung pada kebutuhan setiap peserta didik. Namun, setiap pengajar harus memberikan perhatian yang sama besarnya kepada semua orang tanpa terkecuali.
Membantu penyandang disabilitas. Sumber gambar: https://pixabay.com/images/id-3948122/
Kontribusi Penyandang Disabilitas dalam Kehidupan Bermasyarakat
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan mengapa pendidikan harus inklusif adalah karena kita ingin hidup bersama dengan siapapun dalam sistem yang sama. Dengan pendidikan inklusif, sedari awal, anak-anak akan diajari cara bersosialisasi satu sama lain tanpa memandang perbedaan ini dan itu. Sehingga ketika sudah dewasa, mereka bisa lebih mudah bekerjasama dan memberikan kontribusi mereka masing-masing kepada masyarakat.
Pendidikan eksklusif tidak mampu mengakomodasi cita-cita tersebut. Sebab dari awal, mereka telah memisahkan penyandang disabilitas dari peserta didik non-disabilitas. Jurang tersebut menempatkan penyandang disabilitas di sisi yang berlawanan dan cenderung dianggap sebagai kelompok yang terbelakang dan terpinggirkan. Padahal, jika kita fokus pada kelebihan setiap orang, maka kita akan menemukan bahwa semua orang memiliki kelebihan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, Abdullah bin Ummi Maktum lagi-lagi merupakan contoh yang bisa diteladani. Dengan beberapa keterbatasannya (sebagaimana halnya semua orang), beliau tidak ketinggalan dalam mengambil peran dalam membangun kehidupan sosial di masa awal perkembangan Islam.
Di antara banyak nama-nama besar sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Ummi Maktum merupakan salah satu orang yang pernah ditunjuk sebagai muazin sekaligus imam salat. Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa Abdullah bin Ummi Maktum mengumandang azan untuk Rasulullah meskipun dia penyandang disabilitas netra. Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa Abdulah bin Ummi Maktum pernah diangkat sebagai wakil Rasulullah SAW di Madinah dan memimpin salat berjamaah.
Abdullah bin Ummi Maktum juga ikut berjihad. Dalam perang Qadisiyah, beliau mengambil peran sebagai pembawa bendera Islam di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam perang ini, Abdullah bin Ummi Maktum gugur sebagai syahid yang memberikan kemenangan kepada pasukan kaum muslimin.
ADVERTISEMENT
Selain penyandang disabilitas netra, penyandang disabilitas fisik juga tidak ketinggalan mengambil peran pada zaman Rasulullah SAW. Amr bin al-Jamuah merupakan salah satu teladan dalam kasus ini. Keterbatasan gerak kakinya, tidak menghalangi Amr bin Al-Jamuah untuk ikut berperang membela islam. Beliau merupakan salah satu syahid dalam perang Uhud yang dijamin akan masuk surga oleh Rasulullah SAW.
Dari sini, kita bisa belajar bahwa penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam masyarakat. Lagipula, untuk sekarang ini, tidak susah menemukan penyandang disabilitas yang berprestasi. Oleh karena itu, satu-satunya hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita membangun sistem sosial yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua orang untuk menemukan potensi terbaik mereka.
Selain dalam sistem pendidikan dan kehidupan bermayarakat, Islam juga memberikan beberapa keutamaan dalam konteks keagamaan. Dalam urusan fikih misalnya, terdapat beberapa aturan yang bisa mempermudah pelaksanaan ibadah para penyandang disabilitas. Di zaman Rasulullah SAW, ketika umat Islam masih memperhatikan panjang bayangan untuk menentukan waktu salat, disabilitas netra diberi kebebasan untuk berijtihad menentukan waktu salat yang menurutnya benar jika tidak ada orang yang memberitahunya. Dari segi pahala dan keutamaan, penyandang disabilitas akan dijamin dengan surga jika mereka mampu bersabar dengan keterbatasan fisik yang mereka terima.
ADVERTISEMENT
Pemberian kemudahan dan keutamaan tersebut bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk memberikan kemudahan dan keutamaan kepada penyadang disabilitas dalam konteks sosial. Di ruang publik, pembangunan sarana dan prasarana sebaiknya dirancang dengan memperhatikan kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus. Di sisi lain, kita juga bisa memberikan beberapa keutamaan kepada penyandang disabiltitas dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang akomodatif dan memberikan jaring pengaman sosial bagi yang membutuhkan.
Ilustasi bagaimana Islam mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas. Sumber gambar: https://pixabay.com/images/id-4095475/
Menuntun disabilitas netra. Sumbe gambar: https://pixabay.com/images/id-2991882/