Milan Kundera dan Mengapa Susah Sekali Memenuhi Ekspektasi Sosial

Rahmat Aiman
Pustakawan Rumah Baca Philosophia, Makassar Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Brawijaya, Malang
Konten dari Pengguna
26 April 2022 16:00 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Aiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari ekspektasi sosial yang dibebankan kepada individu. Sumber gambar: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari ekspektasi sosial yang dibebankan kepada individu. Sumber gambar: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seorang gadis “baik-baik” diajak melakukan sandiwara oleh pacarnya. Dengan mengendarai mobil sport, sang pacar mengambil peran sebagai lelaki hidung belang sedangkan gadis tersebut merespons sebagai perempuan penggoda.
ADVERTISEMENT
Sandiwara berjalan lancar dan menyenangkan. Tapi lama-kelamaan, si laki-laki merasa aneh. Pacarnya yang selama ini dikenalnya sebagai gadis baik-baik memainkan peran wanita penggoda terlalu sempurna. Perempuan di depannya menjadi orang yang tak dikenal. Bukan hanya kata-katanya yang berubah. tapi juga seluruh ekspresi, dan gerak tubuhnya. Cara dia memandang, cara dia berjalan, cara dia memamerkan tubuhnya, semuanya dimainkan terlalu sempurna untuk gadis baik-baik sepertinya.
Lelaki itu kemudian mencoba memainkan sandiwara lebih jauh. Kalau pacarnya mampu melakukan sandiwara sedemikian baiknya, bisa jadi aslinya dia memang seperti itu. Karenanya, dia memperlakukan pacarnya benar-benar seperti perempuan penggoda. Dia mulai bertindak sarkas, degil, dan mendominasi gadis di depannya.
Lalu malam itu, terjadilah peristiwa yang tidak pernah mereka bayangkan. Mereka melakukan senggama tanpa perasaan dan dorongan rasa cinta. Si gadis merasa kalau sandiwara tersebut seharusnya dihentikan lebih cepat. Tapi di satu sisi, dia terkejut ketika menyadari jauh di lubuk hatinya dia sangat menikmati perannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Di akhir cerita, gadis tersebut menangis dan berujar: “Inilah saya, inilah saya.” Sementara di sampingnya, kekasihnya yang merasa simpatinya menghilang, berjuang mengimbau rasa haru dalam dirinya agar mau menenangkan sang gadis.
Kisah di atas diceritakan oleh Milan Kundera dalam cerpen The Hitch-Hicking Game. Arief Rahman dan Muhidin M. Dahlan menerjemahkannya dengan judul “Labirin Permainan” dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul Amnesti (2002). Tidak semua cerpen mampu menyingkap relasi antar individu dalam sistem sosial secara terstruktur kepada pembacanya, tapi karya Milan Kundera adalah pengecualian.
Perempuan dalam cerpen Milan Kundera mengalami dualitas yang membingungkan. Dia tahu kalau gadis yang berbicara dengan sopan, berpakaian pantas, dan tahu menjaga diri akan mendapatkan tempat sebagai perempuan terhormat di masyarakat. Sedangkan perempuan yang bebas berbicara apa saja, berekspresi dengan tubuhnya sesuka hati, dan bebas memakai apa saja tanpa mempedulikan ekspektasi sosial akan dianggap buruk oleh masyarakat. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia justru mencemburui gadis tipe kedua.
ADVERTISEMENT
Dia merasakan dengan tubuhnya bahwa menjadi wanita penggoda sebenarnya bisa membuatnya memiliki daya tarik tersendiri. Hal-hal yang bisa dia akses saat menjadi menjadi gadis penggoda – seperti menunjukkan bagian tertentu dari tubuhnya atau memainkan nada suaranya ketika berbicara pada orang lain – ditangkapnya sebagai sesuatu yang membebaskan. Akibatnya, saat dia mengajak tubuhnya bermain peran sebagai wanita penggoda, tubuhnya merespon dengan baik dan mengatakan padanya bahwa seperti itulah bagaimana seharusnya tubuhnya mendunia.
Saat memainkan sandiwara, ekspektasi sosial yang sebelumnya menekan tubuh sang gadis menghilang. Karena ini cuma main-main, jiwanya tidak takut, tidak menentang, dan larut terbius. Permainan itu memberinya peluang merasakan apa yang belum pernah dirasakannya selama ini: rasa lepas tanggung jawab dan hanya diliputi nafsu ingin bersenang-senang (Amnesti, 2002, hal. 108). Sebagai gadis yang menumpang pada laki-laki dengan mobil sport di tengah jalan, dia boleh melakukan serta menikmati apa pun yang dikehendakinya (Amnesti, 2002, hal. 109).
ADVERTISEMENT
***
Dalam mimbar-mimbar agama, institusi pendidikan, ataupun dalam kampanye pemerintah, perempuan penggoda sering dicela. Tapi dalam realitasnya, ada banyak juga orang yang menginginkannya. Orang-orang dengan senang hati membiarkan situs porno, melegalisasi kawasan prostitusi, atau diam-diam memuja perempuan demikian saat berada di balik tirai. Laki-laki juga terkadang menyampaikan rasa sukanya terhadap perempuan demikian secara terang-terangan di tongkrongan atau dalam candaan-candaan yang dilabeli “dewasa”.
Dalam komunitas di mana ekspektasi sosial terhadap perempuan baik-baik lebih banyak diabaikan, pemujaan terhadap “perempuan nakal” jadi lebih terbuka. Mereka yang dilabeli buruk tidak jarang mendapatkan panggung yang meriah. Di iklan-iklan, perempuan seperti ini terkadang dianggap lebih menguntungkan karena lebih mudah menarik perhatian orang banyak. Di komunitas tertentu, mereka juga lebih mudah dimaafkan dan dibela saat melakukan kesalahan dan akan mendapatkan banyak sorotan saat melakukan kebaikan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, perempuan yang berusaha memenuhi ekspektasi sosial seringkali mendapatkan perlakukan yang berlawanan. Mereka dituntut untuk selalu suci. Jika mereka melakukan kesalahan sedikit saja, dengan cepat keburukan tersebut akan disebarkan. Tapi jika mereka mengampanyekan kebaikan, mereka justru akan dianggap bersikap sok suci.
Kecemburuan yang dirasakan gadis baik-baik seringkali diekspresikan dengan keinginan untuk ikut viral. Kalau gadis yang joget-joget dengan pakaian terbuka bisa viral mengapa gadis yang salawatan tidak? Atau jika perempuan yang terang-terangan mengungkapkan aibnya di media sosial mendapatkan pembelaan sedemikian rupa karena memiliki satu kebaikan, mengapa perempuan baik-baik dihancurkan hanya karena satu kesalahan di antara banyak kebaikan lainnya?
Dalam konteks nakal atau tidak, laki-laki sedikit lebih diuntungkan. Mereka tidak harus menanggung ekspektasi sosial sebanyak perempuan. Paling banter, mereka dituntut untuk selalu menjaga pandangan atau tidak tergoda untuk melakukan pelecehan saat melihat lawan jenis. Namun, apakah ekspektasi sosial ini telah didukung oleh perangkat fakta sosial yang memadai? Tidak juga.
ADVERTISEMENT
Laki-laki yang mampu mendominasi perempuan masih sering dianggap sebagai lelaki sejati. Sementara mereka yang melakukan pelecehan seksual, atau perselingkuhan masih cenderung lebih dibela ketimbang perempuan yang menjadi korbannya. Dan karena itulah, lelaki baik-baik pun terkadang menyimpan kecemburuan terhadap laki-laki yang demikian.
Dualitas yang dialami oleh tokoh dalam karya Milan Kundera, meskipun diceritakan pada tahun 1879, bisa jadi masih terus berlangsung saat ini, dan menimpa banyak individu lainnya dalam masyarakat. Selain karena bertentangan dengan kenyamanan tubuh, ekspektasi sosial juga terkadang tidak mendapatkan dukungan dari perangkat fakta sosial lainnya.
Gagalnya Transformasi Nilai
Ilustrasi dari nilai-nilai yang diharapkan dalam masyarakat. Sumber gambar: unsplash.com
Gadis dalam cerpen Milan Kundera mengetahui bagaimana seharusnya gadis baik-baik bersikap di masyarakat. Tapi karena informasi tersebut belum menubuh dalam dirinya, dia jadi mengalami konflik batin. Namun, bagaimana sebenarnya nilai-nilai yang diekspektasikan oleh masyarakat bisa gagal bertransformasi dalam diri individu?
ADVERTISEMENT
Heikkila dan Gerlak (2013), dalam salah satu jurnalnya yang membahas tentang pembelajaran kolektif, menjelaskannya tiga fase yang akan individu lewati ketika ingin menyerap sebuah nilai. Fase-fase tersebut secara berturut-turut adalah akumulasi, translasi, dan diseminasi.
Di fase pertama, individu mengumpulkan informasi mengenai nilai-nilai yang diekspektasikan oleh masyarakat. Dalam kasus ini, anggaplah ekspektasi sosial yang dimaksud adalah bagaimana seharusnya laki-laki atau perempuan bertindak dalam relasi sosial. Informasi yang dikumpulkan bisa berupa cara berbusana, cara bergaul dengan orang yang lebih tua, tatakrama saat berbicara, atau bagaimana seharusnya mereka memperlakukan orang lain dengan hormat dalam berbagai situasi.
Semua informasi tersebut kemudian ditafsirkan dan dipraktekkan pada fase translasi. Tapi karena fase ini sudah melibatkan orang lain, maka peran dari orang-orang sekitar sangat menentukan. Seorang perempuan misalnya diajari untuk tidak sembarangan bergaul, menjaga gerak-gerik tubuh, dan tidak berbicara kasar. Tapi di media sosial dia melihat, gadis berpakaian minim dan berjoget riya lebih sering mendapatkan perhatian. Gadis-gadis yang tidak memenuhi “standar baik” menurut masyarakat, justru lebih bisa bergaul dengan banyak orang, dan lebih bebas berbicara dengan laki-laki mana pun.
ADVERTISEMENT
Jika kecemburuan terhadap gadis yang demikian terus muncul, maka dia akan menafsirkan kata “gadis baik-baik” dengan beberapa penyesuaian. Tidak apa-apa berjoget ria di media sosial, atau menampilkan sedikit lekuk tubuh, asalkan pakaian tetap tertutup. Dengan begini, dia bisa mendapatkan perhatian yang dia harapkan tanpa harus berlepas sepenuhnya dengan konsep perempuan bermartabat.
Kondisi ini umumnya terjadi ketika proporsi masyarakat yang mengabaikan ekspektasi sosial lebih banyak ketimbang yang menaatinya. Banyak individu yang mengalami dualitas yang membingungkan. Tidak lagi sebatas pertentangan antara apa yang tubuh rasakan dengan apa yang masyarakat ekspektasikan, tapi juga sampai pada penampilan fisik. Keraguan-keraguan yang semulanya disembunyikan, kini mendapatkan jalan keluar dengan cara membuat tampilan dirinya menjadi hybrid. Sebagian dari tingkah lakunya masih mempertahankan simbol dari perempuan baik-baik tapi sebagian lagi disesuaikan dengan keinginannya untuk menjadi seperti gadis lain yang dicemburuinya.
ADVERTISEMENT
Fase ketiga yakni diseminasi, adalah fase saling mengingatkan kembali mengenai apa yang telah dipelajari sebelumnya. Hal ini dilakukan karena bisa saja ada anggota masyarakat yang terlupa atau tidak memiliki daya serap informasi yang sama terhadap nilai-nilai yang diekspektasikan. Akan tetapi, jika orang yang melanggar nilai-nilai tersebut menjadi kelompok yang mayoritas maka peringatan yang disampaikan akan terdengar canggung. Orang-orang yang memberi peringatan akan dianggap sok suci dan akan dirincikan kesalahan-kesalahan personalnya agar dia merasa tidak pantas lagi mengurusi perilaku orang lain.
Jadi, sementara di fase pertama individu diajari nilai-nilai dan norma-norma yang baik, fase kedua justru mengajarkan mengapa dan bagaimana hal tersebut bisa dilanggar. Mereka yang terus berusaha memenuhi ekspektasi sosial pada akhirnya akan mengalami kebingungan sebagaimana yang dirasakan oleh tokoh perempuan dalam cerpen Milan Kundera. Peringatan atau teguran tidak lagi banyak berguna, sebab orang-orang mulai menoleransi pelanggaran. Pada tahap tertentu, orang-orang mulai enggan memberi peringatan karena akan dianggap memiliki motif-motif tersembunyi seperti ingin mencari panggung, sok suci, ataupun hanya sedang ingin menyembunyikan kesalahannya sendiri.
ADVERTISEMENT
***
Dalam konteks sosial, translasi dari nilai-nilai yang dianggap baik bisa jadi beragam dan berubah-ubah. Penggambaran perempuan baik-baik dalam cerpen Milan Kundera bisa jadi dianggap tidak relevan di beberapa komunitas saat ini. Bisa jadi juga, Milan Kundera sedang mengkritik pengelompokan-pengelompokan demikian dengan menganggap tidak mungkin menekan sepenuhnya rasa ingin bersenang-senang dan bebas tanggung jawab dari dalam diri manusia.
Penekanan utama dalam tulisan ini sebenarnya adalah penerapan ekspektasi sosial tidak bisa dikembalikan kepada individu belaka. Sebaliknya, harapan tersebut harus diikuti oleh proses yang terstruktur dan sistematis. Tidak hanya dalam persoalan bagaimana menjadi laki-laki atau perempuan yang bermartabat, tapi juga pada semua ekspektasi sosial lainnya.
Nilai dan norma tidak cukup disampaikan sekali setahun dalam kegiatan seremonial atau seminar. Sosialisasi harus dilakukan terus-menerus. Transfer nilai juga tidak cukup dilakukan dengan cara penyampaian informasi semata, tapi juga harus dibuat menubuh dalam pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan secara bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Kita juga tidak bisa menunggu untuk menjadi sempurna sebelum mengingatkan orang lain. Kita menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada satu pun dari kita yang merupakan individu yang sempurna, tapi justru karena itulah kita harus mengingatkan satu sama lain.