Orang-Orang Tidak Membenci Koruptor, Mereka Mencemburuinya

Rahmat Aiman
Pustakawan Rumah Baca Philosophia, Makassar Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Brawijaya, Malang
Konten dari Pengguna
13 April 2022 15:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Aiman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, kita telah diajari bahwa mencuri, memotong antrean, dan berbohong adalah perbuatan yang tidak terpuji. Naik ke Sekolah Menengah Atas dan Universitas, kita belajar bahwa korupsi, seperti penyalahgunaan kekuasaan dan suap merupakan tindakan melanggar hukum. Tapi setelah semua pelajaran itu, masih banyak juga orang yang terjerat dalam korupsi. Bagaimana mungkin sesuatu yang telah diketahui pasti itu salah tapi tetap banyak orang yang melakukannya?
ADVERTISEMENT

Nilai-Nilai Antikorupsi yang Gagal Ditransformasikan

Heikkila dan Gerlak (2013), memiliki teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa orang-orang tetap melakukan perbuatan yang diakuinya salah secara teoritis. Salah satu penyebabnya adalah karena informasi tentang nilai-nilai yang baik tersebut gagal ditransformasikan menjadi pengetahuan dalam kehidupan sosial.
Menurut mereka, seorang individu mempelajari nilai-nilai yang diekspektasikan oleh masyarakat dalam tiga fase yang disebutnya akuisisi, translasi, dan diseminasi. Ketiga fase tersebut harus berkaitan satu sama lain. Kegagalan di salah satu fase akan menyebabkan kegagalan dalam proses transformasi nilai secara keseluruhan.
Di fase pertama, individu mengumpulkan informasi mengenai apa yang layak, penting, dan wajib dilakukan sebagai warga masyarakat. Dalam konteks korupsi, individu diajari bahwa korupsi merupakan perbuatan tidak terpuji sementara kejujuran dan kepatuhan terhadap hukum merupakan tindakan yang terhormat dan berintegritas.
ADVERTISEMENT
Semua informasi tersebut kemudian dipraktikkan pada fase translasi. Pada fase ini, informasi teoritis ditafsirkan dan diaplikasikan agar bisa menjadi pengetahuan yang menubuh. Namun karena fase ini melibatkan orang lain, maka peran dari pelaku sosial lainnya sangat penting. Di fase translasi, orang-orang mempelajari nilai dengan cara meniru atau meneladani kebiasaan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Seseorang bisa saja belajar bahwa menyuap itu tindakan tercela tapi jika semua orang di sekitarnya melakukan suap maka dia pun akan menafsirkan apa yang telah dipelajarinya sekali lagi. Jika dia tersisihkan dan orang yang menyuap justru mendapatkan beberapa kemudahan, dia pun akan mengalami pertentangan internal.
Ketidaksinkronan antara pengetahuan teoritis dan pengalaman praktis bisa membuatnya mengalami kebimbangan. Jika dia menemukan bahwa korupsi memiliki lebih banyak keuntungan ketimbang kerugian, besar kemungkinan dia akan ikut melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut. Lagipula, mustahil untuk tetap menjaga integritas sementara semua orang melakukan hal sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Fase translasi yang merupakan fase terakhir, merupakan fase di mana individu saling mengingatkan mengenai apa yang telah mereka pelajari di fase pertama atau kedua. Tapi jika orang telanjur gagal dalam fase translasi, pemberian peringatan akan terasa canggung sebab orang yang mau mengingatkan juga telah melakukan kesalahan yang sama. Orang yang memberikan peringatan akan dianggap sok suci atau memiliki motif-motif tersembunyi yang layak dicurigai. Alih-alih saling mengingatkan, fase translasi yang gagal hanya akan membuat orang saling membiarkan dan memaklumi pelanggaran satu sama lain.

Korupsi yang Diinginkan

Ketika korupsi sudah lumrah dilakukan, masyarakat akan bertransformasi menjadi masyarakat hybrid. Di ruang-ruang akademis, atau dalam berbagai kampanye pemerintahan, korupsi banyak dicela. Tapi di sisi lain, orang-orang juga mengagumi kemampuan untuk menyalahgunakan kekuasaan dan kekayaan selama itu menguntungkan dirinya.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup mewah, budaya konsumtif, dan keinginan untuk mendapatkan penghasilan tak terbatas dengan kerja seadanya, masih menjadi keinginan banyak orang. Orang-orang pun menikmati jika mereka didahulukan dalam pelayanan publik dengan memanfaatkan kewenangan “orang dalam”. Masyarakat membenci korupsi tapi di sisi lain, mereka mengagung-agungkan segala sarana dan keuntungan egoistik yang ada di baliknya.
Di satu sisi, orang yang mencoba memenuhi ekspektasi masyarakat dengan senantiasa menjaga integritas, seringkali menjadi pihak yang tersisihkan. Betul bahwa seseorang bisa mendapatkan kehormatan sebagai warga negara yang baik saat memastikan diri untuk berperilaku jujur setiap saat, tapi seringkali dia harus menjadi orang terakhir yang mendapatkan pelayanan. Atau minimal, urusannya dilangkahi oleh orang lain yang lebih dekat dengan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Lemahnya sanksi sosial lantas memperkuat kecemburuan terhadap pelaku korupsi. Mantan koruptor masih bisa mencalonkan diri dalam pilkada, sementara anggota masyarakat harus mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sebelum melamar pekerjaan. Alih-alih mendapatkan sanksi sosial negatif, mantan koruptor bahkan masih bisa tersenyum saat dimasukkan ke penjara dan diglorifikasi sebagai orang yang telah menjadi warga negara yang baik setelah menghabiskan masa tahanan.
Kontradiksi antara ekspektasi sosial dan fakta sosial, tidak hanya menimbulkan pertentangan antara keinginan dan pengetahuan dalam diri individu. Individu dalam masyarakat tidak lagi membenci korupsi. Kini, mereka bertransformasi mencemburui para koruptor.

Hasrat untuk Melakukan Korupsi

Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Pada tahun 1999, Olivier de Sardan seorang antropolog asal Prancis menjelaskan bahwa hasrat untuk melakukan korupsi seringkali tidak didorong oleh keegoisan individu semata. Sebaliknya, keinginan tersebut justru berakar dalam gagasan sosial kultural mengenai apa itu kekuasaan, keutamaan, tanggung jawab, dan kekayaan.
ADVERTISEMENT
Negara telah mengajari kita bahwa kesuksesan selalu berhubungan dengan akumulasi materi sebanyak-banyaknya. Mereka yang mampu meraih posisi tersebut lantas diberi keistimewaan dalam pelayanan. Atau minimal diberi status dan akses sosial yang membuat orang lain merasa silau dengan pencapaian mereka.
Seperti kuda-kuda yang menerbangkan debu di pagi hari, orang-orang berlomba pun mendapatkan segala keistimewaan tersebut. Akan tetapi, tidak semua orang memiliki modal yang sama. Mereka yang memiliki modal sosial yang lebih banyak bisa menggunakan jalan pintas yang bernama suap, penyalahgunaan kekuasaan, ataupun nepotisme untuk mencapai segala keutamaan tersebut.
Tentu tidak semua orang sampai di sana dengan cara korupsi. Tapi sekali lagi, korupsi jadi pilihan yang menggiurkan terutama sekali jika pilihan tersebut tersedia di atas piring. Segala akses dan kemudahan tersebut lantas dicemburui oleh orang-orang yang tidak mampu melakukan korupsi. Selama kecemburuan tersebut masih ada, selama itu pula orang-orang akan mencari cara untuk melakukan korupsi selama tidak terdeteksi penegak hukum.
ADVERTISEMENT
Tidak banyak jalan pintas yang bisa ditempuh untuk mencegah siklus berulang tersebut. Kita bisa memilih menjaga integritas setiap saat tapi pilihan tersebut terkadang masih lebih buruk ketimbang menjadi koruptor yang tertangkap kemudian dibebaskan. Selama kita masih menginginkan segala keistimewaan yang dimiliki koruptor, selama itu pula umpatan yang dilontarkan kepada para koruptor masih merupakan perwujudan kecemburuan alih-alih kebencian.