news-card-video
14 Ramadhan 1446 HJumat, 14 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Pendidikan dalam Bayang-Bayang Kolonialisme: Kritik atas Student Hidjo

Aisyah Aziszah Amantri
mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
9 Maret 2025 11:08 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aisyah Aziszah Amantri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber pexels.com
ADVERTISEMENT
Pendidikan sering dipandang sebagai gerbang menuju kemajuan, tetapi dalam realitas sejarah juga bisa menjadi instrumen dominasi Mas Marco Kartodikromo, dalam novel Student Hidjo, memperlihatkan bagaimana pendidikan kolonial bukan sekadar sarana mencerdaskan, melainkan juga alat kontrol yang membentuk pola pikir pribumi agar tunduk pada sistem yang menindas mereka.
ADVERTISEMENT
Hidjo, sebagai representasi pribumi terdidik, mengalami dilema antara identitas dan modernitas. Ia mendapatkan akses ke pendidikan tinggi, sesuatu yang langka bagi pribumi pada masa kolonial. Namun, pendidikan yang ia terima justru menjauhkan dirinya dari akar budaya dan kesadarannya sebagai anak bangsa. Ia dibentuk untuk berpikir seperti penjajah, bukan untuk membebaskan kaumnya. Hal ini menunjukkan bagaimana sistem pendidikan kolonial tidak netral, ia dirancang untuk menciptakan kelas pribumi terpelajar yang tetap berfungsi dalam tatanan kolonial, bukan untuk melawannya.
Fenomena ini masih relevan hingga sekarang. Pendidikan sering kali lebih berorientasi pada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat. Kurikulum disusun dengan narasi tertentu, menciptakan generasi yang lebih tunduk pada sistem daripada yang berani mengkritisinya. Bahkan di era modern, pendidikan bisa menjadi alat kekuasaan, di mana pemikiran kritis tidak diutamakan, melainkan kepatuhan terhadap ideologi yang dominan.
ADVERTISEMENT
Novel Student Hidjo menjadi pengingat bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya menghasilkan individu yang unggul secara akademik, tetapi juga memiliki kesadaran sosial. Tanpa kesadaran ini, pendidikan justru bisa menjadi alat penjajahan baru yang dapat membelenggu individu dalam sistem yang tidak berpihak pada kemerdekaan berpikir. Oleh karena itu, pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: apakah pendidikan kita hari ini benar-benar membebaskan, atau justru menjadikan kita budak dalam sistem yang lebih halus?