Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
3 Hari 2 Malam di Singapura, Budget Kurang dari Rp 2 Juta (Part 2)
8 September 2019 4:58 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Ochi the Explorer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah seminggu, akhirnya part dua bisa ditulis juga di tengah segala kesibukan (baca: kemalasan) gue. Buat yang belum baca, silakan baca dulu part pertamanya di sini biar enggak bingung, ya.
ADVERTISEMENT
Di hari kedua, gue bangun kepagian. Tips liburan saat bokek adalah: jangan bangun pagi-pagi karena lo jadi butuh makan lebih dan punya waktu kebanyakan buat explore banyak hal --yang mana tidak sesuai dengan kantong lo. Oke?
Pagi-pagi, gue pergi ke National Hospital University (NUH) dengan tujuan untuk cari sarapan. Iya, enggak salah baca: S-A-R-A-P-A-N. Alasannya simple, food court di NUH ini menunya beragam, porsinya super banyak, harganya murah, dan rasanya... ya boleh lah.
Tempat gue nginep juga menyediakan sarapan berupa roti tawar dan segala macam isiannya, tapi sebagai orang Indonesia pada umumnya; no rice no life. Roti tawar mah kenyangnya cuma sampai kerongkongan.
Perjalanan dari Stasiun MRT Farrer Park menuju Stasiun MRT Kent Ridge tempat NUH berada lumayan jauh. Bukan jauh lagi, tapi jauh banget. Tapi enggak apa-apa, kalau lo pemegang Singapore Tourist Pass (STP), maka makin jauh perjalanan, makin bagus karena jadi enggak rugi.
Menu paling recommended di NUH adalah Fish Ball-nya. Sumpah, itu enak banget dan banyak banget dan murah (untuk ukuran makan di sana ya). Satu porsi Fish Ball yang segedhe baskom plus nasi (bisa putih bisa merah) dibanderol dengan harga 4 SGD dan yang plus mi dikasih harga 3.5 SGD.
ADVERTISEMENT
Setelah puas dan kenyang, gue lanjut ke lokasi berikutnya: Marina Bay.
Sebenarnya, tujuan utamanya adalah ke ArtScience Museum tapi biar sehat, kita turun di satu stasiun dari yang seharusnya. Dan itu siang hari, dan itu ngide banget.
Di ArtScience Museum --yang gedungnya mirip mangga potong di abang-abang rujak grobakan-- ini ada apa sih? Sebagai seorang artist, menurut gue tempat ini keren abis sih idenya: memadukan sains, teknologi, dan seni.
Waktu gue ke sana, ada tiga 'pertunjukan': Future World, Alice and Wonderland, dan Floating Utopias. Saran gue; kalau ke sini jangan milih yang Future World karena 85 persen ya sama aja kayak yang ada di Jakarta.
Tapi karena gue ke sana dengan subsidi kantor temen gue (ya, sekali lagi, kalian enggak salah baca), jadi gue ngikut aja. Masuklah gue ke Future World.
ADVERTISEMENT
Harga tiketnya berapa? Kalau beli online untuk satu 'pertunjukan' sekitar Rp 150 ribu - Rp 170 ribu. Tapi ada paket bundling dua dan tiga pertunjukan langsung yang dijual seharga Rp 300 ribu - Rp 450 ribu. Tapi karena gue--sekali lagi--dibayarin kantor orang, ya jadi gue masuk gratis.
Di dalam, ada beberapa tema ruangan yang sebagian besar menggunakan konsep video mapping yang sungguh sangat Instagramable. Ada juga semacam art projector dengan teknologi super keren yang bisa menampilkan gambar lo di tembok, dan gerak. Sisanya sih permainan lighting cerdas.
Salah satu ruangan favorit gue adalah 'Space' yang jadi menu terakhir di Future World. Sebenarnya cara bikinnya sederhana: permainan lampu LED yang dinyalakan sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah pola sesuai dengan musiknya. Tapi keren abis.
LED ini dipasangnya turun ke bawah kayak tirai gitu. Dari awal masuk, kita dikasih peringatan sama abang-abang satpamnya buat 'jangan megang lampunya, apapun yang terjadi'.
ADVERTISEMENT
Dan dengan gobloknya, ada turis--mereka ngomong pakai bahasa Mandarin--yang bukan cuma nyentuh, TAPI MASUK DONG KE DALAM TIRAI-TIRAI LAMPUNYA. Ya Allah, kok masih ada orang goblok di muka bumi ini.
Buat kawan-kawan yang mau traveling, selalu ingat: kalau dibilang 'jangan' ya jangan, jangan ngeyel.
Setelah puas, temen gue ngajakin ke patung Merlion. Katanya, enggak ke Singapura kalau enggak foto sama Merlion. Oke lah. Tapi perlu diingat: apa yang terlihat dekat, tidak selalu dekat.
Udah panas, jalan kaki jauh banget, haus gila pula. Sumpah, itu patung Merlion yang keliatannya cuma di depan mata, ternyata jauh banget. Alhasil, sampai di depan Merlion, kita batal foto-foto karena udah capek banget.
Terus, karena pengin duduk di tempat teduh, mau enggak mau kita harus pesen makanan. Temen gue beli es krim yang cone-nya panjang kayak trompet. Harganya 6 SGD, es krimnya cuma seupil, dan belum juga sampai ke tempat duduk, itu es udah cair, coba. Jahanam memang panasnya.
ADVERTISEMENT
Haus mampus dan lapar, akhirnya gue pindah ke Orchard naik bus. Karena pegang STP, jadi masih gratis.
Di Orchard, sebenarnya bagus buat wisata belanja. Tapi gue enggak suka belanja (baca: enggak mampu). Jadi, gue cuma beli es krim potong 1 SGD, makan kayak mi campur gitu di food court mal di depan ION seharga 4 SGD, dan beli es kopi 1.5 SGD--lebih murah dari air putih, gaes.
Setelah wisata mata, sebelum balik gue ke Mustafa Center di Little India. Itu semacam tempat grosir serba ada yang gedhe-nya enggak kira-kira dan buka 24 jam. Harganya murah, beli apa aja ada di situ, cuma tempatnya berantakan dan gue enggak ngerti itu pada mikir apa waktu ngedesain dalamnya.
ADVERTISEMENT
Ya, bayangin aja, abis rak isi sabun-sampo, tiba-tiba ada elektronik. Terus, kasirnya menghadap 'sudut mati' yang bikin orang enggak bisa bikin antrean panjang tanpa nutupin jalan. Kayak, salah arah gitu lho. Tolong lah.
Untung murah.
Di sana gue beli sabun muka, sabun badan for men (sebab yang for man harganya jauh lebih murah! Dasar bias gender), dan odol. Odol yang gue beli adalah odol khas India, bentuknya serbuk, baunya kayak bumbu kare, tapi rasanya kayak jamu.
Setelah puas belanja, gue balik ke penginapan dan menghabiskan waktu dengan bergosip sampai pagi. Bergosip bikin kenyang dan bahagia.
Hari ketiga, ini adalah hari terakhir gue di Singapura. Setelah sarapan dan menitipkan tas, gue keliling lagi tanpa arah dan tujuan mulai dari Little India sampai ke Bugis dan Chinatown.
ADVERTISEMENT
Keuntungan lain jalan-jalan waktu lagi bokek adalah, lo jadi terpaksa menekan pengeluaran sedemikian rupa dan enggan untuk beli oleh-oleh. Tapi gue tetap beli jam tangan seharga 10 SGD/3 pcs dan tas seharga 10 SGD/4 pcs dengan cara iuran sama teman.
Pengeluaran terbesar gue hari ketiga ini adalah untuk beli Panadol karena batuk gue enggak kelar-kelar, dan gue demam. Sial emang. Panadol di Singapura lebih manjur lho, karena dosisnya lebih tinggi, apalagi buat gue yang jarang terpapar obat. Harga Panadol satu bungkus (isi 16 pil) adalah 15 SGD.
Setelah menghabiskan waktu dengan keliling enggak jelas dan nemenin temen gue belanja, gue balik ke penginapan dan siap-siap ke bandara. Sebenarnya, kalau gue naik MRT bisa lebih cepat, tapi karena gue mau buang-buang waktu, gue memilih naik bus. Dan ternyata, not bad kok.
ADVERTISEMENT
Lama sih, tapi lo jadi bisa ngeliat sisi lain dari Singapura karena ngelewatin sampai semacam kampung-kampung pinggirannya. Perjalanan dari Little India ke Changi ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam, termasuk waktu nungguin busnya pas transit.
Sisanya, gue jalan-jalan aja di dalam Changi. Changi bagus kok buat dieksplorasi, apalagi sejak ada air terjun di dalam itu. Gue pulang dengan menggunakan AirAsia dengan harga sekitar Rp 700 ribu.
Jadi sekian, kalau ditotal, maka pengeluaran gue selama 3 hari 2 malam di Singapura, dan saat weekend adalah:
DISCLAIMER DULU ini pengeluaran di luar iuran jam tangan dan tas dan Panadol dan sabun mandi dan odol dan sabun muka yang gue kira belum tentu dibeli sama orang lain.
ADVERTISEMENT
Total pengeluaran hari pertama: Rp 1.173.000
Pengeluaran hari kedua:
Pengeluaran hari ketiga:
Total keseluruhan (ini kursnya gue itung Rp 10.000 ya)
Rp 1.173.000 + (10.5 SGD x Rp 10.500) + (12 SGD x Rp 10.500) = Rp 2.098.000 (tapi karena ada uang balikin tiket STP, jadi pengeluarannya jadi Rp 1.998.000).