news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pola Pikir Biner Destruktif di Era Digitalisasi Media

Alfaiz Rayhan Azhim
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
26 Desember 2022 13:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfaiz Rayhan Azhim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Penulis

Masyarakat Digital Dalam Memperoleh Informasi

ADVERTISEMENT
"Pikiran yang kerdil adalah penyebab keras kepala, dan kita tidak menghargai apa yang ada di luar pandangan kita." Begitulah ungkapan yang disampaikan Francois de la Rochefoucauld seorang penulis asal Prancis yang terkenal akan kata bijaknya. Era media digital yang kita hadapi saat ini, dimana kita sebagai masyarakat digital dimudahkan dalam mengakses segala jenis informasi yang kita inginkan. Kemudahan mengakses informasi diinginkan membuat kita terlena akan kemudahan tersebut. Kita hanya menerima informasi yang sekiranya kita butuhkan tanpa menerima hal-hal lain penunjang dari informasi yang disajikan. Hal ini tentunya dapat mempersempit wawasan jika kita tidak memiliki keingintahuan yang besar.
ADVERTISEMENT
Banyak fenomena yang terjadi pada era digitalisasi media. Media sosial sebagai produk dari digitalisasi media menjadi saksi bagaimana fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat digital. Mulai dari meningkatnya empati terhadap seseorang di media sosial dan menimbulkan persatuan dalam kebaikan bahkan sampai menimbulkan perpecahan akibat sikap fanatik berlebihan, inilah yang disebut dengan the power of social media.
Mengapa hal ini bisa terjadi dengan mudah di media sosial?. Karena pola pikir masyarakat digital sekarang sangat mudah untuk dipengaruhi. Dalam kajian komunikasi hal ini merupakan perwujudan dari teori peluru yang menjelaskan bahwa media dapat memengaruhi manusia. Persatuan maupun perpecahan yang terjadi di media sosial semata-mata karena adanya pola pikir manusia yang telah dikotak-kotakan melalui media.
ADVERTISEMENT

Mengenal Pola Pikir Biner

Kata biner sering didengar dalam istilah matematika. Biner merupakan bilangan yang hanya mengenal dua simbol yaitu 0 dan 1. Sedangkan pola pikir biner jika pengertiannya ditarik dari definisi bilangan biner, pola pikir biner adalah kondisi dimana seseorang hanya mengenal ya atau tidak, bisa atau tidak bisa, setuju atau tidak setuju yang mutlak terhadap dua pilihan tanpa mengenal adanya istilah mungkin, bisa jadi, hampir, dan lain-lain.
Jika dilihat dari pengertiannya pola pikir ini tidak menimbulkan sesuatu yang berarti. Namun jika ditilik lebih lanjut, pola pikir inilah menjadi akar permasalahan yang kita temui dalam masyarakat digital. Kemudahan mengakses informasi yang diinginkan oleh masyarakat digital saat ini membuat kita hanya mengetahui apa yang kita ingin tahu saja. Tidak ada kesempatan informasi lain yang tidak ingin diakses. Seseorang yang memiliki pola pikir biner ini memungkinkan untuk fanatik terhadap informasi yang ia terima dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mutlak tanpa bisa diganggu gugat. Pemahaman seperti ini memungkinkan seseorang menjadi keras kepala akan argumen yang didapatkan dari sebuah informasi diyakini.
ADVERTISEMENT
Pola pikir biner jika diilhami semua masyarakat digital tentunya akan menimbulkan perpecahan besar yang bisa saja perpecahan ini bermuara ke kehidupan nyata. Dengan informasi yang terkesan sempit oleh seseorang yang mengilhami pola pikir ini akan merasa argumen ia yang paling benar tanpa ada sanggahan dari informasi-informasi lain yang disajikan kepadanya. Hal ini lah yang menyatakan bahwa pola pikir biner merupakan pola pikir yang merusak atau destruktif.

Gelut Dunia Maya Akibat Pola Pikir Biner

Sejak Pemilu 2019 , masyarakat sedang gencar-gencar nya mencari informasi di media sosial mengenai kontestasi politik tersebut. Kampanye politik sudah beralih ke dunia maya melalui media sosial. Dengan media sosial, kampanye akan lebih efektif dilakukan untuk meraih suara dari masyarakat. Berbagai cara dilakukan oleh para juru kampanye politik untuk promosi di media sosial, semata-mata untuk meraih suara dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Penggiat media sosial atau dikenal dengan istilah influencer menjadi juru kampanye menjanjikan pada kampanye politik di era digitalisasi media. Keuntungan dari seorang penggiat media sosial ini antara lain ia memiliki massa berupa pengikutnya di media sosialnya. Dengan konten yang ia miliki ia dapat membawa massa yang banyak. Kekuatan dari konten yang disajikan influencer ini tentunya membuat pengikut konten tersebut untuk menyatakan informasi yang ia dapat dari sang influencer adalah sebuah kebenaran yang mutlak menurutnya. Hal ini menunjukkan bagaimana kuatnya media dengan seorang influencer sebagai alatnya dapat menguasai banyak orang melalui konten-konten yang diberikan.
Sikap fanatik yang ditunjukkan dari masyarakat yang diterpa oleh informasi dari satu sisi merupakan wujud dari pola pikir biner di era masyarakat digital. Sehingga saat itu kita mengenal dua istilah yaitu ‘cebong’ dan ‘kadrun’ yang saling menyinggung dan menimbulkan perpecahan. Biasanya orang-orang dari kedua kelompok tersebut memiliki pemahaman yang sama mengenai argumen mereka di media sosial. Karena argumen tersebut berasal dari informan yang sama pula. Hal ini lah perwujudan pola pikir biner dalam masyarakat digital.
ADVERTISEMENT

Menghindari Pola Pikir Biner di Era Masyarakat Digital

Pola pikir biner merupakan istilah baru yang kita kenal pada era digitalisasi media. Masyarakat digital sangat rentan untuk terpengaruh dengan pola pikir biner ini jika tidak memanfaatkan media sosial dengan baik. Sebagai manusia di dunia nyata kita harus memandang objektif segala sesuatu yang disajikan kepada kita. Hal inilah yang harus kita pahami agar tidak terlena dalam kemudahan informasi yang ingin kita akses melalui media.
Dengan mengetahui dampak manusia saat ini yang mudah terlena akan kemudahan akses informasi. Membuat kita sadar bahwa manusia juga memiliki kekuatan untuk menyaring informasi yang diakses dan memandang segala hal secara objektif dan mendapatkan wawasan yang luas sehingga pikiran yang kita miliki tidak kerdil oleh kemanjaan yang ditawarkan oleh media saat ini. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita dalam menghadapi kehidupan digitalisasi media berikutnya terutama ketika kita akan menghadapi kampanye Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT