Pembangunan dan Kerusakan Lingkungan

Alfi Abdillah Ramadhani
Mahasiswa dari Yogyakarta, Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2022 8:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alfi Abdillah Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pembangunan. Sumber: Greg Reese, Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pembangunan. Sumber: Greg Reese, Pixabay
ADVERTISEMENT

Pembangunan dan Istilah Negara Maju - Berkembang

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Khazanah mengenai pembangunan, awalnya marak diperbincangkan saat-saat setelah Perang Dunia (PD) II baru saja selesai dan berlanjut pada perang dingin (cold war) yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Saat itu banyak belahan bumi yang porak poranda akibat perang, maka muncul semacam keinginan negara yang porak-poranda tadi untuk mengejar ketertinggalannya. Dari sini kemudian muncul istilah negara industri maju dan negara sedang berkembang. Untuk mempermudah pemahaman, awal mula istilah pembangunan yang dipahami secara ekonomi itu muncul sebagai solusi untuk menggerakkan negara-negara miskin itu menuju negara yang berkemajuan, dengan mengupayakan wilayah fisiknya dapat tertata kembali dan sumber daya manusianya juga dapat dibangun kembali dan dikembangkan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, paradigma pembangunan itu juga dipicu oleh persebaran ideologi akibat perang dingin pada saat itu, yakni komunisme dan kapitalisme. Kedua ideologi ini direpresentasikan oleh masing-masing pengusung dan pendukungnya yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat. Keduanya getol menyebarkan ideologi ini untuk meraih hati negara-negara tertentu demi kepentingan tertentu. Awalnya hal ini ditandai oleh bereaksinya Amerika Serikat terhadap Komunisme, dengan masuknya Kuba dan China sebagai negara Komunis pada 1960-an dan 1975.
Pembangunan telah dimaknai terhadap hal-hal yang tangible, pada wilayah implementasi. Hal ini dinilai masih menjadi suatu andalan dalam memajukan suatu wilayah. Misalnya, di sebagian wilayah Indonesia ini ketika kepala daerahnya baru terpilih, yang dilakukan adalah melakukan bongkar-pasang fisik wilayahnya. Yang dibongkar bisa trotoar, jalan raya, monumen-monumen, membangun pemukiman atau apapun itu yang penting bersifat fisik (physical) dan sangat mudah diakses oleh indera manusia (tangibel).
ADVERTISEMENT
Mungkin memang proyek pembangunan infrastruktur fisik memberikan dampak langsung yang baik bagi perekonomian. Misalnya, disebabkan adanya proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) berakibat pada pertumbuhan ekonomi yakni penyerapan tenaga kerja sekian ratus ribu orang.

Kerusakan Lingkungan dan Syahwat Korporasi Akibat dari Antroposentisme

Belakangan ini saya mendengar dan melihat berita-berita mengenai banjir yang terjadi di sebagaian wilayah tanah air. Bahkan, hingga menyebabkan kematian. Terjadinya banjir bisa dipicu oleh faktor alam dan juga faktor manusia. Saya pikir, dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang makin besar, menimbulkan persoalan yang makin besar juga, termasuk persoalan lingkungan.
Saya sendiri kurang tahu, seberapa banyak orang pada hari ini yang menyadari bahwa isu-isu mengenai lingkungan semakin hari, semakin deras digulirkan. Seberapa banyak orang menyadari bahwa lingkungan kita hari ini telah terlabeli dengan predikat terancam. Semakin rusaknya, misalkan hutan di Indonesia ini, disebabkan oleh pembangunan sektor industri.
ADVERTISEMENT
Kabarnya, deforestasi yang terjadi di Indonesia ini mencapai 50 hektar setiap harinya sejak 2007. Hal tersebut sangat miris. Mengingat, bahwa Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara dengan hutan yang luas sehingga mendapat atribusi sebagai paru-paru dunia pada kisaran tahun 2013. Justru, sekarang di Indonesia menanam pohon menjadi berharga. Siapa yang menanam pohon dalam konteks tertentu, ia akan mendapatkan penghargaan.
Ilustrasi Deforestasi. Sumber: Picography, Pixabay
Fenomena deregulasi dengan hadirnya UU. No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mencabut UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Oleh sejumlah pihak, hal ini mencerminkan bahwa dalam persoalan pelestarian pemerintah tidak memiliki komitmen serius untuk menjaga lingkungan untuk keberlangsungan kehidupan bangsa. Padahal, yang harus dipahami secara mendasar bahwa kita harus bersahabat dengan alam, bekerja sama dengannya, bukan mengeksploitasi semata demi alat pemuas syahwat korporasi.
ADVERTISEMENT
Mengenai terbakarnya hutan secara sengaja juga memperlihatkan kesewenang-wenangan kita dalam memperlakukan alam. Disaat dunia sedang kembali fokus pada pemulihan lingkungan, kita justru tanpa tedeng aling-aling, memperlihatkan terbakarnya hutan Indonesia secara sengaja sehingga tersebar dan dirasakan langsung oleh negara-negara tetangga bahkan menjadi isu dunia. Dalam rilis yang dipublikasikan Greenpeace Indonesia, total kebakaran hutan yang dilakukan oleh perusahaan yang terjadi di Indonesia sejak 2015 hingga 2019 seluas 4.440.500 hektar atau sekitar 27 kali luas DKI Jakarta.
Motif dari pembakaran hutan itu adalah demi kepentingan industri, membuka lahan baru untuk pembangunan sektor industri terutama industri kelapa sawit dan bubur kertas. Tentu ini adalah hal yang sembrono. Pembangunan dan industri yang berwawasan lingkungan pasti tidak berulah demikian. Ini sangat berisiko bagi masa depan generasi setelah kita. Udara sejuk, udara bersih sudah menjadi barang langka. Kita sedang menghadapi ancaman kerusakan lingkungan, punahnya sebagaian populasi makhluk hidup dan kerentanan manusia terhadap penyakit.
ADVERTISEMENT
Secara lebih abstrak, manusia semakin egois. Barangkali hal semacam inilah yang menengarai sensifitas kemanusiaan menjadi tumpul. Problem kemanusiaan yang ditengarai oleh cara pandang terhadap alam semesta yang sangat senjang. Manusia merasa bahwa ialah pusat dari keberlangsungan kehidupan (antroposentrisme).

Hanya Soal Keberpihakan: Pada Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat atau Pada Siapa?

Persengketaan ruang hidup selalu menjadi polemik yang tak terselesaikan. Dengan narasi pertumbuhan ekonomi, segala ide pembangunan dari pemerintah merupakan titah suci yang tidak boleh lagi dihentikan, tak boleh lagi diganggu gugat.
Ilustrasi Pertambangan. Sumber: Keesstes, Pixabay
Mengapa hal demikian terjadi dan sejak kapan hal itu terjadi. Semacam ada kecenderungan untuk enggan mendengar, melihat dan merasakan penderitaan kaum jelata, ketika seseorang itu berada di dalam kekuasaan. Seolah, kekuasaan ini harus dipahami seperti kereta yang sedang melaju. Apapun yang menghadang di depan, mau tidak mau akan ditrabas. Begitulah menurut saya, mental sebagian besar elit kekuasaan. Memang, terdapat suatu model penyerapan aspirasi, semacam langkah yang ditempuh untuk membuat dan memutuskan suatu kebijakan. Tetapi, normatifitas dalam pengolahan aspirasi itu menunjukkan bahwa hal itu dilakukan seolah-olah sebagai wujud kepantasan saja, tidak berada di wilayah substansi, yakni negara dikelola secara demokratis dan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
ADVERTISEMENT
Pembangunan di negara ini serasa hanya berfokus pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan investasi semata. Mungkin, sedikit dari kita yang membicarakan sudah sejahterakah bangsa kita? Sudah meratakah keadilan sosial dan ekonomi bangsa kita? Meskipun dalam pemutakhiran Rencana KerjaPemerintah (RKP) 2022, pemerintah menargetkan salah satunya pembangunan ekonomi (manusia dan pemerataan).
Tetapi pada realisasinya, target pertumbuhan ekonomi 6% per tahun itu harus dilakukan dengan cara meningkatkan penanaman modal asing yang berdampak pada eksploitasi sumber daya alam.
Secara teoritis, investasi lintas batas negara (asing) seringkali dianggap sebagai langkah untuk menciptakan situasi yang dapat mengerek perekonomian dalam negeri (tricle down effect), yakni perekonomian negara berkembang terhadap negara maju. Negara maju memahami bahwa industri adalah indikasi sebuah kemajuan. Negara berkembang pun ikut-ikutan berpikir demikian. Membuka pintu sebesar-besarnya bagi investasi asing dengan harapan kecipratan manfaat dari industrialisasi. Manfaat-manfaat itu bisa jadi dalam bentuk modal, transfer teknologi dan pengetahuan. Alih-alih mendapat manfaat kita hanya sedang menjadi lahan untuk memasarkan produk dari kegiatan-kegiatan negara maju itu dan mereka meninggalkan segudang persoalan lingkungan bagi kita. Kadang, ini semua hanya soal keberpihakan. Dalil-dalil atau kalimat penggerak itu bisa kita cari. Tetapi, keberpihakan ini harus diteguhkan. Kita bekerja untuk siapa. Untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran keturunan kita atau circle kita saja?
ADVERTISEMENT

Pancasila, Antara Ada dan Tiada

Justru disebabkan Indonesia ini menggebu-gebu dalam mengikuti tren pemahaman pembangunan negara entah berantah sana itu, kita jadi kehilangan jati diri. Cara pembangunan yang didasarkan pada pandangan industrialisasi itu beriringan dengan bencana ekonomi dan bencana ekologi.
Pancasila yang sedang yatim piatu itu (ada secara simbolis, tetapi tiada secara substantif) memang harus terus menerus dirawat dan ditegakkan, baik sebagai falsafah dan teori pembangunan kita. Sesuai dengan fitrah kita bahwa Indonesia ini adalah milik rakyat, bukan milik raja ataupun penguasa yang sedang berkuasa. Bukan milik organisasi tertentu. Bukan milik mayoritas. Sehingga, pembangunan pun harus bertumpu pada paham kerakyatan. Ekonomi juga harus bertumpu pada kerakyatan. Jika tidak bertumpu pada paham kerakyatan itu, maka bisa fatal akibatnya.
ADVERTISEMENT
Kita tidak mengenal apa, siapa, kapan, darimana dan bagaimana seharusnya kita hidup dan saling menghidupi. Mengapa bencana alam, bencana sosial, bencana ekonomi, bencana pendidikan dan bencana demi bencana terus melanda bangsa kita? Saya pikir jika melihat ahli-ahli pembangunan di bangsa kita ini tak kalah maju dengan ahli-ahli di belahan dunia lain. Melihat beribu-ribu sarjana yang tak kalah cerdas juga dengan sarjana dari belahan dunia.
Tetapi, pembangunan kita hanya berkonotasi fisik. Seperti belahan kanan dan kiri saat fase setelah perang dingin. Kita gagal menangkap dan menerjemahkan pembangunan itu. Justru kita masuk dalam fase over-development dimana paradigma pembangunan fisik dan upaya materialisasinya sudah begitu dominan. Seharusnya pembangunan itu berbicara mengenai bagaimana kita sejahtera bersama-sama, bagaimana keadilan bisa tegak di tanah air kita. Dari kita, oleh kita dan untuk kita.
ADVERTISEMENT

Tiga Persoalan Dasar yang Menjangkit

Sayyed Hossein Nashr dalam Antara Tuhan, Manusia dan Alam (1984) menyatakan bahwa hampir tidak ada lagi keseimbangan antara manusia modern dengan alam. Hidup mereka justru berposisi menantang alam, bukan bekerja sama. Hancurnya hubungan ini, disebabkan hubungan manusia sudah tidak lagi harmonis dengan Tuhan. Penggunaan sudut pandang yang dominan berdasar pada manusia, akan memicu menjadi-jadinya potensi keserakahan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Tidak hanya bagi sesama manusia, tetapi juga bagi alam semesta.
Kemudian, Prof. Didin S. Damanhuri dalam Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (2010) menyatakan bahwa dalam konteks keindonesiaan, kita semua mendekati menjadi bangsa pembohong dalam agama (yukadzzibu bi ad-diin) karena ketimpangan ekonomi yang buruk terjadi dalam bangsa kita, sehingga bangsa kita menjadi tidak berkah. Mengapa tidak berkah, karena kita sudah apatis terhadap rakyat kecil dalam hal ini spesifik disebut adalah anak yatim (al-yatiim) dan tidak memerdekakan orang miskin (al-miskiin). Hal ini terinspirasi oleh surat dalam Q.S. Al-Ma'un (teologi al-ma'un).
ADVERTISEMENT
Dari uraian diatas, kita bisa menarik apa saja persoalan-persoalan mendasar yang jika tak segera dicari solusinya, maka bisa fatal akibatnya dalam jangka panjang. Pertama, tidak harmonisnya hubungan kita dengan Tuhan. Kedua, ketidakmampuan kita dalam memposisikan alam sebagai mitra kehidupan. Ketiga, hubungan kita dengan rakyat kecil dalam hal penegakan keadilan sosial dan ekonomi.
Dalam hal perekonomian, kita harus berpihak kepada basis kerakyatan. Kita tidak bisa hanya mengikuti mazhab yang berpandangan bahwa cara untuk memajukan negara adalah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta ditunjang dengan pembukaan arus perdagangan internasional, dengan harapan adanya pergerakan modal dari negara maju dan transfer pengetahunan serta teknologi. Nyatanya, sudah sekian lamanya sejak dideklarasikan kemerdekaanya, Indonesia masih tergolong negara berkembang.
ADVERTISEMENT
Bereaksi terhadap ketimpangan dengan memperhatikan dan memerdekakan rakyat kecil adalah amanat agama sekaligus amanat konstitusi. UUD 1945 khususnya pasal 27, 33 dan 34 mengamanatkan agar kita memperhatikan dan memerdekakan rakyat kecil itu tanpa mengesampingkan rakyat besar. Tetapi penekanannya lebih kepada rakyat kecil untuk diperhatikan, karena mereka selalu berpotensi lebih besar untuk ditindas.
Sebagai tambahan, indeks gini Indonesia berada pada angka 0,39. Bila jumlah negara yang diakui dunia pada tahun 2021 sejumlah 195 negara, sedangkan Indonesia berada pada peringkat ke-62 ketimpangannya, artinya selama kurang lebih 77 tahun Indonesia merdeka, dengan total populasi per 2022 sebesar 275,6 juta jiwa, kita berada pada ketimpangan yang relatif tinggi. Ditambah, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dalam indeks kroni-kapitalisme, yang ini menandakan bahwa kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin itu masih betul-betul tinggi. Kroni-kapitalisme adalah sebuah istilah yang diartikan dengan siapa saja yang memperolh kekayaan karena memiliki kedekatan dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
---
ALFI ABDILLAH RAMADHANI Alumni Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pernah menjabat sebagai Ketua Umum HMI Komisariat Umar bin Khattab UII Yogyakarta dan sedang menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Referensi:
Damanhuri, S, D (2010) Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang. Bogor: IPB Press
Nasr, H, S (2021) Antara Tuhan, Manusia dan Alam. Yogyakarta: IRCiSoD
Greenpeace Indonesia dan Indef (2021) Keluar dari Ekonomi Ekstraktif, Menuju Ekonomi Hijau. Tersedia pada: https://indef.or.id/research/detail/keluar-dari-ekonomi-ekstraktif-menuju-hijau-dan-konstruktif (Diakses: 10 Oktober 2022).
Greenpeace Indonesia (2020) Karhutla dalam Lima Tahun Terakhir. Tersedia pada: https://www.greenpeace.org/indonesia/publikasi/44219/karhutla-dalam-lima-tahun-terakhir/ (Diakses: 10 Oktober 2022).
Kementerian PPN (2021) Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah tahun 2022: Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural. Tersedia pada: https://www.bappenas.go.id/datapublikasishowq=Rencana%20Pembangunan%20dan%20Rencana%20Kerja%20Pemerintah (Diakses: 11 Oktober 2022)
ADVERTISEMENT