Konten dari Pengguna

Dilema JPO vs Pelican Crossing: Mana yang Paling Inklusif untuk Jakarta?

Alifia Putri Yudanti
An ordinary girl who willing to learn more. Sedang belajar di Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia.
9 April 2025 12:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alifia Putri Yudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jembatan penyebrangan di Jakarta. (Sumber: Freepik/EyeEm)
zoom-in-whitePerbesar
Jembatan penyebrangan di Jakarta. (Sumber: Freepik/EyeEm)
ADVERTISEMENT
Dalam perencanaan kota yang ideal, setiap orang seharusnya memiliki akses yang adil terhadap fasilitas publik, termasuk sarana penyeberangan jalan. Namun, kenyataannya, banyak infrastruktur kota dirancang dengan bias tertentu yang mengutamakan kendaraan pribadi dibandingkan pejalan kaki.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), yang sering kali dianggap sebagai solusi keselamatan bagi pejalan kaki tetapi justru menyulitkan akses bagi kelompok tertentu, seperti perempuan yang sedang hamil, lansia, dan penyandang disabilitas.

Jembatan Penyeberangan Orang: Solusi yang Kurang Inklusif?

Awalnya, JPO dibangun sebagai solusi untuk menghindari konflik antara kendaraan dan pejalan kaki di jalan-jalan sibuk. Dengan mengalihkan arus pejalan kaki ke atas, kendaraan dapat terus melaju tanpa gangguan. Namun, menurut Maseko, dkk. (2024) meskipun terlihat ideal dalam teori, JPO menghadirkan berbagai permasalahan dalam implementasinya, terutama terkait aksesibilitas dan keamanan.
Hal ini menandakan bahwa ruang perkotaan dibangun atas dasar politisasi relasi kuasa. Sebagai seorang pelopor geografi feminis, Doreen Massey dalam bukunya Space, Place, and Gender (1994) menjelaskan bahwa keputusan pembangunan JPO mengenai lokasi dan desain infrastruktur ini bisa mencerminkan siapa yang memiliki kuasa dalam perencanaan kota.
ADVERTISEMENT
Meskipun tujuan awal JPO adalah meningkatkan keselamatan pejalan kaki, cara desainnya justru membuat mobilitas pejalan kaki menjadi lebih sulit dibandingkan kendaraan pribadi. Hal ini menciptakan persepsi bahwa kota lebih ramah bagi pengendara dibandingkan pejalan kaki, yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk lebih memilih kendaraan pribadi ketimbang berjalan kaki atau menggunakan transportasi publik. Secara tidak langsung, hadirnya JPO justru memperburuk masalah kemacetan.
Selain itu, jika JPO lebih banyak dibangun di area yang mengutamakan kendaraan pribadi daripada pejalan kaki, saya melihat ini sebagai bentuk dominasi mobilitas berbasis kendaraan pribadi atas hak akses pejalan kaki. Terlebih, menurut Massey, mobilitas dalam kota sangat dipengaruhi oleh gender.
Laki-laki cenderung memiliki kebebasan mobilitas yang lebih besar karena mereka lebih sering menggunakan kendaraan pribadi dan memiliki akses ke ruang-ruang yang lebih luas. Sementara itu, perempuan dan kelompok rentan lainnya lebih bergantung pada infrastruktur yang disediakan negara. Ketika infrastruktur kota lebih memihak pada pengguna kendaraan, maka ketimpangan akses ini semakin diperkuat dan menjauhkan kota dari prinsip keadilan ruang.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika pembangunan JPO tidak mempertimbangkan aspek kenyamanan dan keamanan, hal ini justru memperburuk ketidaksetaraan mobilitas dan membatasi akses perempuan ke ruang-ruang publik. Misalnya saja, penerangan yang buruk tentu akan membuat perempuan lebih rentan terkena pelecehan.
Bagi orang dengan keterbatasan fisik, termasuk lansia dan penyandang disabilitas, tangga yang tinggi dan panjang menjadi hambatan besar. Meskipun beberapa JPO telah dilengkapi dengan lift, sayangnya lift ini sering kali tidak berfungsi atau bahkan dikunci untuk mencegah vandalisme. Akibatnya, mereka yang memiliki mobilitas terbatas sering kali terpaksa menyeberang langsung di jalan, yang justru meningkatkan risiko kecelakaan.
Saya pun–sebagai penyintas disabilitas sementara–pernah merasakan pengalaman yang kurang mengenakan saat menggunakan JPO. Ketika saya harus berjalan dengan kruk menuruni anak tangga satu per satu, saya merasa kesulitan ditambah mobilitas orang-orang pada saat itu masih cukup tinggi. Namun, saya tidak memiliki pilihan lain, walaupun dalam hati saya merutuki nihilnya lift sebagai fasilitas bagi teman-teman disabilitas.
ADVERTISEMENT
Padahal, berdasarkan penelitian Mone dkk. (2024), faktor utama yang mempengaruhi penggunaan JPO di beberapa kota di Indonesia adalah aksesibilitas (kemudahan akses) sebesar 50% dan kenyamanan dari segi lampu penerangan sebesar 32%. Hasil ini menunjukkan bahwa aksesibilitas merupakan faktor paling krusial dalam menentukan apakah JPO benar-benar digunakan oleh masyarakat.
Permasalahan tersebut menunjukkan bagaimana ruang dibangun tanpa mempertimbangkan pengalaman kelompok yang berbeda. Sebaliknya, menurut saya, pilihan untuk membangun pelican crossing bisa memberikan akses langsung di level jalan lebih inklusif bagi semua pengguna, mulai dari lansia, penyandang disabilitas, hingga ibu dengan anak kecil.

Pelican Crossing: Solusi yang Lebih Ramah dan Inklusif

Pelican crossing memberi ruang yang adil bagi seluruh pengguna jalan. Bagi lansia, penyandang disabilitas, ibu yang mendorong kereta bayi, maupun pelajar yang berjalan kaki, pelican crossing adalah solusi yang memudahkan dan memanusiakan. Tidak seperti JPO yang “memaksa” pejalan kaki melakukan usaha fisik ekstra, pelican crossing mengembalikan hak pejalan kaki sebagai bagian dari ekosistem jalan raya yang setara.
ADVERTISEMENT
Bahkan, banyak penelitian mendukung efektivitas sistem ini. Malkamah, dkk., (2005) menunjukkan pelican crossing secara signifikan menurunkan angka kecelakaan, karena kendaraan benar-benar berhenti selama pejalan kaki menyeberang. Hal ini menciptakan rasa aman yang nyata, bukan sekadar formalitas infrastruktur.
Tidak hanya melindungi pejalan kaki, pelican crossing juga memiliki efek jangka panjang terhadap perilaku berkendara. Di negara-negara seperti Inggris, Australia, hingga Singapura, pengemudi diwajibkan menghentikan kendaraan saat lampu merah pelican crossing menyala. Pelanggaran terhadap aturan ini bahkan bisa berujung pada denda dan penalti SIM. Regulasi yang tegas seperti ini turut membentuk budaya lalu lintas yang lebih disiplin dan menghargai hak pengguna jalan lain.
Ilustrasi dua orang sedang menyebrang di zebra cross. (Sumber: Freepik)
Di Indonesia, meskipun tantangan utamanya adalah budaya berkendara yang belum sepenuhnya tertib, pelican crossing justru bisa menjadi intervensi yang mendorong perubahan tersebut. Ketika infrastruktur mulai memberi ruang pada pejalan kaki dan disertai dengan penegakan hukum yang konsisten, maka perlahan kita bisa menggeser kebiasaan berkendara yang selama ini terlalu didominasi oleh kendaraan pribadi.
ADVERTISEMENT
Namun, penting juga untuk mengakui bahwa pelican crossing bukan tanpa kekurangan. Salah satu tantangan utamanya adalah rendahnya tingkat kepatuhan pengemudi di Indonesia terhadap rambu lalu lintas. Dalam laporan Kompas.com (2023), seorang pengguna pelican crossing mengaku sering “diserobot” oleh pengendara yang tidak menghentikan laju kendaraannya, meskipun lampu sudah menunjukkan tanda merah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun desain infrastruktur sudah inklusif dan aman, tetap dibutuhkan perubahan perilaku serta penegakan hukum yang kuat. Pelican crossing tidak akan efektif bila pengemudi tidak dididik untuk mematuhi aturan dan tidak ada konsekuensi nyata bagi pelanggaran. Oleh karena itu, edukasi publik, kampanye keselamatan jalan, serta teknologi penegakan seperti CCTV dan tilang elektronik harus berjalan beriringan agar sistem ini dapat berfungsi optimal.
ADVERTISEMENT
Selain unggul secara inklusivitas dan keamanan, pelican crossing juga lebih ekonomis. Pembangunan JPO memerlukan anggaran besar untuk konstruksi, termasuk struktur besi, tangga, hingga fasilitas tambahan. Sebagai contoh, renovasi JPO Universitas Tarumanagara menelan biaya hingga Rp2,89 miliar (Miswanda, 2021). Sebaliknya, Pemerintah Kota Samarinda pada tahun 2024 hanya mengalokasikan Rp477 juta untuk pembangunan pelican crossing di dua titik strategis (Samarinda Post, 2024).
Dari sisi perawatan, pelican crossing juga jauh lebih sederhana. Tidak ada komponen berat yang harus diperiksa rutin, cukup memastikan tombol berfungsi, lampu menyala dengan baik, dan zebra cross tetap terlihat jelas. Dengan demikian, pelican crossing adalah investasi infrastruktur yang lebih efisien secara jangka panjang.
Pelican crossing juga punya peran penting dalam mendorong mobilitas yang lebih berkelanjutan. Jika ditempatkan secara strategis–dekat halte bus, stasiun kereta, atau kawasan sekolah, misalnya–fasilitas ini akan meningkatkan aksesibilitas terhadap transportasi publik. Ketika penyeberangan jadi mudah dan aman, orang cenderung memilih berjalan kaki dan naik kendaraan umum dibandingkan menggunakan mobil pribadi. Hal ini tentu berdampak positif bagi pengurangan emisi, kemacetan, dan pencemaran udara.
ADVERTISEMENT
Kota yang baik bukanlah kota yang cepat untuk kendaraan, melainkan kota yang aman dan nyaman bagi warganya. Pelican crossing menawarkan jalan keluar dari desain kota yang terlalu lama hanya berpihak pada kendaraan pribadi. Meski masih menghadapi tantangan perilaku pengendara, dengan pendekatan sistemik dan kolaboratif, antara desain, kebijakan, dan edukasi, pelican crossing bisa menjadi simbol kemajuan menuju kota yang lebih adil dan ramah bagi semua.
Karena pada akhirnya, ruang kota bukan milik satu golongan saja. Seperti kata Massey, ruang selalu terbentuk melalui interaksi sosial dan harus terus direbut kembali oleh mereka yang selama ini tidak diberi tempat, termasuk para pejalan kaki. Karena, infrastruktur kota sudah seharusnya memberikan ruang yang setara bagi semua pengguna jalan, bukan hanya para pemilik kendaraan beroda.
ADVERTISEMENT

Daftar Referensi

Malkhamah, S., Tight, M., & Montgomery, F. (2005). The development of an automatic method of safety monitoring at Pelican crossings. Accident Analysis & Prevention, 37(5), 938-946.
Maseko, W. T., Adedeji, J. A., Bashingi, N., & Honiball, J. (2024). Evaluating the current state of pedestrian facilities in peri-urban and urban areas: a case study of Pietermaritzburg City. The Open Transportation Journal, 18(1).
Massey, D. (1994). Space, place and gender. John Wiley & Sons.
MISWANDA, A. (2021). ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN DESAIN TERHADAP WAKTU DAN BIAYA PADA PELAKSANAAN PROYEK RENOVASI DAN PENYAMBUNGAN JEMBATAN PENYEBERANGAN ORANG (JPO) KAMPUS I DAN II UNTAR (Doctoral dissertation, Universitas Mercu Buana Jakarta).
Mone, S. G., Seran, E. N. B., & Pedo, K. S. W. (2024). Evaluasi Kelayakan dan Faktor Penggunaan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Local Engineering, 2(1), 41-48.
ADVERTISEMENT
Olivia, X., & Sari, N. (2023, 26 Februari). "Pelican Crossing" Diterobos Kendaraan, Warga: Bingung kalau Menyeberang, padahal Rambunya untuk Pejalan Kaki. Kompas.com. Diakses pada 5 April 2025.
Redaksi Sapos. (2024, 16 Desember). Rp 477 Juta untuk Pelican Cross, Dua Taman Jadi Prioritas. Samarinda Post. Diakses pada 5 April 2025.
___________________________________________
Alifia saat ini adalah mahasiswi Program Studi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.