Sejarah Feminisme Barat, Perjuangan untuk Keadilan Gender

Alifia Putri Yudanti
An ordinary girl who willing to learn more. Sedang belajar di Program Studi Indonesia, Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
9 Maret 2021 12:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Alifia Putri Yudanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Feminisme memiliki stigma yang cukup buruk belakangan ini. Padahal feminisme memiliki arti yang lebih dalam dari stigma yang beredar. Benarkah feminisme ingin menindas kaum laki-laki?
ADVERTISEMENT
Stigma yang mengatakan kalau feminisme menginginkan derajat seorang perempuan terhadap laki-laki lebih tinggi adalah salah besar. Para feminis hanya ingin mencapai keadilan yang nyata untuk semua gender.
International Women's Day 1911. Foto: Hulton Deutsch/Getty Images
Gerakan ini lahir pada masyarakat yang masih terdapat sistem patriarki. Patriarki sendiri adalah sistem otoritas laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik, dan ekonomi. Dalam artian, laki-laki memiliki akses dan keuntungan yang lebih besar daripada perempuan.

Sejarah Gerakan Feminisme Barat

Pada zaman Yunani dan Romawi Kuno sebenarnya gerakan feminisme sudah muncul, namun tidak secara terang-terangan. Misalnya saja Plato yang menuliskan dalam bukunya Republik kalau perempuan dapat berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara. Hal ini juga menjadikannya sebagai feminis laki-laki pertama. Meskipun beberapa pemikirannya terhadap perempuan masih memiliki kecacatan.
ADVERTISEMENT
Feminisme di biara muncul pada abad pertengahan. Gerakan ini diinisiasi oleh para biarawati yang menolak hierarki dan dominasi di gereja dengan perspektif maskulin. Para perempuan kemudian membentuk suatu komunitas yang saling memberi dukungan satu sama lain.
Pada 1405, seorang Filsuf Prancis, Christine de Pizan, menulis buku yang berjudul The Book of The City of Ladies. Buku ini menggambarkan masyarakat utopis yang menempatkan perempuan memiliki kebebasan layaknya laki-laki.
Marie de Gournay. Foto: arlea.fr
Selain de Pizan, terdapat pula Marie de Gournay, yang menulis buku The Equality of Men and Women (1622) dan menjadi titik mula pemikiran mengenai equal rights.
Masa Renaissance juga memunculkan berbagai tokoh perempuan. Olympe de Gouges adalah salah satunya, ia merupakan aktivis HAM dan seniman Prancis yang menulis Declaration of The Rights of Women and The Female Citizen (1791). de Gouges menikah pada umur 17 tahun.
ADVERTISEMENT
Setelah menikah, ia justru banyak menulis mengenai pemikiran politik terutama tentang penolakan perbudakan, hak perceraian, dan isu sosial lain. Ia menciptakan konsep “Bon Mot” mengenai perempuan memiliki hak dalam kegiatan politik. Namun, kritikannya yang keras terhadap rezim Robespierre membuatnya harus dihukum mati.
Mary Wollstonecraft merupakan Filsuf Inggris yang datang ke Revolusi Prancis untuk menyuarakan pendapatnya. Ia menulis buku yang terkenal, yaitu A Vindication of The Rights of Women (1792).
Wollstonecraft mengkritik pemikiran bahwa perempuan harus bergantung pada laki-laki. Ia juga mengkritik pemikiran Filsuf Prancis, J.J. Rousseau, mengenai perempuan yang diciptakan untuk membantu dan membuat senang laki-laki.

Isu-Isu Awal Gerakan Perempuan Barat

Pada awal 1800-an muncul isu yang sering dibahas mengenai diskriminasi gender dan kelas. Hal ini menyebabkan pemikiran mengenai harapan kesetaraan dan kehidupan yang layak.
ADVERTISEMENT
Salah satu tokohnya adalah Claire Demar yang merupakan seorang jurnalis, penulis, dan anggota gerakan Saint-Simonism. Gerakan Saint-Simonism banyak menyampaikan kritik dan pertanyaan mengenai persoalan gender.
Jeanne Deroin, seorang feminis-sosialis Perancis, membagikan pemikiran kalau kesetaraan tidak akan pernah terjadi jika perempuan selalu diwakili oleh laki-laki. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki perbedaan dalam preferensi sehingga harus mewakili dirinya masing-masing.
Penulis The Worker’s Union (1843), Flora Tristan, memiliki ide kalau pekerja perempuan dan laki-laki harus memiliki kesempatan profesional yang sama. Tristan menolak opresi terhadap kaum perempuan dan proletar.
Terdapat pertemuan besar pertama, yaitu Seneca Falls Convention yang digelar pada 1848 di Seneca Falls, New York. Pertemuan ini membahas mengenai hak perempuan dan keadilan gender. Pertemuan yang dihadiri oleh 300 peserta ini menghasilkan Declaration of Rights and Sentiments.
ADVERTISEMENT
Sojourner Truth, seorang pekerja kulit hitam yang hadir pada Konvensi Hak Asasi Wanita Ohio pada 1851, mengkritik gerakan perempuan pada era tersebut yang cenderung berpihak pada ras dan kelas tertentu. Karena hal itu, ia lantas bertanya: ain’t I woman?
Sojourner Truth. Foto: feminisminindia.com
Setelah muncul gerakan dan isu-isu perempuan, kemudian hadir gelombang feminisme yang memunculkan berbagai teori feminisme. Sejarah dan isu awal perempuan menjadi hal penting dalam kemunculan teori feminisme yang tidak dapat dilupakan.
Melalui sejarah, kita dapat mengetahui bagaimana perjuangan untuk meraih keadilan itu sangat sulit. Namun, karena tekad dan perjuangannya yang gigih, serta dilakukan secara kolektif ketidakmungkinan itu berubah menjadi kemungkinan.
Feminisme bukan merupakan suatu kemutlakkan definisi karena setiap zamannya memiliki pemahaman feminisme yang berbeda, namun tetap mencapai tujuan yang sama, yaitu keadilan dan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
------------------
Penulis adalah seorang mahasiswi Program Studi Indonesia Universitas Indonesia.