Konten dari Pengguna

Menelisik Arah Pendidikan SMA: Haruskan Kembali Ke Jurusan?

KASMAN RENYAAN
Akademisi Universitas Banda Naira
14 April 2025 14:27 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KASMAN RENYAAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret siswa dan guru MA AL-MUSLIM TOMI-TOMI, Dusun Tomi-Tomi, Desa Tahalupu, Kecamatan Huamual Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Usai Melaksanakan Ujian Madrasah Tahun Pelajaran 2024/2025. Sumber Foto :  Azilva R'a Buton.
zoom-in-whitePerbesar
Potret siswa dan guru MA AL-MUSLIM TOMI-TOMI, Dusun Tomi-Tomi, Desa Tahalupu, Kecamatan Huamual Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Usai Melaksanakan Ujian Madrasah Tahun Pelajaran 2024/2025. Sumber Foto : Azilva R'a Buton.
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat Satuan Pendidikan Menegah Atas (SMA) yang akan diberlakukan mulai tahun Pelajaran 2025/2026. Wacana perubahan kebijakan ini telah dibocorkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, di ruang public. Jika kebijakan ini benar diberlakukan pada bulan Juli nanti, maka arah pendidikan nasional Indonesia kini tampaknya sedang bergerak mundur, meninggalkan semangat merdeka.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, wacana pengembalian sistem penjurusan justru mencuat di saat banyak satuan pendidikan di daerah belum menyelesaikan satu siklus penuh implementasi Kurikulum Merdeka—yang baru mulai diterapkan secara merata pada tahun ajaran 2024/2025 tanpa sistem penjurusan. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan tentang cara validitas evaluasi yang dilakukan. Padahal, dalam teori evaluasi sistem pendidikan, efektivitas suatu kebijakan pendidikan seharusnya diukur setelah melalui satu siklus utuh.
Pada titik subjektif ini, kebijakan untuk mengembalikan sistem penjurusan di tingkat SMA terkesan terburu-buru dan minim refleksi terhadap dinamika yang terjadi pada tingkat satuan pendidikan di seluruh daerah.
Jika alasan yang disampaikan oleh Mu’ti, merujuk pada masukan dari Forum Rektor—berkaitan temuan adanya lulusan jurusan IPS yang diterima di Fakultas Kedokteran—maka yang seharusnya dipertanyakan adalah: bagaimana sebenarnya sistem seleksi awal masuk di universitas tersebut? Apakah permasalahan ini cukup menjadi alasan untuk mengembalikan sistem penjurusan lama secara nasional?
ADVERTISEMENT
Mengambil satu contoh kasus sebagai dasar pijakan merubah kebijakan nasional tentu sangat disayangkan. Alih-alih membenahi sistem seleksi di perguruan tinggi, justru jenjang pendidikan menengah yang kembali dijadikan sasaran perubahan kebijakan tersebut.
Siswa dan guru MA AL-MUSLIM TOMI-TOMI, Dusun Tomi-Tomi, Desa Tahalupu, Kecamatan Huamual Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, sedang mengikuti Apel Pagi di Halaman Sekolah. Sumber Foto : Azilva R'a Buton.
Di tengah era disrupsi, ketika dunia menuntut fleksibilitas, pembelajaran lintas disiplin, dan personalisasi pendidikan, sistem pendidikan Nasional Indonesia justru putar arah ke buritan. Dalih bahwa penjurusan kembali dihidupkan untuk merespons keluhan perguruan tinggi terhadap kesiapan akademik mahasiswa baru, sejatinya mencerminkan pendekatan simplistik terhadap persoalan pendidikan yang kompleks.
Persoalan keterputusan antara sekolah menengah dan pendidikan tinggi tidak saja berkaitan dengan struktur kurikulum, melainkan kebijakan yang adil terhadap infrastruktur ekosistem pendidikan: lemahnya asesmen minat dan bakat, absennya bimbingan karier yang relevan, dan ketimpangan mutu pendidikan antarwilayah—dari kota ke desa, dari pusat ke pinggiran, dari pulau-pulau besar ke pulau kecil. Banyak ketimpangan infrastruktur pendidikan yang terjadi di lapangan, belum dibenahi secara nasional dengan baik.
Suasana Sekolah dan Guru-Guru MA AL-MUSLIM TOMI-TOMI, Dusun Tomi-Tomi, Desa Tahalupu, Kecamatan Huamual Belakang Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Sumber Foto : Azilva R'a Buton.
Kebijakan Kurikulum Merdeka yang dicetuskan menteri sebelumnya, ada benarnya untuk menghapus dominasi sistem penjurusan yang menciptakan hierarki semu di dunia pendidikan. Pasalnya, asumsi jurusan IPA dianggap lebih unggul, sementara IPS dan Bahasa sering dipandang sebagai pilihan kelas dua—sebuah stigma yang telah lama mengakar.
ADVERTISEMENT
Fenomena semaca ini seringkali saya temukan di lapangan, khususnya saat berdialog dengan mahasiswa baru di Universitas Banda Naira, Maluku. Ketika ditanya alasan memilih jurusan IPS, khususnya Pendidikan Sejarah, banyak di antara mereka yang menjawab dengan nada ragu, bahkan cenderung malu-malu. Mereka seolah merasa kurang percaya diri jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang memilih jurusan dari rumpun IPA, seperti Pendidikan Matematika.
Stigma ini tak berhenti di bangku kuliah. Ketika memasuki dunia kerja, lulusan dari berbagai jurusan masih harus menghadapi kenyataan bahwa beberapa instansi pemerintah cenderung lebih mempertimbangkan latar belakang jurusan. Padahal di sektor swasta, hal semacam ini tak berlaku mutlak—yang lebih dilihat justru keterampilan (skill), pengalaman, dan kompetensi praktis.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah sistem penjurusan saat ini benar-benar relevan dengan kebutuhan dunia kerja? Jika jurusan tidak menjamin kesiapan kerja, dan banyak lulusan—baik dari IPA, IPS, maupun Bahasa—masih menganggur. Alih-alih kembali ke pola lama yang terbukti tidak efektif, kita perlu terus mencari model pendidikan yang lebih adaptif dan kontekstual. Jika ada pola baru yang lebih unggul dan relevan dengan tantangan zaman, itulah yang harus dijajaki dan dikembangkan—bukan justru mundur ke belakang.
ADVERTISEMENT
Manajemen kebijakan sistem pendidikan Nasional, semestinya tidak hanya mempertimbangkan kecenderungan akademik siswa ketika masuk ke perguruan tinggi, tetapi juga mengarahkan mereka pada kompetensi yang aplikatif dan berkelanjutan saat menghadapi di dunia kerja yang kompetitif.
Kurikulum Merdeka hadir untuk meruntuhkan sekat-sekat keilmuan, memberi ruang bagi siswa mengeksplorasi minat, mengenali jati diri, dan merancang jalur belajar sesuai potensi masa depan.
Menghidupkan kembali sistem penjurusan berarti menghidupkan kembali bias lama—seolah hanya IPA yang menjamin masa depan, sementara IPS dan Bahasa hanyalah pelengkap tanpa arah. Ini merupakan langkah mundur bukan semangat kemajuan.
Ironisnya, alih-alih memperkuat sistem pendampingan karier, meningkatkan literasi minat dan bakat, serta membangun sinergi kurikulum antara SMA dan perguruan tinggi, kebijakan menteri pendidikan kini justru menempuh jalan pintas: mengembalikan model yang terbukti membatasi. Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang menggantikan Ujian Nasional pun masih terjebak dalam logika seleksi berbasis tes semata, yang paradoksal dengan semangat Kurikulum Merdeka itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pendidikan semestinya lahir dari riset mendalam, uji coba yang cermat, dan dialog terbuka lintas jenjang pendidikan. Pendidikan bukan instruksi dari atas ke bawah. Ia adalah ruang tumbuh bersama antara peserta didik, guru, keluarga, dan masyarakat—sebuah ekosistem yang adaptif, konsisten, dan peka terhadap masa depan yang tak menentu.
Sayangnya, pendidikan kita masih terlalu sering menjadi korban tarik-ulur kebijakan elitis dari atas, tanpa melihat ke bawah. Setiap pergantian menteri menghadirkan visi baru tanpa evaluasi terhadap yang lama. Guru dan siswa pun menjadi subjek eksperimen yang tak kunjung selesai, menanggung beban inkonsistensi yang seharusnya tidak mereka pikul.
Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memiliki ribuan pulau kecil yang sebagian besar berpenghuni dan memiliki satuan pendidikan jenjang SMA/MA/SMK, masing-masing dengan tantangan yang berbeda. Fakta geografis ini bukan sekadar mengukur angka dalam statistik, tetapi cermin nyata dari keragaman kondisi yang membentuk wajah pendidikan nasional. Di balik bentangan pulau-pulau itu, tersimpan realitas yang menuntut perhatian lebih—bahwa akses dan mutu pendikan yang seragam perlu dijejaki dengan semangat sila kelima Pancasila.
ADVERTISEMENT
Di wilayah kepulauan, tantangan pendidikan jauh lebih kompleks dan berlapis. Jangankan bicara soal fleksibilitas kurikulum atau pembelajaran berbasis teknologi, akses terhadap pendidikan dasar yang layak dan bermutu saja masih menjadi perjuangan harian bagi banyak siswa dan guru. Ketimpangan ini bukan hanya soal fasilitas fisik, tapi juga soal jarak, isolasi geografis, dan minimnya perhatian kebijakan Nasional yang sering kali berpusat pada wilayah daratan dan perkotaan, sedangkan wilayah tertinggal dan marjinal terabaikan.
Karena itu, solusi pendidikan nasional tidak bisa dibangun dengan pendekatan seragam. Pendidikan di Indonesia harus bersifat kontekstual—berakar pada realitas sosial, geografis, dan kultural tiap-tiap daerah. Sistem pendidikan yang efektif di kota besar belum tentu relevan di pulau-pulau kecil yang terpencil, tertinggal dan terdepan (3T). Kita butuh pendekatan yang adaptif, yang memahami bahwa membangun pendidikan di Indonesia bukan soal menyamakan, tapi soal menyesuaikan tanpa mengorbankan mutu dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Sebagai solusi, pertama, pemerintah perlu menghadirkan sistem asesmen nasional yang tidak hanya berbasis teknologi tinggi, tetapi juga dapat diterapkan di sekolah-sekolah sederhana di pulau-pulau kecil.
Kedua, setiap satuan pendidikan pelu ada pendamping karir yang memahami potensi peserta didik, buka saja diemban oleh guru BK, tetapi juga dapat melibatkan tokoh masyarakat, alumni, atau profesional yang mampu menginspirasi masa depan generasi bangsa.
Ketiga, kurikulum sekolah menengah perlu disinergikan secara aktif dengan perguruan tinggi, kompetensi lulusan dan dunia kerja. SMA/MA/SMK di wilayah kepulauan harus diberi ruang untuk mengembangkan kurikulum kontekstual berbasis kearifan lokal tanpa kehilangan mutu.
Keempat, pemerataan mutu pendidikan harus diwujudkan melalui intervensi afirmatif yang nyata dan berkelanjutan. Ini mencakup pembangunan infrastruktur pendidikan yang merata, perluasan digitalisasi di wilayah 3T, distribusi guru berkualitas secara adil—tanpa membedakan sekolah negeri dan swasta—serta pemberian insentif khusus bagi mereka yang bersedia mengabdi di daerah terpencil dan pulau-pulau kecil.
ADVERTISEMENT
Kelima, satuan pendidikan tidak boleh terus-menerus menjadi korban eksperimen kebijakan politis yang ganti menteri ganti kebijakan. Kemajuan pendidikan bukan diukur dari jargon atau riuhnya perubahan regulasi, tetapi dari konsistensi dalam menghadirkan harapan bagi semua anak bangsa—termasuk siswa yang selama ini hanya melihat "kemajuan" Indonesia lewat layar televisi dan social media.
Apabila pendidikan terus dibangun dengan retorika tanpa keberpihakan yang konkret, maka yang kita wariskan bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang dibungkus dengan istilah-istilah indah. **