Lika-liku Profesi Driver: Terlihat Ringan, tapi Nyawa Jadi Taruhan

Ana Dwi Itsna Pebriana
Editor di Penerbit Mizan Pernah belajar di UI(N) Bandung
Konten dari Pengguna
6 Maret 2023 7:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ana Dwi Itsna Pebriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumentasi pribadi, Ana Dwi Itsna Pebriana, Jakarta (22/02/2023).
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumentasi pribadi, Ana Dwi Itsna Pebriana, Jakarta (22/02/2023).
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu, saya bersama rekan kerja saya pergi dinas ke luar kota, Jakarta. Seperti biasa, bila masih di sekitar Jawa Barat, kami akan diantar oleh driver kantor. Saat itu, driver yang ditugaskan (sebut saja) adalah Pak De, driver profesional yang sudah cukup lama bekerja di balik kemudi mobil.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Bandung-Jakarta kurang lebih memakan waktu 4 jam. Tidak mungkin, dong, ya, selama 4 jam perjalanan itu tidak ada obrolan yang meramaikan suasana. Kami pun saling berbagi cerita dan pandangan tentang berbagai hal. Lebih tepatnya ngaler-ngidul, segala objek yang terlintas di kepala atau yang ada di depan mata, bisa menjadi bahan obrolan yang seru.
Ada obrolan menarik dan cukup membuat saya termenung saat perjalanan pulang ke Bandung. Ketika itu, hujan turun deras sekali mengguyur Jakarta, kaca-kaca mobil pun nyaris tertutup dan sulit sekali melihat jalanan. Di situlah awal mulanya. Saat saya dan rekan sedang asyik membahas soal lika-liku pekerjaan dan hikmah apa di baliknya, Pak De yang terlihat sudah geregetan, ikut menimpali.
Ilustrasi pasangan kesal saat tengah menyetir Foto: Shutter Stock
Nih, ya, kalo benda rusak atau hilang, tinggal diganti. Gampang. Tapi, kalo urusannya orang (celaka atau lainnya), nyawa yang jadi taruhan. Ngeri, kan,” lalu, dilanjut dengan cerita rekan sesama driver-nya, di perusahaan yang sama, yang baru-baru ini mengalami kejadian bocor ban di tengah jalan.
ADVERTISEMENT
Situasi tersebut tentu saja akan sangat membuat siapa pun panik. Apalagi, saat itu, sang driver sedang mengantar CEO. Syukurlah pada akhirnya, masalah tersebut bisa diatasi dengan baik. “Kerjaannya terlihat sepele dan ringan, tapi tanggung jawabnya jelas gak ringan,” sambung Pak De menutup ceritanya.
Kisah Pak De tadi ternyata masih berlanjut dengan adanya panggilan yang menginstruksikan Pak De untuk siap-siap bertugas kembali besok pagi. Tidak terbayang bagaimana lelah dan kantuk yang dirasakan.
Saya saja yang hanya berdiam diri di kursi penumpang, bahkan dengan leluasa bisa tidur dengan nyaman, masih sering merasa sangat lelah bila setelah bepergian. Padahal, di mobil hanya duduk. Betul-betul tidak melakukan aktivitas apa pun yang melelahkan. Tapi, rasanya badan letih sekali dan ingin segera rebahan dengan nyaman.
ADVERTISEMENT
Salut sekali dengan para driver yang bisa kuat menahan kantuk, padahal baru tidur beberapa jam. Dan tak lama, masih harus bertugas mengantar penumpang. Faktor "sudah biasa" mungkin jadi salah satu alasan, ya.

Setiap Pekerjaan Berisiko

com-Ilustrasi seseorang sedang menyetir Foto: Shutterstock
Mendengar cerita tadi, membuat saya jadi merenung sejenak. Iya juga, ya. Selama ini saya sering kali berpikir, profesi driver itu kayaknya cukup santai dan mudah. Hanya berbekal pandai nyetir, semua orang mampu jadi driver.
Tapi, ternyata tidak semudah itu. Menyetir di jalan raya ibaratnya bertarung dengan banyak orang yang punya berbagai kepentingan. Ada yang terburu-buru, ada yang bersantai di balik kemudinya, ada juga yang semalaman begadang, tapi terpaksa harus menyetir mobil di jalanan.
ADVERTISEMENT
Membayangkannya saja sudah membuat saya ngeri. Berat sekali rasanya jadi driver. Belum lagi dengan driver-driver ojek online maupun konvensional (motor atau mobil) yang betul-betul mempertaruhkan keselamatan dirinya dan juga penumpangnya, yang sama sekali tidak mereka kenal.
Sama halnya juga dengan driver pengantar makanan yang harus bergegas mengantarkan pesanan pelanggannya. Apalagi, bila mereka harus menghadapi konsumen yang tidak sabaran, misalnya. Atau mendapati drama “salah pesanan” karena buru-buru diambil dari restoran tanpa sempat mengecek terlebih dahulu.
Ilustrasi perempuan di mobil. Foto: Shutterstock
Semua pekerjaan pasti ada risiko masing-masing. Tingkat risikonya pun tentu saja berbeda-beda. Saya jadi belajar untuk jangan pernah menyepelekan pekerjaan apa pun, karena yang terlihat dari luar mungkin seperti mudah dan merasa siapa pun bisa melakukan itu. Tapi, nyatanya kita tidak pernah tahu betul, hal-hal sulit apa yang sudah mereka lalui hingga bisa bertahan sejauh ini.
ADVERTISEMENT
Saya juga jadi belajar untuk mencintai dan menikmati pekerjaan saya. Lebih kerennya, mungkin belajar “memaknai” pekerjaan, yang tidak hanya sebatas mencari nafkah, tapi juga mencari berkah. Mantap gak, tuh~.
Tapi, bukan berarti tidak boleh mengeluh sama sekali, ya. Rasanya mustahil. Mengeluh seolah-olah menjadi bagian dari keniscayaan setiap orang yang berusaha bertahan di tengah gempuran hebat kehidupan yang sering kali melelahkan.
Jadi, semangat selalu, para pencari cuan![]