Pembahasan DPR soal Syarat Capres di RUU Pemilu Dinilai Transaksional

20 Mei 2017 10:25 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Diskusi Warung Daun (Foto: Akbar Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi Warung Daun (Foto: Akbar Ramadhan/kumparan)
Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu molor dari jadwal yang telah ditetapkan. Fraksi-fraksi di DPR belum mencapai kata sepakat termasuk soal ambang batas pemilu Presiden atau presidential threshold.
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai molornya pembahasan RUU Pemili mencerminkan bahwa mekanisme kerja di DPR sangat kapitalis dan hanya membela kepentingan partai besar.
"Ini tidak selesai karena tetap muter-muter seputar Pilpres. Ini mencerminkan betul fenomena kapitalis dan kekerdilan. Yang menghendaki presidential threshold kan partai besar. Mereka seperti melokalisir orang lain untuk ikut pencalonan presiden," ujar Margarito dalam diskusi Polemik Sindotrijaya Network di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/5).
Margarito menilai konsolidasi demokrasi yang selama ini djadikan alasan hanya dibuat-buat oleh para anggota DPR. Menurut dia, seluruh proses yang berlaku dalam pembahasan RUU Pemilu hanya bicara politik transaksional. "Ini bicara soal bisnis, ini sedang transaksi," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Di kesempatan yang sama, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Roy Suryo menilai keinginan partai dengan perolehan suara besar untuk menaikkan ambang batas pemilu presiden sungguhlah sulit. Sebab, pemilu presiden pada 2019 akan diikuti mayoritas oleh partai dengan perolehan suara di bawah 20 persen dari suara nasional.
Roy Suryo di acara diskusi Sindo Trijaya Network. (Foto: Nikolaus Harbowo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Roy Suryo di acara diskusi Sindo Trijaya Network. (Foto: Nikolaus Harbowo/kumparan)
Roy menyebut partainya tidak mempermasalahkan ambang batas pemilu presiden. Sebab, pilpres akan makin ramai.
"Kalau nol persen menarik karena capresnya banyak. Tiap partai punya capres, mungkin ada 10 capres. Ini akan ramai dan tidak ditentukan sama sekali oleh partai baru atau lama." ujar Roy.
"Keduanya kami oke saya, kami lihat itu tidak logis juga menggunakan standar perolehan suara di pemilu lalu," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Roy juga menyoroti sistem pemilu yang nantinya akan diterapkan di tahun 2019. Menurut dia, Pansus Pemilu harus bisa membuat keputusan yang tepat apakah terbuka atau tertutup. Jika sistem pemilu tertutup, maka akan membuktikan loyalitas kader terhadap partainya. Sebab, mereka menyerahkan pilihan caleg kepada partai.
"Kita punya dua pilihan, apa warga memilih terbuka berdasarkan suara murni atau tertutup seperti zaman lama atau modifikasi keduanya. Partai tetap punya hak tapi masyarakat juga bisa tahu siapa yang didorong," tuturnya.
Sementara itu, politikus Partai Perindo Ahmad Rofiq menilai pembahasan RUU Pemilu sarat kepentingan partai besar.
"Seharusnya pemilu serentak, kita tidak boleh bicara angka. Ini kan melihat kepentingan partai besar yang ingin kanalisasi. Kalau ingin keadilan, beri porsi yang sama," ujarnya di tempat yang sama.
ADVERTISEMENT