Beda Nasib Ahok Dengan dan Tanpa Prabowo

20 April 2017 9:22 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Prabowo dan Ahok. (Foto: Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo dan Ahok. (Foto: Antara)
Prabowo Subianto berdiri gagah dikelilingi para sekutu politiknya. Ia jadi magnet --pusat perhatian-- hari itu, Rabu (19/4), setelah calon yang diusungnya, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, menang telak dari pasangan Ahok-Djarot dalam hitung cepat sejumlah lembaga survei.
ADVERTISEMENT
Ini kali kedua Prabowo membuktikan kedigdayaannya “menguasai” Jakarta.
[Baca: ]
Lima tahun lalu, pada Pilkada Jakarta 2012, calon yang diusung Prabowo (Gerindra cs) juga memenangi Pilgub. Calon itu ialah Jokowi dan Ahok --yang kini diempaskan oleh sang mantan Jenderal Kopassus dan kawan-kawannya.
Roda nasib memang selalu berputar, demikian pula yang terjadi pada Ahok. Lelaki bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu punya karier politik bak roller coaster: naik-turun, terbang-terjun --mengundang decak gemas mereka yang mencermati rekam jejaknya.
“Nggak usah terlalu dipikirkan. Saya tahun 2007 juga kalah (di Pilkada Bangka Belitung). Tuhan selalu tahu yang terbaik, karena kekuasaan datang dari Tuhan,” kata Ahok menenangkan pendukungnya dalam konferensi pers di posko kemenangannya, Thamrin, Jakarta Pusat, kemarin sore.
ADVERTISEMENT
[Baca: ]
Ahok yang pada Pemilihan Gubernur Bangka Belitung 2007 itu didukung oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan belasan partai kecil, kalah.
Namun dalam politik, anda tak pernah benar-benar mati. Apalagi cuma kalah di pilkada.
Dua tahun kemudian, 2009, Ahok kembali, dan kali ini tak lagi di bawah bendera partai kecil. Mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) Belitung Timur itu meneruskan langkah politiknya dengan membawa bendera partai besar --Golkar.
Mewakili Golkar, Ahok melenggang ke Jakarta. Ia terpilih menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Bangka Belitung.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Fanny Kusumawardhani)
zoom-in-whitePerbesar
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Fanny Kusumawardhani)
Tahun 2012, bintang terang menaungi Ahok. Pada suatu hari, seseorang menghubunginya, “Kamu dicari Prabowo.”
Ahok yang semula tak menanggapi pesan tersebut, mulai merespons setelah keluarganya sendiri dari Bangka Belitung menghubunginya untuk menyampaikan pesan Prabowo.
ADVERTISEMENT
Ahok pun bertemu dengan Prabowo di Jakarta. Saat itu, ikut pula adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo --pengusaha yang juga berkecimpung di Partai Gerindra seperti Prabowo.
Mereka bersantap malam bersama sejumlah politikus Gerindra, termasuk Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerindra Jakarta Muhammad Taufik --yang di kemudian hari kerap bersitegang dengan Ahok kala Ahok sudah menjabat Gubernur Jakarta.
Setelah berbincang dan membahas sejumlah hal mengenai ibu kota sembari makan malam, Prabowo berkata, “Saya mau Jokowi-Ahok maju Pilkada.”
Saat itu, PDIP belum lagi mengusung Jokowi ke Jakarta. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu masih menimbang nama lain sebagai calon gubernur Jakarta.
Namun Prabowo berkukuh: tak mau mengusung calon lain di luar Jokowi-Ahok.
Pada akhirnya, Megawati setuju memboyong Jokowi dari Solo ke Jakarta, dan memasangkannya dengan Ahok sesuai keinginan Prabowo.
ADVERTISEMENT
Ahok pun melepas seragam Golkar-nya, dan mengenakan jaket Gerindra.
Jokowi, Prabowo, dan Ahok dalam Pilkada DKI 2012. (Foto: Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi, Prabowo, dan Ahok dalam Pilkada DKI 2012. (Foto: Antara)
Jokowi-Ahok menang. Prabowo menggenggam tangan keduanya dan mengepalkannya ke udara. Itu momen istimewa dalam perpolitikan Indonesia --karena tak berapa lama kemudian, Jokowi-Ahok berbalik menjadi musuh Prabowo.
Demikianlah politik. Politik bukan soal hitung-hitungan 1 + 1 = 2. Tak ada yang pasti. Tak ada yang namanya koalisi permanen.
Dalam politik, semua rancangan bisa berubah sekejap. Tak ada kawan dan lawan abadi. Dalam politik, kegembiraan dan kepedihanmu adalah semu. Jangan terlalu diambil hati --karena politikus pun tak selalu memakai hati dalam melakukan kalkulasi.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Pool)
zoom-in-whitePerbesar
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Pool)
Pekan kedua September 2014, saat Jokowi telah mengalahkan Prabowo pada Pemilu 2014 dan melenggang ke Istana meninggalkan kursi gubernurnya, Ahok mengumumkan mundur dari Gerindra. Partai pimpinan Prabowo itu berang bukan main, bak menghadapi pengkhianatan tak terampuni.
ADVERTISEMENT
Wakil Sekretaris Jenderal Gerindra yang juga keponakan Prabowo, Aryo Djojohadikusumo, mengatakan partainya kecewa karena Ahok bersikap tak sopan, tak pamit lebih dulu ke Prabowo dan pimpinan partai.
“Tak memberi tahu Prabowo yang pada tahun 2012 memperjuangkan Ahok sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta dari Partai Gerindra, untuk diterima oleh Ibu Megawati dan PDIP,” kata Aryo.
Ahok yang dianggap Yudas menjawab, “Saya sudah pikirkan dengan matang. Saya tahu mau dipecat. Sebelum dia ngomong pecat, saya yang lebih dulu mengundurkan diri.”
Perceraian Ahok-Gerindra yang hanya beberapa waktu menjelang naiknya Ahok ke kursi Gubernur Jakarta untuk menggantikan Jokowi, membuat riuh jagat perpolitikan kala itu.
Ahok menegaskan, dia punya alasan prinsipiel kenapa akhirnya memilih untuk “murtad” dari Prabowo dan Gerindra yang melambungkan namanya, yakni karena dia menentang sikap Gerindra yang ingin menghapuskan pilkada langsung oleh rakyat.
ADVERTISEMENT
Ahok mengatakan, dia dan Jokowi tak mungkin terpilih memimpin Jakarta bila kepala daerah dipilih oleh DPRD, bukan langsung oleh rakyat.
Ahok sedang berbicara dengan Megawati. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.)
zoom-in-whitePerbesar
Ahok sedang berbicara dengan Megawati. (Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.)
Ahok yang saat itu mengatakan akan mengurus Jakarta tanpa dukungan Gerindra atau partai politik manapun, nyatanya kembali ke pertarungan Pilkada Jakarta 2017 dengan dukungan PDIP dan koalisinya.
Masa mesra Gerindra dan PDIP pada Pilkada Jakarta 2012, musnah sudah sejak Megawati mengajukan Jokowi --yang diminta Prabowo digandengkan dengan Ahok-- untuk berhadapan dengan Prabowo pada Pemilu 2014.
Dan permusuhan Gerindra dan Ahok makin menjadi dengan intensitas ketegangan tinggi antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta --yang salah satu pimpinannya dijabat oleh M Taufik dari Gerindra.
Potret saat Prabowo menggenggam erat tangan Ahok, kini tinggal kenangan.
ADVERTISEMENT
Ahok melaju tanpa Prabowo --dengan menggandeng Megawati di sisinya, sedangkan Prabowo mencari jago lain untuk dipasangkan dengan prajuritnya di Gerindra, Sandiaga Uno. Hingga bertemulah dia dengan Anies Baswedan.
Selanjutnya, sejarah terjadi seperti yang kita tahu saat ini.
Anies, Sandi, Prabowo merayakan kemenangan (Foto: Dedi Wijaya/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Anies, Sandi, Prabowo merayakan kemenangan (Foto: Dedi Wijaya/ANTARA)
Pilkada Jakarta 2017 yang penuh perpecahan seperti Pemilu 2014 berlangsung, dan pemenang telah diketahui, dengan tawa lebar Prabowo menyambutnya.
Pagi ini, Kamis (20/4), Anies Baswedan berjabat tangan dengan Ahok di Balai Kota DKI Jakarta. Sang pemenang dan lawan yang dikalahkan, sama-sama mengajak warga Jakarta untuk berjiwa besar.
Anies tiba di Balai Kota. (Foto: Wandha Hidayat/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anies tiba di Balai Kota. (Foto: Wandha Hidayat/kumparan)
Ahok mengatakan yakin Anies bisa meneruskan tugas memimpin Jakarta dengan baik, dan Anies menegaskan akan berteman dan bekerja sama dengan Ahok untuk mewujudkan Jakarta maju seperti impian semua orang.
Prabowo. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Prabowo. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Adalah politik yang membuat Ahok dulu bertemu Prabowo, dan politik pula yang membuat keduanya bercerai lantas berhadapan sebagai seteru.
ADVERTISEMENT