KBRI Roma: Pemeriksaan Hijab di Bandara untuk Keselamatan

12 April 2017 9:08 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Aghnia Adzkia (Foto: Facebook/Aghnia Adzkia)
zoom-in-whitePerbesar
Aghnia Adzkia (Foto: Facebook/Aghnia Adzkia)
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma, Italia, menyatakan permintaan petugas bandara di Italia kepada seorang mahasiswi Indonesia, Aghnia Adzkia, untuk membuka jilbab guna pemeriksaan keamanan, ialah prosedur standar pemeriksaan semata. [Baca: ]
ADVERTISEMENT
“Saya beberapa kali terbang dari bandara Roma pun melalui pemeriksaan demikian. Pertama kali saya mengalaminya pada tahun 2011, ketika akan terbang dari Roma ke Malta. Kebetulan saya juga berkerudung. Begitu pula rekan lain yang berhijab di KBRI Roma. Sama,” kata Aisyah Allamanda, Pejabat Fungsi Penerangan Sosial dan Budaya KBRI Roma dalam keterangan tertulisnya kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (12/4).
Aisyah mengimbau prosedur yang berlaku di bandara Roma tersebut dihargai karena tujuan utamanya untuk keselamatan bersama. “Otoritas setempat bertanggung jawab memastikan terpenuhinya kenyamanan dan keselamatan publik.”
Pemeriksaan atas jilbab, ujar Aisyah, sama dengan permintaan untuk membuka jaket, topi, kacamata, atau barang-barang lain yang melekat pada tubuh calon penumpang pesawat. [Baca juga ]
ADVERTISEMENT
“Memang, karena muslimah memiliki keyakinan bahwa kerudungnya tidak dapat dibuka di muka umum, maka disediakan ruangan khusus bagi mereka dan petugas perempuan untuk melakukan pemeriksaan,” kata Aisyah.
Umumnya, kata dia, petugas bandara pun bukannya tak punya tata krama. “Mereka tidak bersikap tidak menyenangkan, utamanya apabila kita bersedia bersikap koperatif.”
Aisyah beberapa kali ditangani oleh petugas keamanan bandara yang kerap meminta maaf sebelum memeriksa rambutnya, dan menurutnya, mereka mengucapkan terima kasih setelah selesai melakukan pemeriksaan.
Aisyah mengatakan, tiap tempat berbeda standar dan memiliki ketentuan tersendiri yang perlu dihormati. “Apabila kita menolak (diperiksa), saya dapat memahami apabila petugas keamanan cenderung bersikap agresif.”
Mungkin saja, ujar Aisyah, di bandara negara lain tak ada permintaan kepada calon penumpang berhijab untuk membuka kerudungnya seperti yang terjadi di bandara-bandara Italia, namun ia berpendapat hal itu tak lantas menjadikan Italia “jahat”.
ADVERTISEMENT
“Perlu dicatat, sejauh ini Italia merupakan negara dengan tingkat ancaman teror yang rendah dibanding negara-negara Eropa barat lainnya. Padahal tingkat penerimaan imigran mereka termasuk yang paling tinggi di seluruh Eropa. Mungkin itu hasil dari pengamanan yang lebih ketat tersebut,” kata Aisyah.
Terlebih, sambungnya, belakangan serangan publik terjadi beruntun di berbagai negara di Eropa. Ini membuat otoritas pengamanan di Eropa jadi cenderung ekstra hati-hati.
“Terkadang prosedur pengamanannya membuat kurang nyaman, memang. Namun, apabila hasilnya adalah jaminan yang lebih tinggi terhadap keselamatan saya dan penumpang lainnya, maka ketidaknyamanan itu tidak menjadi masalah lagi,” ujar Aisyah.
Secara pribadi, Aisyah belum pernah mengalami perlakuan tak menyenangkan atau diskriminatif di ruang publik selama tinggal di Italia.
ADVERTISEMENT
“Saya berkunjung pertama kali tahun 2011, lalu 2014, dan sekarang tinggal di sini sudah lebih dari satu tahun. Sehari-hari tinggal di Roma, tapi kerap mengunjungi kota lainnya di Italia dan saya betah karena sejauh ini penerimaan warga terhadap saya yang memiliki ciri fisik Asia dan berkerudung, baik-baik saja. Warga setempat pun cukup hangat dan tidak sungkan membantu bila diminta, jadi interaksi sosial tidak ada masalah,” kata Aisyah panjang lebar.
Aghnia Adzkia saat mengunjungi Roma (Foto: Facebook: Aghnia Adzkia)
zoom-in-whitePerbesar
Aghnia Adzkia saat mengunjungi Roma (Foto: Facebook: Aghnia Adzkia)
Secara terpisah, dalam postingannya di Facebook, Aghnia mengatakan tak punya masalah selama menghabiskan waktu lima hari di Italia.
“Saya menyukai liburan saya di Roma, menjumpai orang-orang di sana sangat ramah. Saya hanya tak setuju dengan cara petugas bandara memperlakukan saya sebagai muslim perempuan yang mengenakan hijab,” ujarnya. [Baca: ]
Bandar Udara Ciampino di Roma (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Bandar Udara Ciampino di Roma (Foto: Wikimedia Commons)
Kekesalan Aghnia mulai terlihat saat dia tertahan di area pemeriksaan keamanan bandara, padahal ia sudah lolos pemeriksaan alat pendeteksi logam (metal detector).
ADVERTISEMENT
Pikirnya, jika sudah lolos metal detector, kenapa masih harus membuka jilbab?
Aghnia yang merasa aturan itu tak masuk akal lantas beradu argumen dengan petugas bandara. Seorang petugas berkata, metal detector hanya untuk mendeteksi logam, bukan benda-benda lainnya yang mungkin tersembunyi.
Aghnia lantas minta ditunjukkan aturan hukum tertulis mengenai pemeriksaan penutup kepala. Petugas lalu memberikan selembar kertas berisi informasi dalam Bahasa Italia --yang tak dimengerti Aghnia. Ia hanya tahu, di bagian bawa kertas terdapat gambar ilustrasi perempuan dengan jilbab dan burka.
Tak paham bahasa Italia, Aghnia kemudian minta waktu untuk menghubungi temannya di Italia, untuk mengartikan tulisan berbahasa Italia itu ke dalam bahasa Inggris. Namun permintaan itu ditolak.
Perdebatan memanas antara Aghnia dan petugas bandara di Roma. “It’s not our problem if you don’t know Italian language. The only way if you want to leave (boarding) is to follow me into that room,” ujar salah seorang petugas, yang suaranya terekam dalam ponsel Aghnia.
ADVERTISEMENT
“That room” yang ia maksud ialah private room, sebuah ruangan yang disediakan oleh petugas bandara bagi perempuan berhijab untuk membuka jilbab di sana guna diperiksa.
Namun Aghnia menolak dibawa ke ruangan pemeriksaan itu sepanjang ia tak diberi tahu aturan hukum yang melandasi pemeriksaan tersebut.
“Bukan soal saya menunjukkan kepala atau rambut saya --sekalipun itu di depan perempuan. Lebih dari sekadar itu. Ini tentang hak dan martabat manusia. Berarti ada perspektif bahwa perempuan berjilbab itu memiliki potensi ancaman,” kata Aghnia.
“Tunjukkan hukum (tertulis)-nya pada saya,” pinta Aghnia berkali-kali kepada petugas, sembari mengatakan tak pernah diminta membuka jilbabnya selama enam bulan tinggal di London, Inggris, untuk menempuh studi di kota itu.
“Kami sedang mencarinya. Tapi, kalau anda tidak mau melepas (hijab), anda harus keluar dari sini,” jawab petugas bandara, tegas.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya petugas meminta Aghnia keluar dari area pemeriksaan karena dianggap tak kooperatif.
Aghnia yang kemudian memutuskan untuk mengambil penerbangan dari bandara lain di Fiumicino, pun menghadapi persoalan serupa di bandara kedua tersebut. Di situ, ia kembali diminta membuka jilbab untuk diperiksa. [Baca juga: ]
Kali itu Aghnia menurutinya, namun bertanya-tanya kenapa dua biarawati yang melintas di dekatnya dibiarkan lewat tanpa diminta membuka penutup kepala mereka. Padahal ia dan kedua biarawati itu sama-sama mengenakan kain penutup kepala.
“Harusnya jika ada aturan itu, berlaku cross-religion. Jadi sebenarnya pengecekan jilbab itu bagian dari diskriminasi yang dilegalkan,” kata Aghnia, mengutarakan pendapatnya.
Aghnia saat ini sudah berkomunikasi dengan pejabat konsuler KBRI Roma, dan KBRI Roma akan memberikan informasi lewat website resmi mereka.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Italia, Esti Andayani, yang baru dilantik bulan lalu, mengimbau semua warga untuk tak tersinggung apabila mengalami pemeriksaan ketat di bandara-bandara Eropa. Sebab belakangan Benua Biru itu dilanda teror sambung-menyambung, mulai insiden di London, Inggris; pemboman di St. Petersburg, Rusia; sampai penyerangan di Stockholm, Swedia --yang kesemuanya itu terjadi sebulan terakhir.
Yudhistira Amran Saleh, Maria Sattwika Duhita
Italia. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Italia. (Foto: Wikimedia Commons)