Putaran Pertama Usai, Mau ke Mana Agus Kini?

15 Februari 2017 19:14 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Calon Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono berpidato. (Foto: ANTARA)
Pilkada putaran pertama usai, dengan kekalahan telak (versi hitung cepat) Agus Harimurti Yudhoyono --calon gubernur Jakarta nomor urut 1. Ia berada di posisi buncit, jauh tertinggal dari dua calon lainnya, incumbent Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Anies Baswedan. (Baca: )
ADVERTISEMENT
Sudah hampir pasti ia tak bakal lolos ke putaran kedua Pilkada Jakarta. Maka jadi pertanyaan besar: mau ke mana Agus kini? Sementara kariernya di dunia militer telah ia “bakar” sendiri dengan mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta.
Sokongan Susilo Bambang Yudhoyono sang ayah --yang biasa ia panggil “Pepo”-- selaku Ketua Umum Partai Demokrat dan mantan presiden, ternyata belum mampu mendongkrak peruntungan Agus.
Tapi bagaimanapun, Agus masih terhitung muda. Di usianya yang 38 tahun saat ini, dengan memanfaatkan potensi yang ia miliki, bukan tak mungkin dia bisa jadi apa saja.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berdiskusi dengan warga saat blusukan. (Foto: ANTARA)
Masih teringat jelas ketika pekan pertama usai mendaftarkan diri ke KPUD, Agus berkeliling maraton ke kantor-kantor media, blusukan ke wilayah-wilayah pinggiran Jakarta, untuk menyosialisasikan diri sebagai calon gubernur.
ADVERTISEMENT
Ia disambut antusias oleh awak media, oleh masyarakat --yang sebagian besar, terutama kaum hawa, penasaran berat ingin melihat sosoknya yang kerap disebut gagah dan tampan, hasil latihan fisik rutin di ketentaraan.
Agus Yudhoyono dan Annisa Pohan di JCC (Foto: Nadia Jovita/kumparan)
Terlebih, Agus kerap membawa sang istri yang jelita, mantan model dan presenter Annisa Pohan, ke mana-mana. Membuat orang-orang makin penasaran dengan pasangan serasi yang sedap dipandang itu.
Namun penasaran ternyata sekadar penasaran, hanya euforia yang berlangsung sesaat. Tak lantas mewujud dukungan suara bagi Agus.
Bisa dimaklumi, sebab sudah tentu faktor dukungan tak cuma datang dari kualitas fisik, tapi juga kemampuan calon dalam berbagai hal, termasuk ketika berdebat.
Mau bagaimana lagi, Agus yang terhitung paling hijau ketimbang kandidat lain, kerap terlihat hijau pula ketika berdebat melawan calon-calon lain. Kentara sekali ketidakberpengalamannya di dunia birokrasi.
ADVERTISEMENT
Dan sayangnya, hal itu tak berhasil ditutupi oleh pasangannya, calon wakil gubernur Sylviana Murni --yang sesungguhnya mantan pejabat karier di Pemprov DKI Jakarta, dengan pengalaman sebagai wali kota Jakarta Pusat.
Belum lagi, menurut sejumlah pakar politik, Agus dirugikan oleh strategi reaktif dari ayahnya sendiri, SBY. Hal ini setidaknya dikatakan oleh Arie Sudjito, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada.
“Sejak awal Agus-Sylvi lebih mengandalkan kapitalisasi bapaknya karena reputasinya tidak begitu dikenal publik,” kata Arie.
Masalahnya, lanjut Arie, SBY pun kerap melakukan blunder dengan melakukan manuver politik yang malah berbalik merugikan bagi mereka. Salah satunya ialah “hobi” SBY melontarkan kicauan atau “keluhan” lewat media sosial Twitter.
Sepanjang tahapan pilkada ini saja, SBY beberapa kali menggunakan medsos sebagai sarana untuk menuntut dan memprotes segala hal yang merugikan dirinya --atau Agus. Semua itu membuat geger khalayak luas, termasuk netizen.
ADVERTISEMENT
(Baca: )
Panitia mengusap keringat Agus Harimurti (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
September 2016, pada pidato pertamanya usai mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta, Agus terlihat nyaris menangis. Matanya berkaca-kaca saat menyampaikan pidato di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Ia terlihat agak kesulitan membendung emosi yang berkecamuk di dada.
“Saya siap untuk pengabdian yang lain di dunia politik dan pemerintahan. Sejatinya, dari TNI saya belajar bahwa mengabdi untuk masyarakat tidak mengenal batas waktu dan tidak mengenal wilayah penugasan,” kata dia, menatap masa depannya yang tak pasti di dunia politik, sembari melepas karier militer yang selama ini ia lakoni di TNI.
Agus, dan seluruh keluarga SBY, menurut pengamat politik Universitas Padjajaran Muradi kala itu, tentu sadar telah menjalani pertaruhan besar dalam hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Muradi bahkan menyebut SBY melakukan perjudian politik dengan “mengorbankan” Agus dan “menjadikannya terlihat seperti boneka Cikeas.”
Pengamat politik lain, Arya Fernandes dari CSIS, tak sepesimistis itu. Menurutnya waktu itu, SBY pasti telah berpikir sungguh-sungguh dengan “merenggut” karier militer Agus dan “menceburkannya” ke kolam politik.
Bisa jadi, kata Arya, SBY sengaja menempa Agus sejak dini untuk memajukannya memimpin Demokrat menggantikan dia. Arya cukup yakin, Agus berpotensi “mewarisi” Demokrat dari tangan SBY.
Setelah semalam SBY menyampaikan “pidato” berapi-api soal serangan Antasari yang ia sebut sengaja dilakukan untuk membuat Agus kalah dalam Pilkada Jakarta, reaksi terbarunya soal kekalahan Agus (yang jadi kenyataan) masih dinanti.
Bagaimanapun, ketidakpastian adalah hal mutlak dalam politik, meski dengan hitung-hitungan berkali-kali di atas kertas sekalipun.
ADVERTISEMENT
Dan mengikuti pilkada di episentrum Republik Indonesia --DKI Jakarta, jelas merupakan pertaruhan tinggi dengan risiko tinggi.
Apapun hasilnya, pahit atau manis, mari hadapi.
Simak juga