Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Peternakan Kebodohan, dan Sekumpulan Sapi Ternak
6 Mei 2025 16:22 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Annajm Islamay Wisyesa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan saja sebuah keberadaan peternakan sapi perah raksasa di sebuah padang rumput yang sehijau batu zamrud. Di sana, berada jauh dari keramaian peradaban kota yang sibuk, berdiri sebuah peternakan berisi ribuan sapi. Mereka dikandangkan dalam sistem yang sangat terstruktur: diberi pakan seadanya, diperah susunya setiap hari, dan dipecuti agar tetap jinak.
ADVERTISEMENT
Sapi-sapinya kurus, sengaja dikurung agar tidak pernah belajar melompati pagar, bersosialisasi, dan mempertanyakan alasan mereka hanya memakan ampas kedelai. Sementara masih hidup tidak layak, hasil perahan dari tubuh mereka mengalir deras ke tangan segelintir pemilik.
Sapi-sapi ini hanya sesekali mengeluarkan suaranya, saat dikawinkan, melahirkan, bersendawa selepas makan, memuntahkan pakannya kembali, dan bangun tidur. Di peternakan ini, mereka tidak perlu pintar, yang penting tetap jinak, produktif, dan mudah dikontrol. Inilah analogi yang tepat untuk menggambarkan bagaimana masyarakat dari negara terbelakang terus diternakkan untuk kepentingan para elit politik dan ekonomi.
Para orang-orang atas ini sibuk mengipasi diri sambil menunggu hasil perahan datang dan siap dijual ke pasar terdekat dengan harga murah sekali. Mereka adalah "penjaga peternakan" yang memastikan rakyat tetap terjebak siklus eksploitasi tanpa kesadaran yang tumbuh. Hasilnya adalah tenaga kerja murah, suara politik yang mudah dibeli, daya kritis tumpul, serta pajak tinggi yang menyedot kering sumber penghidupan para ternaknya.
ADVERTISEMENT
Kebodohan dapat dengan mudah didefinisikan sebagai pembentukan sistematis yang didesain sedemikian rupa hingga objeknya tidak tahu apapun, bahkan mengenai kebodohannya sendiri. Seperti peternak yang membatasi nutrisi sapi agar tidak terlalu liar untuk melawan, rezim kekuasaan otoriter membiarkan pendidikan bermutu hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu. Sementara itu, mayoritas rakyat lainnya mengais-ais sisa intelektual dengan kualitas rendah gizi, yang terdiri dari: kurikulum usang, doktrin nasionalisme kolot, dan informasi yang tidak relevan dengan kebutuhan industri baru.
Masyarakat yang sudah dikembangbiakkan dengan sistem ini, mudah digiring untuk menyuburkan budaya korupsi, memilih berdasarkan iming-iming sembako, atau bahkan membela para elit yang sebenarnya merampas hak-hak asasinya sendiri.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut ini sebagai "banking concept of education", sistem di pengetahuan hanya "ditabung" oleh penguasa, sementara rakyat dibiarkan buta huruf secara struktural. Kebodohan massal pada akhirnya adalah prasyarat untuk menciptakan "persetujuan" tanpa kritik terhadap kekuasaan yang korup.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, Indonesia—negeri dengan ratusan peternakan sapi—justru menjadi contoh nyata metafora ini. Di balik jargon "SDM unggul", yang terjadi adalah reproduksi ketimpangan: petani dan buruh dipaksa puas menjadi "sapi perah" yang dihisap tenaganya, sementara anak-anak mereka kesulitan mengakses pendidikan yang membebaskan. Elit politik dan pengusaha, lagaknya pemilik peternakan, terus memasang pagar-pagar tak kasatmata. Mulai dari birokrasi berbelit, akses ekonomi yang dikartel, dan demokrasi elektoral yang memanipulasi suara. Inilah peternakan kebodohan, tempat masyarakat diperah bukan hanya sumber kehidupannya, tetapi juga masa depannya—sementara para penjaga kandang menikmati keuntungannya, dari generasi ke generasi.
Masyarakat yang Terinfeksi Kebodohan Akut
Masyarakat yang sudah dihinggapi oleh wabah kebodohan lebih dari kelompok rentan minim pengetahuan saja. Mereka dilahirkan oleh sistem yang sengaja membatasi akses terhadap nalar kritis dan informasi bermutu, yang akhirnya dianggap tidak menyenangkan untuk dikonsumsi. Kebodohan ini mudahnya bisa dikotomisasi dalam bentuk sederhana: akademik dan sosial. Secara akademik, kebodohan tercermin dari rendahnya literasi sains dan teknologi, di mana hanya 6% lulusan perguruan tinggi per tahunnya, yang tentu jelas dianggap mampu menguasai pondasi dan pengetahuan analisis kritis.
ADVERTISEMENT
Hal ini secara gamblang tercermin dari kasus korupsi pengoplosan Pertamax yang ternyata telah dijalankan selama lima tahun lamanya. Publik selama itu ternyata kurang kapasitas dalam mempertanyakan mengapa kendaraan mereka cepat rusak, meski telah membeli bahan bakar kualitas tinggi, dengan harapan kendaraan bermotor jadi jauh lebih resisten. Padahal, oligarki energi dan politisi busuk sudah menyedot keuntungan raksasa sebesar seribu triliun rupiah dari kejahatan ini. Rakyat hanya bisa mengeluh tanpa tahu bahwa mereka telah dikorbankan sebagai "sapi perah" yang membiarkan elit menguras kantongnya lewat trik teknis yang tak mereka pahami.
Pada taraf sosial, kebodohan tercermin dari ketidakmampuan mengenali pola eksploitasi struktural. Kasus Pertamax oplosan menjadikan masyarakat seolah terjebak pada lingkaran dependensi produk yang sengaja dibuat buruk demi keuntungan sejumlah elit yang bermain di atas meja kasino.
ADVERTISEMENT
Mereka memanfaatkan kebodohan publik yang dungu pada standar oktan, regulasi energi, dan pengawasan BPH Migas. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebut kondisi ini sebagai "kebudayaan bisu", suatu kondisi ketika ketidaktahuan dipelihara agar korban tak mampu memberi nama pada penindasannya sendiri.
Mengapa demikian? karena mereka sudah terlalu lama tertindas, yang akhirnya kehilangan reseptor saraf penderitaan itu sendiri. Masyarakat telah memiliki sebuah pemahaman aneh yang sudah menghipnotis kenyataan asli menjadi kenyataan bayangan, dan menganggap eksploitasi adalah takdir ilahiah, bukan kejahatan yang harus diperangi. Definisi nyata dari kebodohan, yang sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak mampu melawan kejahatan sistematis, dan kehilangan kemampuan membayangkan, bahwa perubahan nasib sangatlah mungkin diperjuangkan.
Mentalitas Bekas Negara Terjajah
ADVERTISEMENT
Kondisi mengenaskan nasib masyarakat ini setidaknya dapat kita telusuri hingga ratusan tahun ke belakang. Semuanya bermula sejak era kolonial, yang tidak saja meninggalkan luka sejarah mendalam, tetapi memaku batok kepala pribumi dengan pola pikir bangsa terjajah. Pola pikir ini menjebak mereka dalam penerimaan segala bentuk eksploitasi sebagai kewajaran, bahkan sedikit banyak memujanya dalam bentuk lain.
Selama berabad-abad, penjajah membangun sistem yang dirancang untuk memastikan pribumi tetap berada di lapisan bawah, hanya sebagai penyedia tenaga murah dan konsumen pasif. Ironisnya, meski Indonesia telah merdeka secara politik, sistem ekonomi dan kekuasaan yang dibangun pasca-kolonial justru melanjutkan pola yang sama. Segelintir elit menguasai sumber daya dengan menindas, sementara mayoritas rakyat berjuang untuk sekadar mendapat sisa-sisanya.
ADVERTISEMENT
Mentalitas ini selayaknya senapan mitraliur yang terus menodong kepala masyarakat, setiap malam hingga mereka terbiasa tertidur dengannya. Mereka akhirnya mulai terbiasa untuk memuja para politikus dan oligarki busuk, hanya sekadar sebagai harapan agar bisa mendapatkan remah-remah roti, dari kekayaan yang sebenarnya adalah hak mereka juga. Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth menggambarkan fenomena ini sebagai "keterikatan psikologis" bekas terjajah terhadap penindasnya—sebuah kondisi di mana korban justru mengagumi dan meniru para penindas, alih-alih menghancurkannya.
Hari ini, sapi-sapi ternak ini kerap disuguhkan pencitraan para pemilik lahan yang represif terhadap mereka, alias para politikus yang gemar bersolek dan bercakap manis. Tokoh-tokoh politik dan oligarki yang bersekongkol ini, kerap dipuja-puja hanya karena sesekali membagikan sembako atau membangun masjid besar. Masyarakat seharusnya marah dengan sistem yang menindas malah sebaliknya, bertepuk tangan meriah saat diberikan bantuan sosial yang adalah uang mereka sendiri dikembalikan dalam bentuk recehan.
ADVERTISEMENT
Kenyataan pahit inilah yang patut kita lihat sebagai tragedi mentalitas paling menjijikkan dalam sejarah. Masyarakat tidak lagi memahami bahwa penindasan adalah musuh, namun sebagai takdir yang harus diterima dan diimani. Mereka akan terus menikmatinya, sambil menunggu kesempatan untuk berada di kursi yang sama dengan tuan pemilik ternak. Setelah sapi-sapi ini mendapat keajaiban dan berubah menjadi manusia yang mengontrol peternakan, mereka akan menindas sapi-sapi yang dulunya adalah sebangsanya. Melihat dirinya sebagai makhluk sempurna, yang berdiri tinggi di atas sekawanan sapi.
Melakukan hal yang dulu mereka benci, dan mengulanginya kembali dalam ratusan tahun ke depan dengan model yang sama. Hingga suatu saat, sekawanan sapi ini menyadari satu hal, bahwa untuk melawan, mereka tidak butuh jadi pemilik lahan ternak selanjutnya. Entah apa bentuk kebebasan itu, sapi-sapi ini masih sibuk mengenyangkan diri sendiri, bahkan memakan kotoran sebangsanya.
ADVERTISEMENT