Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Global Distributive Justice dalam Agenda Tata Kelola Perubahan Iklim Dunia
29 Agustus 2023 5:46 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Annisa Nabilatul Khaira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim yang tengah dihadapi komunitas internasional saat ini bukan lagi menyangkut persoalan ancaman penurunan kualitas lingkungan hidup semata, melainkan juga syarat akan isu moralitas sehubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan ketidakadilan yang menjadi salah satu fokus proyek kosmopolitanisme.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan serta ketidakadilan tersebut kemudian berimplikasi pada stagnansi agenda iklim global yang bertujuan merealisasikan penurunan emisi karbon 2030 dan netralitas karbon 2060.
Maka dari itu, tulisan ini akan membahas mengenai fenomena perubahan iklim ditinjau dari sudut pandang global distributive justice, arti penting merealisasikan prinsip keadilan dalam distribusi tanggung jawab iklim di antara masyarakat global demi menyukseskan upaya mengentaskan perubahan iklim, dan menelaah sejauh mana kosmopolitanisme dapat diwujudkan melalui agenda perubahan iklim saat ini.
Perubahan Iklim dalam Perspektif Global Distributive Justice
Fenomena perubahan iklim pada dasarnya menyisakan pertanyaan mengenai global distributive justice atau keadilan distributif global (Okereke, 2010). Keadilan secara harfiah berarti tuntutan atas pengakuan, distribusi, dan partisipasi (Schlosberg, 2004).
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, keadilan distributif dalam konteks isu perubahan iklim berkaitan dengan agenda yang bertujuan untuk memastikan terpenuhinya representasi, inklusivitas, serta perlindungan hak-hak pihak-pihak yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dengan menjunjung tinggi prinsip kesetaraan, terutama partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Oleh sebab itu, keadilan iklim distributif harus mencakup pembagian yang adil atas sumber daya atau manfaat lingkungan (termasuk kegiatan yang menghasilkan karbon) dan juga beban lingkungan, termasuk dampak perubahan iklim dari emisi gas rumah kaca dan kemampuan untuk beradaptasi (Hurlbert, 2015).
Saat ini, perubahan iklim masih menyisakan pola ketimpangan yang membuat satu negara atau kelompok masyarakat secara disproporsional harus menanggung dampak perubahan iklim lebih buruk meskipun pada dasarnya mereka memiliki kontribusi yang minim terhadap jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Hal ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah Revolusi Industri.
ADVERTISEMENT
Revolusi Industri pada akhir tahun 1700-an memang telah mampu menciptakan progres pembangunan dunia yang sangat signifikan. Karenanya, sejumlah negara mampu bangkit dan hadir sebagai kekuatan ekonomi besar global.
Sebut saja Britania Raya, Amerika Serikat, Jerman, hingga Jepang. Negara-negara tersebut sangat diuntungkan oleh industrialisasi yang membuka peluang ekstraksi sumber daya alam. Sayangnya, industrialisasi harus mengorbankan biaya lingkungan akibat produksi emisi GRK yang menyebabkan dan mengkatalisasi perubahan iklim. Sejak saat itu, disparitas antara negara maju (Utara) dengan negara berkembang (Selatan) selalu menjadi bagian dalam diskursus krisis iklim.
Gaya hidup modern masyarakat di Eropa, Amerika Utara dan di negara-negara Utara lain nyatanya menghasilkan jejak karbon 100 kali lebih besar dibandingkan dengan besaran jejak karbon yang dihasilkan negara-negara Selatan secara agregat (Soergel et al., 2021). Eropa dan Amerika Utara juga bertanggung jawab atas lebih dari setengah dari semua emisi karbon yang telah dihasilkan sejak era Revolusi Industri (Chancel, 2021).
ADVERTISEMENT
Di tingkat global, 10% penghasil emisi global teratas, yang berjumlah 771 juta orang, menghasilkan emisi rata-rata 31 ton CO2 per orang per tahun dan bertanggung jawab atas sekitar 48% dari emisi CO2 global. Sedangkan, 50% penghasil emisi global terbawah, yang berjumlah 3,8 miliar orang, hanya mengeluarkan rata-rata 1,6 ton dan bertanggung jawab atas hampir 12% dari semua emisi pada tahun 2019 (Chancel, 2021).
Hal ini tidak hanya berarti bahwa Selatan berkontribusi minim dalam menyebabkan perubahan iklim, namun juga menyiratkan bahwa Selatan yang didominasi negara-negara kurang berkembang juga secara disproporsional hanya memperoleh manfaat yang minim dari kegiatan konsumsi energi, utamanya penggunaan bahan bakar fosil (GCE, 2022). Tidak seperti negara-negara Utara yang diuntungkan secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang bersamaan, perbedaan pandangan antara Utara dan Selatan membuat upaya melawan perubahan iklim menjadi semakin rumit dan kompleks. Dengan demikian, maka tidak mengherankan apabila perjuangan iklim global dikatakan oleh sebagian kalangan sedang mengalami stagnansi. Kompleksitas tersebut dilandasi oleh tiga persoalan (Roberts & Parks, 2007).
Pertama, negara mana yang harus bertanggung jawab atas kondisi perubahan iklim. Kedua, negara mana yang paling dirugikan oleh dampak perubahan iklim. Ketiga, negara mana yang harus menanggung biaya paling besar untuk melawan dampak perubahan iklim yang semakin memburuk.
Disparitas Utara-Selatan perihal jumlah emisi karbon yang dihasilkan serta aspek kerentanan terhadap efek perubahan iklim menjadi pertimbangan distribusi tanggung jawab di antara keduanya meski hal tersebut tidak dapat ditentukan dengan mudah lewat analisis cost-benefit sederhana.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, proses negosiasi iklim akan selalu terikat dengan lanskap ketimpangan Utara-Selatan, terutama berkaitan dengan persoalan redistribusi tanggung jawab melawan perubahan iklim.
Meskipun faktanya kegiatan industri masif yang menjadi moda penggerak ekonomi negara-negara Utara mengkatalisasi besarnya emisi karbon yang terkonsentrasi di atmosfer, Utara tetap menginginkan kesamaan distribusi tanggung jawab iklim bagi semua negara saat Selatan menghendaki adanya diferensiasi tanggung jawab.
Padahal, merujuk aturan perjanjian United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) setiap negara harus bertindak sama namun sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Sikap yang ditunjukkan Utara menimbulkan skeptisisme Selatan yang melihat agenda iklim saat ini sebagai bentuk ketidakpedulian dan oportunisme Utara guna mencapai kepentingan ekonomi politik globalnya (Beer, 2014).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ketidakadilan iklim yang telah ada menimbulkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang melampaui konteks ketimpangan relasi kuasa antar negara, meliputi ketidakadilan antar generasi, antar gender, antara masyarakat kaya-miskin, hingga ketidakadilan yang menimpa masyakarat adat (Ikporukpo, 2022).
Sejalan dengan itu, dapat diketahui pula bahwa manifestasi dan konsekuensi perubahan iklim bergantung pada konteks spasial, temporal dan akan dialami secara berbeda oleh setiap individu di dunia, membuat satu kelompok menjadi lebih rentan dibandingkan kelompok lainnya (Arora, 2019; Bhattarai, 2017).
Kelompok masyarakat rentan terhadap perubahan iklim di tempat tertentu disebut sebagai Most Affected People and Areas (MAPA) yang meliputi semua wilayah Selatan, di antaranya Amerika Latin, Afrika, Asia, Kepulauan Pasifik, termasuk kelompok masyarakat termarjinalkan seperti perempuan, anak-anak, disabilitas, hingga Black, Indigenous, and People of Color (BIPOC) (Reyes-Menendez et al., 2020).
ADVERTISEMENT
Menurut data World Bank (2015), pada tahun 2030 akan ada lebih dari 100 juta orang mengalami kemiskinan ekstrim akibat perubahan iklim, terutama masyarakat di wilayah Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan.
Aspek generasional menjadi persoalan dalam perubahan iklim. Berdasarkan laporan Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) 2013, tahun 2050 akan menjadi masa di mana anak-anak kelahiran tahun 2000 akan hidup dengan konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar 463 dan 623 bagian per juta volume (ppmv), lebih besar dibandingkan 400 ppmv di tahun 2016.
Mereka akan hidup berdesakan di bumi yang bersuhu 0.8 oC – 2.6 oC lebih panas dengan permukaan air laut yang meninggi 5 – 32 cm apabila dibandingkan dengan tahun 1990. Dengan demikian, apa yang diputuskan oleh pemimpin dunia hari ini, akan ditanggung oleh generasi muda di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim turut memperlebar ketimpangan gender. Berdasarkan laporan UNFCCC tahun 2022, himpunan data yang masuk menjelaskan bahwa perubahan iklim dirasakan secara berbeda oleh setiap gender.
Dampak buruk bencana alam seperti kekeringan, banjir, angin topan, curah hujan ekstrem, dan kenaikan permukaan air laut sebagai konsekuensi dari perubahan iklim sering kali lebih dirasakan oleh perempuan daripada laki-laki sebagai akibat dari diskriminasi gender sistemik dan ekspektasi masyarakat yang terkait dengan peran gender (UNFCCC, 2022).
Padahal, perempuan memiliki peranan penting dalam upaya konservasi lingkungan. Selain itu, kepentingan masyarakat adat yang sangat dependen dengan alam turut terpinggirkan dalam proyek iklim.
Deforestasi dan cuaca ekstrem secara drastis mengurangi ketersediaan bahan pangan, mengurangi akses terhadap air bersih dan menganggu pemukiman masyarakat adat (Shah & Bloomer, 2018).
ADVERTISEMENT
Di samping itu, pelaksanaan proyek energi terbarukan yang menjadi solusi perubahan iklim menuai banyak penolakan dari komunitas masyarakat adat sebab melanggar hak-hak mereka (Shah & Bloomer, 2018).
Prakondisi-prakondisi tersebut semakin menjustifikasi bahwa perubahan iklim memang merupakan persoalan keadilan distributif global yang terkait dengan pemikiran Sangiovanni (2011) mengenai konsep moral arbitrariness of birth.
Konsep ini menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan dan hak-hak individu yang seringkali syarat akan ketidakadilan karena tergantung konteks kelahiran individu (Sangiovanni, 2011). Ketidakadilan tersebut merupakan menifestasi dari unchosen circumstances atau kondisi yang tidak bisa dipilih oleh individu.
Dalam konteks perubahan iklim, dapat dilihat bahwa individu yang ditakdirkan terlahir dan hidup di negara-negara berkembang harus menanggung dampak perubahan iklim lebih buruk dibandingkan individu yang lahir dan hidup di negara maju. Juga terdapat interseksionalitas dalam perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Yakni bagaimana individu harus mengalami kerugian iklim lebih besar karena gender, ras, orientasi seksual, disabilitas dan identitas sosial lain yang ia miliki. Namun, kondisi tersebut dapat diatasi dengan mewujudkan kosmopolitanisme dan keadilan iklim distributif.
Komitmen Global Terhadap Distributive Justice: Just Target dan Just Burden
Menurut Sultana (2022), penanganan krisis iklim dan unsur-unsur ketidakadilan di dalamnya harus menggunakan pendekatan yang mencakup tiga dimensi keadilan, yakni keadilan prosedural, keadilan distribusional dan keadilan intergenerasional.
Pertama, dimensi prosedural merujuk pada pelibatan pihak-pihak yang selama ini terekslusi dalam proses perumusan kebijakan iklim. Kedua, dimensi distribusional mencakup pemerataan tanggung jawab iklim berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh setiap pihak.
Ketiga, dimensi intergenerasional mencakup pertimbangan keadilan bagi generasi muda yang akan menanggung beban iklim sangat besar di masa yang akan datang. Sejalan dengan itu, menurut Chaney (2018), mewujudkan keadilan iklim distributif harus memperhatikan dua aspek penting, yakni Just Target dan Just Burden.
ADVERTISEMENT
Merujuk Pasal 2 (a) Perjanjian Paris 2015, tujuan kebijakan iklim global secara umum adalah menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2°C di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1.5°C di atas suhu di masa pra-industrialisasi.
Di sini dapat dilihat bahwa penetapan angka target suhu rata-rata global di bawah 2°C hingga 1.5°C menyisakan celah bagi para aktor internasional bersikap permisif dalam mencapai target iklim. Semakin tinggi ambang batas kenaikan suhu yang diizinkan, akan semakin buruk dampak perubahan iklim.
Di saat yang bersamaan, semakin rendah angka target kenaikan suhu, maka akan semakin berat beban yang harus dipikul para aktor global untuk mengatasi perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Dilema inilah yang menjadi fokus prinsip Just Target, yakni bagaimana cara memastikan agar agenda iklim dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa harus membebani dan merugikan masyarakat sebagai subjek moral dalam perubahan iklim (Chaney, 2018).
Just Burden terkait dengan bagaimana beban dan manfaat dari kebijakan iklim dapat didistribusikan secara adil. Aspek ini mencakup dua jenis beban, yakni berupa biaya mitigasi dan biaya adaptasi (Chaney, 2018). Ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan dalam Just Burdern (Chaney, 2018).
Pertama adalah Polluter Pays Principle, yang berarti bahwa pihak penyumbang emisi terbesarlah yang harus membayar. Kedua adalah Ability to Pay Principle yang berarti bahwa agen harus menanggung beban secara proporsional sesuai dengan kapasitasnya untuk membayar. Prinsip ketiga adalah Beneficiary Pay Principle yang berarti bahwa agen harus menanggung beban biaya iklim sesuai dengan sejauh mana besaran keuntungan yang mereka peroleh dari emisi.
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, Just Target dan Just Burden telah diupayakan oleh komunitas global dalam rangka mewujudkan keadilan iklim distributif. Hal tersebut direfleksikan oleh implementasi prinsip Common But Diffirentiated Responsibilities (CBDR) dan Nationally Determined Contribution (NDC) yang diatur dalam Perjanjian Paris 2015. Perjanjian Paris sendiri hadir sebagai aturan hukum yang mengikat dan mampu menggeser pendekatan “top-down” Protokol Kyoto menjadi pendekatan “bottom-up” yang mengarusutamakan konsensus dalam agenda iklim global (Howarth, 2021).
CBDR menetapkan bahwa semua negara bertanggung jawab untuk mengatasi kerusakan lingkungan global, namun setiap negara memiliki kontribusi yang berbeda karena perbedaan kapasitas dalam menanggulanginya.
Di samping itu, prinsip NDC mengharuskan setiap negara untuk melaporkan perkembangan kontribusi melawan perubahan iklimnya secara transparan kepada UNFCCC. Secara umum, prinsip-prinsip ini dapat mengakomodir hak negara-negara berkembang dan MAPA.
ADVERTISEMENT
Refleksi Kosmopolitanisme dalam Agenda Keadilan Iklim Distributif
Pengupayaan keadilan iklim distributif sebagaimana dijelaskan sebelumnya mencerminkan nilai kosmopolitanisme. Perjanjian Paris 2015 membuktikan bahwa dunia tidak abai terhadap ketidakadilan distributif yang secara disproporsional lebih merugikan sebagian masyarakat dibanding yang lainnya.
Solidaritas kosmopolitanisme yang ditunjukkan oleh negara-negara dalam agenda iklim tersebut terkait dengan pemahaman morality of states (Beitz, 2005). Bahwa negara menjalankan tanggung jawab moral seperti individu, mematuhi sistem norma sebagaimana dilakukan oleh individu dan menganut “value of equality”, yakni bersikap selayaknya entitas bermoral yang berlaku adil terhadap satu sama lain dalam kancah global.