Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Korupsi dan Koalisi Rapuh Kabinet Jokowi
7 Desember 2020 17:37 WIB
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu residu demokrasi pasca Reformasi 1998 yang mentautkan antara sistem presidensil dan multipartai adalah terbentuknya paket koalisi pragmatisme.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini sudah buntu dan sulit diperbaiki, karena dikehendaki sistem bahwa semua kepentingan partai politik harus diakomodasi presiden terpilih mengikuti situasi di DPR.
Sejak awal memang demikian, setidaknya sudah berlangsung 21 tahun, kala kabinet Gusdur-Megawati (1999-2001) dan Megawati-Hamzah Haz (2001-2004) terbentuk untuk tujuan memperkecil kemungkinan hambatan-hambatan yang terjadi oleh oposisi partai politik di DPR.
Di masa SBY (2004-2009 dan 2009-2014) juga demikian, SBY yang tidak suka ada hambatan dalam kebijakannya memutuskan mengakomodir kepentingan partai politik di kabinet. Beruntung waktu itu, PDI-P dan Gerindra mengambil sikap untuk tidak bergabung di pemerintahan.
Di masa Jokowi (2014-2019) pilihan bersikap akomodatif juga dipilih sebagaimana yang dilakukan oleh SBY untuk menertibkan partai politik di DPR. Beruntungnya di periode itu, masih ada Gerindra dan PKS diluar pemerintahan yang fokus mengawal kebijakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pada periode kedua Jokowi (2019-2024) situasi lebih parah, alasannya Jokowi berambisi memangku semua partai politik duduk di kabinet. Rival utama Jokowi di dua kali Pilpres, Prabowo bersama Gerindra akhirnya bersedia bergabung ke koalisi dengan "imbalan" jabatan 2 pos menteri yaitu Kementerian Pertahanan (Prabowo) dan Kementerian Kelautan (Edhy Prabowo).
Praktis kekuatan Jokowi di parlemen hampir 80% yang membuat apapun yang diputuskan presiden dan elit partai pasti akan disetujui di DPR.
Sialnya kompromi presiden dengan partai politik itu berdampak pada gemuknya koalisi. Akibatnya terjadi obesitas yang memperparah penyakit yang sudah lama ingin kita obati bernama korupsi.
Dalam sejarah politik Indonesia, gemuknya koalisi, gendangnya hanya ada dua yaitu pertama, melahirkan totalitarianisme dan kedua, korupsi. Dua dampak ini terjadi karena durasi kepemimpinan dan beban kekuasaan yang rendah berjalan sejajar beriringan mengikuti kepentingan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Wajah kekuasaan Presiden Soekarno di tahun ke-10 kepemimpinannya (1955-1960) berbeda dengan masa awal-awal ketika ia memimpin Indonesia. Pada tahun 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya bekaitan dengan sentalisasi kekuasaan pada presiden. Demikian juga Presiden Soeharto di tahun ke-10nya yaitu 1977 yang menyederhanakan partai politik peserta pemilu hanya ada 3 dengan kebijakan sentralistik mengikutinya.
Pasca Reformasi tercatat hanya ada dua presiden yang berhasil menang di dua pemilu yaitu SBY dan Jokowi.
Tentu saja periode kedua SBY 2009-2014 adalah salah satu masa-masa kelam politik kita karena dampak pelbagai korupsi yang melibatkan menteri yang berasal dari partai politik. Sebut saja : Andi Malaranggeng (Menpora/Demokrat), Jero Wacik (Menteri SDM/Demokrat) hingga Suryadharma Ali (Menteri Agama/PPP).
ADVERTISEMENT
Berikutnya di satu tahun kepemimpinan Jokowi pada periode keduanya (2019-2024), bahkan sudah ada dua menteri yang ditangkap KPK yaitu Edhy Prabowo (KKP/Gerindra) dan Juliari Batubara (Mensos/PDIP).
Substansinya tetap pada korupsi, terlepas dari subjek yang dikorup itu Dana Haji (Suryadharma Alie) atau dana bencana Covid-19 (Juliari Batubara) tidak jadi persoalan.
Apakah relasinya vertikal (Dana Haji) atau Horizontal (Dana Kemanusiaan), namun yang pasti ini berkaitan dengan sengkarutnya sistem yang ada.
Ketika Edhy Prabowo ditangkap oleh KPK pada November 2020 lalu. Suasana koalisi pemerintah memanas, pasalnya yang ditangkap KPK adalah elit Partai Gerindra yang menjabat pengurus DPP dengan jabatan Wakil Ketua Umum. Edhy dibanyak sumber disebut juga merupakan anak kesayangan Ketua Umum Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
Berbagai analisa politik bermunculan dengan ketidaksenangan Prabowo ditangkapnya Edhy. Bahkan lebih jauh sejak ditangkapnya Edhy hingga hari ini Prabowo belum juga muncul langsung ke publik, kecuali pesan-pesan yang muncul dari adiknya Hasyim Djojohadikusumo yang mengatakan Prabowo kecewa pada Edhy yang sudah dianggap seperti adik sendiri.
Hanya berselang satu sampai dua pekan pasca penangkapan Edhy, kini Mensos Juliari Batubara juga ditangkap oleh KPK karena dianggap melakukan tindak korupsi dana bansos sebesar 17 miliar yang didapat dari pengadaan paket bantuan sosial untuk masyarakat terdampak Covid-19.
Seperti Edhy, Juliari Batubara juga merupakan orang kesayangan dari Ketua Umum Megawati. Pasalnya selain menjabat menteri, Juliari Batubara juga merupakan pengurus DPP PDI-P dengan Jabatan Wakil Bendahara Umum.
ADVERTISEMENT
Situasi ini pada akhirnya menimbulkan persepsi negatif pada periode kedua Jokowi. Belum lagi dalam satu tahun terakhir, Jokowi terlihat mesra dengan Prabowo. Begitupun antara PDI-P dan Gerindra yang banyak memilih jalan yang sama di Pilkada Serentak 2020.
Demikianpun, memburuknya kinerja pemerintahan Jokowi diperiode kedua ini diakibatkan oleh pragmatisme koalisi jangka pendek yang terbangun dengan distribusi posisi menteri yang diisi oleh partai politik.
Kepentingannya beragam dan hampir tidak bisa dikendalikan, dengan alasan bahwa menteri yang berasal dari Partai Politik merasa lebih aman karena dirinya bernaung di partai.
Secara konseptual, Menteri yang berasal dari partai berdiri pada dualisme loyalitas yaitu loyalitas pada presiden selaku dirinya pembantu presiden dan loyalitas pada partai politik yang membawanya bisa duduk di kursi menteri.
ADVERTISEMENT
Dengan asumsi bahwa setiap pelaporan korupsi ke KPK bisa dilakukan oleh oknum (internal atau eksternal) sebelum dibawa ke penyidikan.
Masing-masing kini membangun rasa skeptis antara satu dengan yang lainnya, apalagi yang tangkap adalah mentri yang juga merupakan elit partai. Mengakibatkan rasa curiga antara yang satu dengan yang lainnya juga tidak bisa terelakkan.
Situasi ini tentu saja tidak sehat karena kabinet yang dibangun berdasarkan balas budi proses elektoral (presidential threshold) untuk mencukupi keterpenuhan 20% pencapresan kemudian berlanjut ke proses pengamanan kebijakan di DPR yang hulunya ada di partai politik.
*Jayapura, 6 Desember 2020