Mendekatkan Buku ke Keramaian Taman Suropati

17 Mei 2017 8:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana Perpustakaan Jalanan Suropati (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Perpustakaan Jalanan Suropati (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Desau daun beradu dengan gemericik air mancur dan ciutan burung di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat. Ditambah lembutnya mentari senja, taman ini menjadi tempat tepat untuk mencari keriaan setelah jengah dengan pengapnya ibu kota.
ADVERTISEMENT
Di bagian tengah taman, lapak buku digelar dan dikelilingi orang yang sibuk berbincang. Sudut taman itu diisi oleh kegiatan Perpustakaan Jalanan yang dikumpulkan oleh komunitas Pecandu Buku (PB). Lebih dari 100 buku dijajarkan di sana.
Telah lama membaca dikaitkan dengan ruang sunyi yang dikelilingi rak buku, sehingga nuansa segar muncul melihat deretan buku bersanding dengan guguran daun di taman. Buku bukan jadi sesuatu yang “disembah”, diletakkan kaku-rapi pada rak-rak, namun dirayakan bersama pakan burung merpati, sabun gelembung, dan makanan piknik di taman.
Tentu saja buku memiliki makna lebih dari sekadar sarana piknik. Thobi Yeverson, mahasiswa berusia 22 tahun penyelenggara perpustakaan jalanan, berusaha mendekatkan sudut pandang kebosanan terhadap buku dengan kemasan hiburan ala manusia modern.
ADVERTISEMENT
Bukti kebosanan manusia (Indonesia terutama) terhadap buku tercermin dari angka literasi yang masih rendah. Hasil penelitian The World’s Most Literate Nation yang dilakukan The Central Connecticut State University pada 2016 menempatkan budaya baca Indonesia di urutan 60 dari 61 negara.
“Kami bergerak dari kebiasaan minat baca yang minim. Kenapa nggak nularin virus membaca ke orang lain, padahal buku kan memiliki banyak makna,” kata Thobi.
Perpustakaan Jalanan memang diusung dengan konsep menyajikan literasi untuk siapapun. Berbagai macam buku digelar. Mulai dari filsafat Nietzsche hingga komik untuk anak macam Detektif Conan.
“Kami nggak fokus di satu bacaan. Selera orang berbeda-beda. Ada orang suka sastra, filsafat, agama, teenlit pop, dan sebagainya.”
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Para pengunjung melihat koleksi buku perpustakaan. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjung melihat koleksi buku perpustakaan. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Di sudut taman itu, belasan anggota perkumpulan mengisi petak-petak yang menjadi kavling perpustakaan di atas conblock taman. Sesekali, mereka melayani pengunjung yang mampir.
Taman itu pada dasarnya pusat rekreasi bagi siapapun. Lapak milik Thobi dan kawan-kawan tak pelak dilalui oleh keluarga beserta anak yang masih lucu-lucunya, remaja yang bermain bersama teman-temannya, dan para pemuda penyendiri.
Thobi tidak memandang berbeda kepada siapapun yang mampir di lapak Perpustakaan Jalanan. Baginya, setiap orang punya kewajiban untuk membaca.
Interaksi merupakan gagasan yang diusung oleh perpustakaan jalanan.
“Gua sering ngobrol sama para pembaca. Pengalaman membaca lewat membagikan referensi yang bagus terhadap yang lain. Kita bisa interaksi dengan orang lain terkait kesukaan bacaan masing-masing.”
ADVERTISEMENT
Sebuah keluarga kecil mendekat ke arah perpustakaan. Sore itu, Julian dan istrinya, Rara, membawa putra dan putrinya dari rumah mereka di Cililitan, Jakarta Timur.
Putra pertamanya langsung mengambil kertas mewarnai. Di atas kertas, terdapat gambar anak kecil menggendong kucing dengan tulisan “Sayangi Sesama”.
Sang ibu berbagi antusiasme saat mengajari putranya, Herizki, mewarnai gambar.
Rara merasa kagum dengan aktivitas perpustakaan jalanan.
“Saya suka dengan konsepnya, bisa membangun minat baca sejak kecil. Ada mewarnai, ada buku anak-anak juga,” ujar Rara.
Julian, sang ayah, memilihkan buku untuk putranya. Ia sangat bersemangat dengan entitas perpustakaan di ruang publik.
“Saya bakal ajak keluarga ke sini lagi. Bisa bermain sambil belajar juga,” ujar Julian.
ADVERTISEMENT
[Baca juga: ]
Ibu mengantarkan anaknya di perpustakaan jalanan. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu mengantarkan anaknya di perpustakaan jalanan. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Sore pukul 16.00 WIB, perpustakaan mulai disesaki pengunjung. Ada yang sekadar mampir untuk membaca sebentar, ada keluarga yang silih berganti datang.
Seorang bapak muda menggandeng putrinya duduk bersila. Putri kecilnya kemudian memilih untuk menggambar, sedangkan dia mengambil buku.
Sembari meninggalkan putrinya sejenak, ia beranjak menuju deretan buku sosial politik. Ia kemudian memilih buku berjudul Nawaksara Soekarno.
Setelah buku di tangan, ia kemudian tenggelam dalam asyiknya dunia baca, sementara sang anak begitu antusias mewarnai.
Abduh, bapak muda yang sehari-harinya bekerja sebagai teknisi, baru mendapati perpustakaan di tengah keramaian. Ia kagum dengan konsep yang dihadirkan para pecinta buku ini.
ADVERTISEMENT
“Dulu, generasi saya itu melihat buku sangat ngeri. Baru sekarang saya bisa nikmati suasana membaca seperti ini, di tengah taman.”
Abduh mengaku memendam minat baca begitu tinggi. Hanya, ia tidak memiliki kesempatan akses untuk membaca.
“Dulu tahunya hanya perpustakaan sekolah dan kampus. Untuk ke sana saja kita sudah malas. Gini kan enak, bisa nemenin anak sambil nambah wawasan,” kata dia.
Menjelang fajar tenggelam, orang-orang masih berdiam Taman Suropati. Meski gelap, masih cukup banyak yang mampir ke Perpustakaan Jalanan. Lampu yang menyala di bagian belakang menerangi syahdu taman. Meski temaram, para pembaca yang lahap tetap setia di bangku taman.
Abduh mengantarkan anak sambil membaca buku. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Abduh mengantarkan anak sambil membaca buku. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Waktu menunjukkan sekitar pukul 19.00 WIB. Anggota Perpustakaan Jalanan mulai mengemasi buku yang sejak siang digelar di kavling mereka.
ADVERTISEMENT
“Semua dilakukan sendiri. Angkat-angkat buku dari kos sendiri. Beli semua kebutuhan sendiri. Nanti pulang ya kemasin sendiri,” kata Thobi.
Rutinitas tersebut rutin dijalani Thobi dan kawan-kawan. Hari Minggu yang umumnya menjadi waktu istirahat atau setidaknya bermain setelah penat dengan rutinitas perkuliahan, justru dihabiskan anak-anak muda ini untuk mengajak semua orang membacam.
Perpustakaan Jalanan adalah bentuk kristalisasi keresahan kelompok pecinta buku. Berangkat dari para pembaca yang resah akan hilangnya ruang, mereka merangsek menciptakan ruang itu sendiri.
Tirai malam turun memayungi langit. Sampai juga sepekan lagi, menjelang senja di Suropati.
Suasana perpustakaan jalanan saat malam. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana perpustakaan jalanan saat malam. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)