Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menyusuri Putaran Uang Puluhan Miliar di Gubuk Emas Poboya
21 Maret 2017 13:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Sore itu, Syahri mendatangi sebuah gubuk di bawah bukit Poboya. Kakek itu hendak menjual hasil “panen” dia, yakni bebatuan hasil tambang yang mengandung emas.
ADVERTISEMENT
Poboya, yang masih bagian dari Kota Palu di Sulawesi Tengah, ialah tambang emas di atas bukit --meski status resminya ialah kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat.
“Satu begini saya bikin dari seperempat karung batu,” ujar Syahri menunjukkan secuil emas di ujung telunjuknya.
Gubuk yang didatangi oleh Syahri bukan sekadar gubuk. Gubuk itu memiliki etalase bertuliskan “Beli Emas”. Tulisan itu besar-besar dan mencolok, terlihat siapapun yang melintas di jalan.
Tempat itu semacam pengepul --pengepul emas sekaligus pengepul harapan Syahri beserta ribuan penambang Tahura Poboya yang memancing kontroversi karena penggunaan merkuri dalam pengolahan tambang. (Baca Merkuri: Bom Waktu Tambang Emas Nusantara )
Syahri mula-mula membakar kepingan emas di sebuah tong selama 5 menit untuk membuat batu yang keperakan menjadi emas mengkilap.
Batu emas mengkilap itulah yang kemudian ia berikan kepada pria dalam gubuk “Beli Emas” yang merupakan kios pembelian emas.
ADVERTISEMENT
Di dalam gubuk “Beli Emas” itu, seorang pria duduk di tengah meja berhiaskan beberapa batu dan pena-pena menyerupai kunci.
Pria tersebut memperkenalkan diri. Ia bernama Wandi.
“Saya punya satu kios ini untuk beli emas yang dijual sama penambang-penambang di Poboya,” ujar Wandi kepada kumparan (kumparan.com), Senin (13/3).
Kios berbentuk gubuk di daerah itu tak cuma satu. Setidaknya terdapat 30 kios “Beli Emas” di sepanjang jalan sejauh 1 kilometer menuju Gerbang Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya, tak jauh dari lokasi sentra mesin tromol tempat merkuri digunakan untuk mengolah emas.
“Semua kios di sini milik perseorangan. Kami lepas, tidak ada ikatan dengan penambang. Pertemanan saja,” kata Wandi.
Di tempat itulah Syahri dan penambang lain menjual emas yang telah melalui berbagai proses tradisional yang jamak dilakukan di Poboya.
ADVERTISEMENT
Tugas Wandi ialah menakar butiran-butiran emas yang hendak dijual para penambang, untuk diberi harga.
Untuk itu, Wandi mengandalkan peralatan yang ada di mejanya seperti batuan, segepok pena emas, dan cairan kimia.
Saat menaksir emas Syahri, cuilan emas digoreskan lebih dulu di atas batuan hitam hingga keluar sebuah coretan yang tampak seperti tulisan kapur berwarna emas.
“Buat melihat warna emasnya. Dinilai dari warna yang kelihatan. Karena setiap takaran emas yang satu dengan yang lain berbeda. Dan harganya berbeda,” kata Wandi sembari mengusap emas dengan air.
Wandi lalu mengeluarkan segepok batang logam yang tampak seperti sebundel kunci. Alat itu bekerja seperti pena. Pada ujungnya terdapat emas dengan kadar berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
“Ada 35 sampai 90. Setiap warna menentukan kualitas dan memiliki harga berbeda-beda,” kata dia.
“Pena Emas” Wandi kemudian digoreskan satu per satu di sebelah goresan emas Syahri.
Setelah mengamati emas Syahri, Wandi menetapkan taksirannya. “Ini 65 ya.”
Syahri tak puas, merasa emasnya layak ditaksir lebih tinggi.
“Aduh, kenapa tidak 70, Bos,” sahut Syahri ketus.
Mendengar keluhan Syahri, Wandi bersikap tegas. “Tidak bisa, warnanya mirip ke-65.”
Ia kemudian membuka etalase kecil di mejanya, dan mengambil timbangan untuk mengukur berat emas itu. Cuilan emas itu beratnya tak sampai satu gram.
Tak perlu kalkulator untuk menghitung, Wandi kemudian mengeluarkan dompet untuk membayar Syahri. Keduanya sepakat pada harga Rp 69 ribu.
Syahri menerima uang itu. Tak ada lagi ekspresi ketidakpuasan pada wajahnya.
ADVERTISEMENT
“Setiap gram kami beli seharga Rp 511 ribu. Naik turunnya harga tergantung berat dan kualitas. Kami sudah ada ukurannya. Penambang juga sudah tahu,” ujar Wandi.
Ia tak menjelaskan bagaimana standar taksiran harga itu ditetapkan penambang dan pembeli.
Wandi menyiratkan bahwa usaha semacam ini mengharuskan kewaspadaan yang tinggi.
“Karena kami beli emas. Semua orang mencarinya. Banyak pencuri di sini. Duit yang kami putar banyak sekali. Emas tidak bisa keluar sembarangan. Tak boleh ditunjukkan ke orang-orang.”
Berapa omzet Wandi?
Dengan santai ia menjawab, “Setiap hari setidaknya ada Rp 200 juta. Sebulan omzetnya minimal hampir Rp 2 miliar.”
Itu baru dari kios Wandi. Padahal terdapat sedikitnya 30 kios di daerah itu. "Rata-rata kios beli emas di sini punya omzet yang sama. Paling nyonyor (rugi) itu Rp 70 juta satu hari," ungkap Wandi. Bila dihitung pukul rata, total perputaran uang di kios-kios itu mencapai lebih dari Rp 60 miliar dalam sebulan.
ADVERTISEMENT
Sungguh bisnis dengan pusaran uang besar untuk sebuah gubuk kayu kecil berukuran 3 x 3 meter persegi.
Dengan omzet sebanyak itu, Wandi dan para pemilik kios jelas tidak sendirian menjalani usaha pembelian emas.
“Emas ini nanti dibawa ke bawah. Di sana ada bos menunggu,” kata Wandi.
Siapa si bos? (Baca: Siapa di Balik Tambang Emas Merkuri Poboya? )
Wandi tak mau menjawab. Urusannya adalah menjaga bisnisnya aman.
Tak ada penjual jika tak ada pembeli. Dan emas hampir pasti jadi komoditas menggiurkan untuk diperdagangkan.
Itu pula sebabnya tambang emas di bukit Poboya langgeng sampai sekarang. Pun meski diketahui banyak orang menggunakan racun merkuri atau air raksa yang berbahaya bagi kesehatan. (Baca: Ancaman Merkuri Emas Poboya Mengalir Hingga Palu )
ADVERTISEMENT