Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ramai Pasar Penambang yang Tinggal Kenangan
21 Maret 2017 15:18 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Diene duduk di sebuah warung di pinggir jalan tak beraspal dengan wajah agak muram. Di sepanjang jalan tersebut, terdapat pondok-pondok semipermanen.
ADVERTISEMENT
Sambil meringkas barang-barangnya, ibu berusia 47 tahun itu menceritakan kisahnya kepada tim kumparan (kumparan.com) yang melintas di jalanan dekat bukit eksploitasi tambang emas Poboya, Palu, Sulawesi Tengah.
Diene bukan seorang penambang. Meski begitu, pekerjaannya erat dengan kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan tambang emas Poboya.
Dia menikmati kejayaan ketika tambang Poboya sedang ramai tahun 2008-2014, dan dia juga yang ikut jatuh bersama penambang yang pergi dari Poboya dua tahun belakangan.
Diene dan para penambang saling membutuhkan. Sebab, penambang memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari Diene.
Tentu saja, sebab Diene adalah pemilik warung kelontong.
Dulu, kata Diene, jalanan sepi tempatnya berdiri sekarang ialah pasar yang amat ramai.
“Mungkin terakhir kali saya lihat jalanan ini ramai dua tahun lalu. Benar-benar kayak pasar. Ribuan orang siang dan malam membeli kebutuhan,” ujarnya, mengenang dengan nada sendu.
ADVERTISEMENT
Keramaian jalan itu juga menjadi kisah sukses dalam hidup Diene.
Ia mengajak tim kumparan masuk ke dalam bangunan miliknya yang kini sudah ditutup balok-balok kayu.
“Di sini saya jualan kebutuhan sehari-hari. Sabun, telur, makanan kecil, rokok. Sudah seperti toko besar kalau di Palu to,” tuturnya sambil menunjukkan seisi ruangan yang mirip toko kelontong.
Sepintas Diene terdengar berlebihan kala membandingkan warungnya dengan toko besar di Palu. Namun ketika ditanya seberapa besar, raut wajahnya berubah.
“Dulu banyak duit saya. Sehari jualan bisa sampai Rp 3 juta,” ucapnya sembari tersenyum.
Ia lalu mengajak kami keluar. Tangannya menunjuk ke arah bangunan serupa di seberang jalan yang berderet sepanjang beberapa puluh meter.
“Saya jualan tidak sendiri. Banyak orang lain juga jualan. Lihat di sana dulu ada toko pakaian. Ada juga warung makan dan tempat minum,” ujarnya, seakan semua itu masih nyata.
ADVERTISEMENT
“Sekarang semua sudah tutup karena tambang mulai sepi. Sehari saya hanya bisa jualan Rp 200 ribu saja. Jauh dari (pendapatan) yang dulu. Saya mau pulang saja ke Palu Selatan, buka warung di sana,” kata Diene, membeberkan rencananya. (Baca juga: Kota Palu dalam Cengkeraman Merkuri )
Situasi Poboya yang semakin sepi dipengaruhi oleh eksodus penambang ke tempat lain, yakni di Dongi-Dongi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Para penambang Poboya berbondong-bondong pindah ke Dongi-Dongi yang berjarak 25 kilometer dari Kota Palu pada pertengahan 2016.
Ironisnya, sama seperti Poboya, Dongi-Dongi pun sesungguhnya kawasan konservasi, bukan area tambang emas. Jika Poboya merupakan Taman Hutan Rakyat, Dongi-Dongi ialah Taman Nasional Lore Lindu.
Status Taman Nasional itu membuat tambang di Dongi-Dongi akhirnya ditutup. Namun para penambang tak kembali ke Poboya.
ADVERTISEMENT
“Mereka sudah trauma menambang. Kebanyakan tidak kembali ke Poboya,” ujar Diene.
Perbincangan kembali dilanjutkan di warung makan yang terletak tepat di samping toko kelontong Diene. Di tempat itu, duduk ibu-ibu lain yang sedang berbincang sambil menemani pemilik warung yang memasak hidangan yang jadi dagangannya.
“Silahkan kalau mau makan. Saya jual nasi ikan, nasi ayam, mi instan,” ucap ibu pemilik warung. (Baca juga: Menyusuri Putaran Uang Puluhan Miliar di Gubuk Emas Poboya )
Ia setiap hari menjual makanan di pondok semipermanen yang serupa seperti Diene. Pondoknya tak terlalu besar, hanya muat untuk 8 pengunjung.
“Makanan di sini tidak terlalu mahal. Paling Rp 10-20 ribu sekali makan. Sesuai dengan uang para penambang,” ujar si ibu penjual makanan.
ADVERTISEMENT
Para pemilik warung makanan meraup untung karena para penambang di Poboya sebagian besar hidup sendiri, tak membawa keluarga. Dengan demikian, tak ada yang memasakkan atau menyediakan makanan bagi para lelaki itu, dan makan di warung adalah opsi termudah untuk dipilih.
“Saat ini masih ramai, tapi ya tidak seperti dulu,” ujarnya.
Ibu lain, yang bersuamikan penambang, menimpali, “Kita di sini semua sudah seperti keluarga. Tidak ada itu saingan usaha. Semua sama-sama cari makan di sini.”
“Iya betul, kami semua di sini sama-sama cari makan. Tidak ada itu bohong sama sesama penambang. Bahkan kami ambil untung juga tidak terlalu banyak, hanya Rp 100 sampai 200 lebih mahal saja,” kata Diene, menimbrung.
Barang-barang dagangan dibeli Diene dan para pemilik warung lainnya di Kota Palu.
ADVERTISEMENT
“Kami beli ke produsen di Palu bersama-sama. Sewa pikap atau truk, jadi tidak terlalu mahal biayanya. Barang tetap dihargai murah walau kami jualan masuk hutan,” ujar Diene.
Palu ke Poboya, apalagi di titik pusat penambangan, bukan medan yang mudah dilalui. Dari Palu ke pintu masuk area penambangan perlu waktu 20 menit.
Namun dari pintu masuk area tambang ke dalam lokasi tambang tempat ibu-ibu itu duduk mengobrol, jalanan yang ditempuh melintasi bebatuan dan menyusuri sungai.
Kini, pasar rakyat para penambang emas Poboya tinggal kenangan manis bagi Diene dan ibu-ibu lainnya.
Diene akan pindah ke Palu, dan ibu-ibu pemilik warung lain akan terus berjualan di tengah bayang-bayang kepindahan para penambang dan isu penutupan tambang emas Poboya.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun, hidup berpindah-pindah bagi para penambang emas adalah hal biasa, seiring naik-turunnya kejayaan suatu lokasi tambang. Dan Poboya bukannya tak menyimpan masalah, dengan racun merkuri dan sianida yang digunakan dalam pengolahan tambang emas mereka. (Baca: Ancaman Merkuri Emas Poboya Mengalir Hingga Palu )