Kritik Kepemimpinan Jokowi dan Kegagalan Meritokrasi dalam Politik Indonesia

Arie Purnama
Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Lampung-Konsentrasi Komunikasi Politik-Alumni Int.Class Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
21 Februari 2024 14:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Purnama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Jokowi menghadiri Sidang Laporan Tahunan MA di JCC. Foto: Youtube/Mahkamah Agung Republik Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi menghadiri Sidang Laporan Tahunan MA di JCC. Foto: Youtube/Mahkamah Agung Republik Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tahun terakhir masa jabatannya sebagai presiden, Jokowi mendapat kritik yang keras dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, mahasiswa, dan ekonom, karena dituduh melakukan intervensi terhadap konstitusi dan menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden demi mendukung langkah politik putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, dalam Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi menggunakan "cawe-cawe" dalam kontestasi presiden 2024 ini, alasannya untuk mengawal Indonesia keluar dari status middle-income. Karena menurutnya negara hanya memiliki waktu maksimal 13 tahun untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, Jokowi berkomitmen untuk memperhatikan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai presiden di masa depan untuk mengatasi kondisi saat ini.
Banyak gelombang penolakan dalam langkah Jokowi ini, terutama dari kalangan akademisi yang semakin massif mengkritik pemerintah atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh pejabat negara, keberpihakan aparat pemerintah terhadap calon tertentu, dugaan intimidasi aparat terhadap konstituen lain, dan penggunaan anggaran negara dalam bentuk bantuan sosial untuk kepentingan politik pribadi (panjat sosial).
Namun, respons pemerintah terhadap kritik tersebut justru menganggap gerakan ini sebagai strategi politik partisan untuk kepentingan pemilihan umum. Di bawah kepemimpinan Jokowi, indeks demokrasi Indonesia justru mengalami penurunan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2019, pemerintah bersama DPR menyetujui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih memuat pasal-pasal yang dapat diinterpretasikan secara luas, seperti penghinaan terhadap presiden, pemerintah, dan pengadilan; pengaturan pidana bagi demonstrasi tanpa pemberitahuan; penistaan agama; kriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan; dan beberapa pasal lainnya yang kontroversial. Kemudian, pada tahun 2023, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disahkan, yang oleh Amnesty International dianggap melanggar hak asasi manusia karena terlalu mendukung kepentingan investor dan mengancam kesejahteraan buruh.
Revisi Undang-Undang KPK juga dinilai melemahkan lembaga antikorupsi tersebut, yang menyebabkan penurunan drastis dalam Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2022, mencapai titik terendah dalam satu dekade terakhir. Selain itu, Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN), yang menuai banyak penolakan, juga disahkan secara cepat tanpa melibatkan partisipasi publik yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Survey Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) 64,6 persen responden ingin Jokowi bersikap netral. Survei ini dilakukan pada 9-20 Juni 2023. Metode yang digunakan multi-stage random sampling dengan melibatkan sampel 1400 responden dari 38 provinsi.
Akan tetapi, harapan hanya tinggal harapan. Dalam kontestasi ini keberpihakan presiden Jokowi tidak sama sekali disembunyikan. Hal ini menjadi fenomena Black Swan, di mana menunjukkan kekurangan manusia dan bagaimana dunia kita ini nyatanya dipenuhi oleh sesuatu yang ekstrem, tidak diketahui, dan ketidakmungkinan, di mana kepercayaan kita terhadap Jokowi sangat besar, beliaulah anak kandung demokrasi yang sesungguhnya.
Tetapi dia pulalah yang menghancurkan istilah tersebut. Fenomena ini bertentangan dengan cita-cita merit-system, di mana penilaian dan pemilihan calon pemimpin tidak didasarkan pada prestasi, kinerja, dan kemampuan individu, melainkan pada faktor subjektif atau politik. dengan kata lain penerapan merit-system dalam politik dapat menjadi cara yang efektif untuk memastikan bahwa pemimpin dipilih dan dipromosikan berdasarkan kualifikasi, kinerja, dan prestasi mereka, bukan atas dasar hubungan politik atau nepotisme.
ADVERTISEMENT
Bila meritokrasi tidak menjadi napas demokrasi, republik ini rawan terjerumus dalam kakistokrasi, yaitu dipimpin orang yang tidak kompeten dan sarat penyimpangan moral di berbagai lini. Pemerintah berkewajiban untuk berintegritas, menghindari konflik kepentingan, serta memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Hal ini dituangkan dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Bab II Poin ke 2;
“Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
Pemilu 2024 telah selesai dan hasil hitung cepat menunjukkan bahwa pasangan calon 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, meraih dukungan suara sekitar 57-59%. Diikuti oleh pasangan calon 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dengan dukungan suara sekitar 23-25%, dan pasangan calon 03, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dengan dukungan suara sekitar 16-17%. Terpilihnya Prabowo-Gibran telah memberikan contoh buruk ke generasi Z dan milenial terkait proses seseorang menjadi pemimpin yang begitu instan.
ADVERTISEMENT
Padahal, berdasarkan riset British Council 2022 menggambarkan bahwa anak muda saat ini justru menginginkan politik yang bersih. Karena mereka frustrasi melihat kondisi politik yang mempraktikkan KKN, akses dekat dengan penguasa dan pemimpin politik dipergunakan untuk mengamankan kekuasaan. Gibran Rakabuming Raka dengan tangan Jokowi adalah contoh yang kurang baik dalam pendidikan politik republik ini. Hal ini dicerminkan dalam dinamika politik yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan nafsu berkuasa.
Semua upaya yang dilakukan dengan pemaksaan dan tekanan besar cenderung menghasilkan kegagalan. Fenomena ini juga terjadi di Negara tetangga kita Filipina. Banyak kesamaan dan kemiripan Indonesia Dengan Filipina, adanya dinasti politik yang disebabkan biaya politik yang membatasi politisi-merit-system. Sementara itu, para dinasti didukung oleh kekuatan finansial para pemodal dan anggota lainnya yang sudah duduk di jabatan-jabatan politik.
ADVERTISEMENT
Belajar Kondisi Filipina, sebaiknya aktor politik lebih fokus memperkuat institusi demokrasi daripada "jualan" sosok atau figur. Pemilu kali ini menjadi Orgasme kekuasaan Jokowi yang akan dilanjutkan oleh kompatriotnya. Miris memang apabila kita mengikuti pola kecurangan yang Terstruktur-Sistematis-Massif, apalagi yang digunakan adalah alat negara dan anggaran negara. Biarkan tragedi ini menjadi sebuah catatan buruk hancurnya etika elite politik.
Selamat kepada pemenang dan pendukungnya, mudah-mudahan dengan kecacatan ini tidak menjadi titik awal Neo Orde baru dan awal Dinasti baru. Selamat datang era Dinasti Baru, semoga kebijakan yang akan dilakukan bukan mengedepankan kepentingan kelompok dan golongan tertentu. Terima kasih Pak Jokowi yang telah mensponsori Prabowo-Gibran menjadi pemenang, serta mengajarkan kami bahwa kontestasi ini menjadi hasrat kekuasaan yang memang harus digapai.
ADVERTISEMENT